Penulis : Bell Hooks
Penerjemah : Pramesti Wijaya
Penerbit : Odise Publishing
Tahun Terbit : 2020
Jumlah Halaman : 160 hlm.
Seksisme, atau dalam bahasa lain dipahami sebagai diskriminasi atas seseorang berdasarkan seks/jenis kelamin atau gendernya, merupakan konsep utama dalam bahasan terkait feminisme. Singkatnya, feminisme merupakan perlawanan terhadap seksisme. Sebelum membahas lebih jauh terkait feminisme, barangkali perlu dijelaskan di awal bahwa gender dan jenis kelamin merupakan dua hal yang berbeda. Gender mengacu pada karakteristik pria atau wanita yang terbentuk oleh masyarakat atau konteks sosial budaya, sedangkan seks/jenis kelamin merupakan perbedaan biologis antara pria dan wanita. Dalam pengertian ini, gender dapat dipertukarkan bahwa seorang wanita dapat bersifat maskulin, pun dengan seorang pria yang dapat bersifat feminin (http://Sehatq.com, 2019).
Kembali kepada bahasan, feminisme merupakan paham yang menentang keras seksisme. Dalam cara pandang ini, terdapat banyak diskriminasi yang dialami terutama merupakan diskriminasi kaum pria terhadap wanita dalam tatanan maupun interaksi sosial. Prinsip utama para feminis (seseorang yang menganut paham feminisme) ada pada dunia yang dikuasai oleh sistem patriarki (seksisme yang dilembagakan). Sistem ini diyakini tidak hanya memenjara kaum wanita, tetapi juga memenjara kaum pria.
Buku karya Bell Hooks dengan judul Feminisme Untuk Semua Orang berusaha untuk bercerita gerakan kelompok feminis yang pada dasarnya juga telah terpolarisasi, meski pada gagasan paling utamanya tetap berakar pada semangat yang sama, yakni melawan sistem patriarki. Buku ini nampaknya ditulis sebagai buku pengantar bagi karya Bell Hooks yang lebih lama dengan judul Feminist Theory: From Center to Margin yang telah ditulis 10 tahun sebelumnya. Buku setebal 160 halaman ini terbagi ke dalam 20 bab yang masing-masing bab membawa topik beragam terkait dengan eksploitasi terhadap kaum wanita.
Apabila dapat dibagi ke dalam dua kategori besar, maka bab 1 (Pendahuluan: Mendekatlah Pada Feminisme) hingga bab 5 (Pendidikan Feminisme Untuk Kesadaran Kritis) merupakan bab inti yang memuat banyak kontradiksi terkait gerakan maupun konsep Feminisme. Kelima bab tersebut mengajak pembaca pada kontradiksi antara feminis reformis dan feminis revolusioner. Perbedaannya keduanya ada pada kompromi gerakan, feminis reformis pada akhirnya membawa gerakan feminisme pada isu kesetaraan gender, sedangkan feminis revolusioner membawa gerakan feminisme pada tujuan meruntuhkan sistem patriarki. Bahasan lain setelah bab 5 merupakan bahasa tematik terkait dengan kajian maupun pluralistisnya cara pandang dan gerakan dalam feminisme.
Disadari atau tidak disadari, musuh utama dari gerakan feminisme ada pada stigmatisasi yang kerap terjadi pada feminis. Feminis hampir selalu dipahami oleh masyarakat sebagai seseorang yang memiliki orientasi seksual sesama wanita (lesbian), membenci pria, hingga fokus pada gerakan-gerakan pro-aborsi. Persoalan terakhir yang disampaikan tidaklah salah, namun hal tersebut mengacu pada bagaimana sistem patriarki mencoba mengatur tubuh perempuan yang seharusnya merupakan kuasa perempuan itu sendiri. Buku ini hadir untuk melawan stigma-stigma tersebut, oleh karenanya tidak mengherankan apabila bahasa dan bahasan yang dipaparkan dalam buku ini sangat ringan. Tidak ada kutipan rujukan akademis, layaknya teks book akademik lainnya, buku ini justru berisikan penuturan-penuturan maupun refleksi penulis terkait stigma yang dialami oleh Feminis.
Secara tegas, Feminisme dipahami oleh Hooks sebagai gerakan untuk mengakhiri seksisme, eksploitasi seksis, dan penindasan. Menurutnya hal yang patut dipahami oleh seorang feminis ada pada pengertian bahwa sistem patriarki (sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan atau segala praktik kekuasaan menempatkan laki-laki sebagai pihak yang diuntungkan) tidak hanya dilanggengkan oleh pria, tetapi juga dilanggengkan oleh wanita. Untuk dapat merubah sistem yang ada, maka dibutuhkan kesadaran dari pria maupun wanita untuk dapat turut menghancurkan sistem patriarki tersebut.
Pada bab 2 penulis memaparkan secara jelas bagaimana gerakan feminis terpolarisasi ke dalam dua kelompok besar, yakni kelompok reformis dan revolusioner. Perbedaan di antara keduanya ada pada daya jangkau perjuangan yang digelorakan. Kelompok feminis reformis lebih menekankan pada kepentingan memperjuangkan kesetaraan gender, termasuk di dalamnya kesetaraan untuk mendapatkan pekerjaan, upah, hingga cuti hamil. Berbeda dengan kelompok feminis revolusioner yang menekankan perubahan yang radikal terhadap sistem sosial budaya yang ada (tidak hanya dalam ruang lingkup pekerjaan).
Apabila kita tarik ke dalam dua ideologi besar yang memantiknya, maka kelompok reformis pada dasarnya merupakan kelompok feminis yang terpengaruh gagasan liberal. Pada kelompok ini kebebasan individual merupakan kebebasan yang paling penting untuk diperjuangkan, oleh karenanya tidak mengherankan apabila kritik terhadap sistem tidaklah sekeras kelompok revolusioner. Adapun kelompok revolusioner mendapatkan pengaruh dari teori-teori kelas/Marxis, bahwa supra struktur dalam hal ini kuasa laki-laki harus diruntuhkan.
Perbedaan antara keduanya disadari oleh Hooks dengan pemaparannya pada persoalan kelas sosial. Pada bab 3, Hooks memaparkan bagaimana kelas sosial termasuk rasisme menjadi salah satu kunci bagaimana corak gerakan feminisme di Amerika Serikat. Dalam paparannya, gerakan-gerakan reformis pada dasarnya merupakan gerakan yang diinisiasi oleh kelompok wanita kulit putih yang mulai menuntut kesetaraan. Hal ini tidak berlaku pada wanita kulit hitam, bagaimanapun juga wanita kulit hitam dipandang sebagai kelompok kelas bawah. Keistimewaan atas warna kulit inilah yang membuat gerakan feminisme dengan prinsip kelas sosial tidak terlalu berkembang. Hooks menyinggung sedikit persoalan konteks wilayah dengan pergerakan feminisme yang melingkupinya, seperti bagaimana perbedaan antara gerakan feminisme di Asia dan Amerika Serikat atau konteks Barat. Baginya persoalan perjuangan feminis di konteks Asia tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya, yang dalam beberapa hal menyangkut pula pada persoalan agama.
Dalam pandangannya, perjuangan feminisme selalu berhadapan pula dengan persoalan otoritas, hal yang dimaksud dalam konteks otoritas ini adalah kuasa agama. Baik kelompok reformis maupun revolusioner melihat agama sebagai ruang nyaman bagi supremasi laki-laki terhadap perempuan. Oleh karenanya apabila hendak menciptakan sistem yang adil bagi laki-laki maupun perempuan, maka agama perlu untuk direformasi atau dalam titik ekstrem direvolusi (perubahan radikal). Hal ini tentu merupakan usaha yang sulit, mengingat agama merupakan institusi sosial yang telah berusia ratusan tahun. Tidak berhenti sampai disini, kelompok feminis menghadapi persoalan lain yang cukup pelik, berupa perubahan gerakan feminisme menjadi kajian mengenai feminisme.
Apabila gerakan feminisme menghadapi tantangan polarisasi antara feminisme liberal dan feminisme Marxis, maka tantangan lain yang tidak kalah pelik ada pada persoalan bagaimana feminisme coba didorong menjadi kajian akademis. Pada tahapan ini, terdapat pemisahan antara feminisme sebagai gerakan dengan feminisme sebagai kajian akademik, bahkan dalam beberapa hal menjadi paradigma maupun metodologi (Hay, 2005). Hooks mengkritik keras bagaimana persoalan akademisasi feminisme dengan fokus utama memberi penjelas pada teori-teori feminisme, akademisasi ini secara tidak langsung membawa deradikalisasi dan depolitisasi gerakan feminisme. Imbasnya persoalan supremasi sistem patriarki berubah menjadi kajian-kajian semata, tidak lagi menjadi sumber perjuangan.
Persoalan ini tidak hanya menimpa feminisme. Perjuangan kelas dalam paham Marxisme turut menghadapi persoalan serupa. Marxisme semula hadir sebagai alat dari kelas sosial bawah (basis) melawan kelas sosial atas (supra struktur/pemilik alat produksi).
Perjuangan kelas sosial ini membawa pada isu-isu radikal, hingga muncul beragam teori mengenai perkembangan sosial masyarakat, mulai dari masyarakat sosialistis hingga komunis/masyarakat tanpa kelas. Marxisme menjadi ideologi yang banyak diamini dan diyakini sebagai cita-cita politik. Gerakan Marxisme ini bergeser ketika sekelompok sarjana dari Jerman mencoba melakukan akademisasi Marxisme, yakni membawa Marxisme pada ranah ilmiah. Sekelompok sarjana tersebut kemudian dikenal cara pandangannya sebagai Mazhab Frankfurt, dengan Max Horkheimer dan Theodor Adorno sebagai intelektual generasi pertama, dan Jurgen Habermas sebagai intelektual generasi kedua. Tidak hanya itu, Marxisme juga memberikan banyak sekali variasi pengembangannya, termasuk bagaimana menjelaskan variasi relasi kuasa yang didorong pula oleh Marxisme maupun kelompok yang mengkritik/memperbaharui Marxisme ortodoks (bahwa persoalan hanya berkisar pada perjuangan kelas) dikenal sebagai penganut Neo-Marxisme (marxisme yang diperbaharui).
Hooks dengan cukup tegas hendak mengatakan bahwa akademisasi tersebut telah melemahkan gerakan politik, meski di sisi yang lain akademisasi menurut hemat saya, secara tidak langsung membawa feminisme pada perspektif yang lebih luas lagi. Ranah akademik memungkinkan melihat garis besar bagaimana pola pergerakan feminis di dalam konteks yang berbeda. Meskipun, kritik dari Hooks tidaklah salah, hanya saja perlu dipahami bahwa dalam banyak hal gerakan-gerakan sosial dapat pula diinisiasi dari universitas.
Persoalan lain yang mengemuka menurut Hooks ada pada persoalan kelas sosial. Dalam banyak hal, Hooks seakan hendak berargumen bahwa terdapat elitisme dalam gerakan feminis. Bahkan dalam beberapa hal, terdapat pertentangan keras antara feminisme reformis -revolusioner, homoseksual (lesbian) – heteroseksual, kelas sosial bawah – kelas sosial atas, maupun kampus – non kampus. Sebagai ilustrasi, sangat sulit untuk membangun etos feminisme di antara masyarakat ekonomi kelas bawah, terlebih membicarakan masalah kesetaraan kerja atau hal yang lebih radikal seperti mengubah struktur patriarki.
Pada bab pertengahan dalam buku ini, setelah bab 5, pembahasan banyak menyoal persoalan kontemporer, yakni terkait dengan bagaimana pekerjaan domestik (ibu rumah tangga) menjadi salah satu pelestari sistem patriarki, mengingat wanita harus menyiapkan sistem atau lingkungan yang nyaman bagi pria. Persoalan lain yang diangkat ada pada bagaimana benturan antara feminis yang berorientasi seksual lesbian, terkadang berbenturan keras dengan feminis yang heteroseksual. Perbenturan ini juga dikarenakan feminis lesbian cenderung revolusioner dan kecewa dengan feminis heteroseksual yang dalam beberapa hal dianggap kompromistis.
Salah satu benang merah yang coba disampaikan oleh Hooks ada pada kepentingan untuk melihat kembali kritik inti dari feminisme yakni menghantam seksisme. Hooks menyoroti polarisasi yang terjadi dalam gerakan feminis serta memberikan ajakan untuk tetap berada dalam satu gerakan feminisme. Pesan lain yang cukup melekat dalam karya Hooks ada pada ajakan untuk melawan seksisme yang menjadi denyut nadi bagi sistem patriarki. Hooks mengatakan bahwa dalam sistem patriarki tidak hanya wanita yang dirugikan, tetapi juga kaum pria turut dirugikan. Meski menurutnya kaum pria cenderung akan sulit untuk keluar dari zona nyaman (sistem patriarki) yang menempatkannya pada tonggak kekuasaan.
Buku ini dapat menjadi salah satu rujukan untuk dapat memahami persoalan-persoalan mendasar terkait dengan feminisme. Menurut hemat saya, inti dari buku ini berada di 5 bab di bagian awal, selebihnya banyak merupakan kasus-kasus kontemporer. Keunggulan dalam buku ini justru menjadi kelemahan dalam buku ini. Keunggulan buku ini ada pada gaya bertuturnya yang ringan, namun karena gaya bertuturnya yang ringan, rujukan akan suatu argumen sulit terlacak. Tidak ada kutipan atau sumber akademik (daftar pustaka) yang terlampir dalam buku ini. Akibatnya pembaca yang kurang begitu familiar dengan topik feminisme akan sulit untuk mencari rujukan asli. Dugaan saya, buku ini merupakan potongan karya Feminist Theory: From Center to Margin yang dikemas dengan cara yang berbeda. Hanya saja keterangan terkait dengan hal ini tidak terdapat dalam terjemahan ini.
Kritik yang perlu diperhatikan ada pada kualitas terjemahan. Sebagai sarjana di bidang ilmu politik, topik bahasan terkait dengan feminisme tidak terlalu asing buat saya, meski saya tidak mendalami gagasan ini secara mendalam, paling tidak saya memahami beberapa prinsip dasar dalam cara pandang ini. Saya mendapatkan kesan bahwa penerjemah tidak memahami isu feminisme secara kuat. Alhasil, ketika saya membaca, seperti membaca terjemahan biasa namun kehilangan konteks dan rasa atau pemahaman terkait feminisme.
Menurut hemat saya, buku ini akan sulit dipahami apabila seseorang belum memiliki pemahaman mendasar terkait feminisme. Hal lain yang menarik ada pada bagaimana seharusnya Hooks dapat memaparkan tanggapan atas beberapa kritik terhadap feminisme. Narasi feminisme dalam buku ini seakan berdiri sendiri dan hanya merespons dari beberapa kritik atasnya. Kualitas terjemahan yang kurang baik, membuat pesan akan pentingnya feminisme tidak dapat tersampaikan dengan mudah.
Hooks, B. (2000), Feminisme Untuk Semua. Yogyakarta: Odise Publishing Hay, C. (2005). The State: Theories and Issues. Palgrave.
Sehatq, 8 Desember 2019, Pengertian Gender Menurut WHO, Ternyata Beda Dengan Seks, https://www.sehatq.com/artikel/pengertian-gender-dan-perbedaannya-dengan-seks, diakses tanggal 29 November 2020