Sehari setelah Soekarno membacakan naskah proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta Pusat, Putra Sang Fajar tersebut ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai presiden, dan Muhammad Hatta sebagai wakil presiden. Dengan kalimat lain, Soekarno dan Hatta tidaklah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum (Pemilu) seperti di era reformasi sekarang ini. Di masa awal kemerdekaan itu, sebagaimana dimandatkan UUD 1945, Indonesia menerapkan sistem presidensial. Konsekuensi logisnya, presiden berperan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. George Kahin (1995:190) dalam Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia menyebutkan bahwa Soekarno, Hatta, Amir Sjarifuddin, dan Ir. Surachman membentuk kabinet pemerintahan pertama dalam lintasan sejarah negeri ini pada 2 September 1945.
Pada Maret 1966, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966. Surat perintah tersebut menjadi pintu masuk Soeharto untuk menjadi Presiden Indonesia. Meskipun memunculkan dualisme di pemerintahan, pelimpahan kekuasaan itu telah mendorong MPR melalui Sidang Istimewa untuk mengangkat Soeharto menjadi Pejabat Presiden pada Maret 1967. Setelah satu tahun, Soeharto akhirnya dilantik MPR menjadi presiden penuh (Litbang Kzompas, 2020:v). Dengan naiknya Soeharto sebagai presiden, Indonesia pun memasuki babak baru bernama Orde Baru—istilah Orde Baru dicetuskan oleh Soeharto untuk memutus kekuasaannya dari kekuasaan Soekarno. Modal utama kekuasaan Soeharto adalah dukungan tentara dan kw32asemarahan rakyat kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Selepas "membereskan" Soekarno, Soeharto menempuh tiga cara untuk membangun dan mempertahankan kekuasaannya. Pertama, menyingkirkan perwira berorientasi kiri dan Soekarnois. Kedua, mempromosikan para jenderal yang tidak berpotensi menggunakan tentara melawan presiden. Ketiga, orang-orang yang mendukung Soekarno dan menonjol di masyarakat disingkirkan dari posisi-posisi berpengaruh (Said, 2016:10). Ujung dari penjelasan itu ialah penggusuran orang-orang yang bisa mengancam kekuasaan Soeharto. Selama 32 tahun berkuasa, praktik-praktik seperti itulah yang bisa dikukuhkan Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan.
Di Credential Room Istana Negara, di hari Kamis pada 21 Mei 1998 itu, Indonesia dan dunia internasional tidak hanya menyaksikan Soeharto mengundurkan diri dari kursi presiden, melainkan juga melihat pengangkatan Wakil Presiden B.J. Habibie sebagai Presiden Indonesia. Pengangkatan itu berpijak pada TAP MPR No. VII/MPR/1973, yang berbunyi: "jika Presiden berhalangan, maka Wakil Presiden ditetapkan sebagai Presiden." Setelah mengucapkan sumpah jabatan, Habibie sadar betul bahwa krisis ekonomi dan kekalutan di tengah masyarakat bisa memorak-porandakan Indonesia. Dalam Detik-Detik Yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Habibie (2006:92) menyatakan: "Bukankah ini semua...dapat memicu terjadinya perpecahan atau “Balkanisasi” Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan 1945? Bukankah perang saudara dapat terjadi?" Dalam hitungan minggu sejak naik ke kursi presiden, Habibie memperlihatkan komitmennya kepada hak-hak azasi manusia (HAM), dengan membebaskan tahanan-tahanan politik, yaitu kaum separatis dan tokoh-tokoh tua eks PKI. Tindakan itu kemudian diikuti dengan pembebasan aktivis mahasiswa, pemberian Amnesti kepada orang-orang yang ditahan setelah insiden Tanjung Priok 1984, dan pengakuan kepada Mohammad Natsir sebagai pemimpin bangsa—wujud dimaafkannya pemberontakan PRRI oleh pemerintah (Ricklefs, 2007:665). Selain itu, Habibie mengakhiri kontrol ketat terhadap pers yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Pada masa Habibie pula bermunculan media cetak baru. Bagi Habibie (2006:114-115), kebebasan pers merupakan "wahana untuk menyalurkan kebebasan menyampaikan pendapat... salah satu pilar penting demokrasi." Hingga hari ini, kebebasan pers yang dibuka oleh Habibie masih bertahan, dan menjadi fondasi demokrasi.
Abdurrahman Wahid, atau akrab disapa Gus Dur, lahir di Jombang 7 September 1940. Terlahir dengan nama Abdurrahman Adakhil, ia merupakan anak dari KH. Abdul Wahid Hasyim, mantan Menteri Agama RI tahun 1949 - 1953, sekaligus cucu dari KH. Hasyim Asy'ari, pendiri Pondok Pesantren Nahdlatul Ulama. Keterlibatannya dalam politik dimulai pada tahun 1982 saat ia ikut mengkampanyekan Partai Persatuan Pembangunan pada pemilu di tahun tersebut. Namanya semakin menjadi pembicaraan saat terpilih menjadi Ketua Pengurus Besar NU hasil Muktamar tahun 1984. Mukatamar tersebut juga memutuskan NU menarik diri dari kegiatan politik praktis, termasuk keanggotaannya sebagai unsur pembentuk PPP. Pada pemilu selanjutnya tahun 1987 Gus Dur menjadi anggota MPR RI, namun bukan berasal dari PPP melainkan dari Golkar. Pada pemilu tersebut Gus Dur dan beberapa tokoh NU gencar mengkampanyekan bahwa memilih atau mendukung selain PPP dalam pemilu bukanlah sesuatu yang haram bagi umat Islam.
Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri atau lebih sering disebut Megawati Soekarnopoetri merupakan anak ke dua dari pasangan mantan Presiden Soekarno dengan Fatmawati. Keterlibatannya dalam bidang politik dimulai tahun 1986 saat ia menjadi Wakil Ketua PDI Cabang Jakarta. Keberadaan trah Soekarno dalam partai membawa pengaruh yang cukup baik karena jumlah kursi PDI meningkat, dari 24 pada pemilu 1982, menjadi 40 pada pemiu 1987. Sejak itu karirnya meningkat pesat, mulai dari menjadi anggota DPR RI tahun di tahun tersebut, hingga kemudian terpilih sebagai Ketua PDI dalam Kongres Luar Biasa di Surabaya tahun 1993. Perlahan tapi pasti ia menghimpun pendukung dan loyalisnya dalam berpolitik.
Pemilihan umum tahun 2004 menjadi tonggak bersejarah bagi Indonesia, sebab untuk pertama kalinya masyarakat Indonesia dapat memilih langsung calon yang diinginkannya, baik memilih anggota parlemen, maupun Presiden dan Wakil Presiden. Dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap sebanyak 153 juta orang, Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar bersama Amerika Serikat dan India. Sebagian kalangan sempat pesimis bahwa suksesi kepemimpinan secara langsung tersebut akan diwarnai kerusuhan. Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan mengingat saat itu euforia politik sedang tinggi. Beberapa tahun sebelumnya ketika Presiden Gus Dur dimakzulkan sempat terjadi ketegangan antara kelompok pendukungnya dengan kelompok lain yang menginginkan pergantian presiden. Namun nyatanya pemilihan dapat berlangsung tertib.
Nama Joko Widodo, atau yang biasa dipanggil Jokowi, menjadi perbincangan saat ia menjabat sebagai Walikota Surakarta, terutama saat ia terpilih untuk periodenya yang kedua. Ia berhasil menang kembali dengan perolehan suara mencapai 90,09 persen. Jokowi semakin dikenal banyak orang saat ia dicalonkan oleh PDIP untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta tahun 2012, berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama yang saat itu merupakan kader Gerindra. Pada 2014 Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla memenangi pemilihan presiden mengalahkan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa. Pada pemilihan presiden berikutnya, berpasangan dengan K.H. Ma’aruf Amin, Jokowi kembali meraih kemenangan supremasi pemimpin nasional setelah mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Shalahuddin Uno. Selama menjabat sebagai kepala pemerintahan baik pada tingkat walikota, gubernur maupun presiden, Jokowi terkenal dengan kebiasaannya melakukan blusukan ke berbagai tempat untuk melihat langsung apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia. Pada periode pertamanya sebagai Presiden Republik Indonesia, Jokowi mengintrodusir konsep “Indonesia-sentris” sebagai anti-tesa dari pendekatan yang cenderung “Jawa-sentris” bahkan “Jakarta-sentris” dalam pembangunan ekonomi nasional.