Mohammad Hatta merupakan wakil presiden pertama Republik Indonesia. Tonggak politik Mohammad Hatta adalah perannya dalam mengubah demokrasi presidensial menjadi demokrasi parlementer. Maklumat Wakil Presiden No. X menyatakan bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan eksekutif, yang sehari-hari dilakukan oleh KNIP. Penjelasan terhadap maklumat tersebut yang dikeluarkan pada 20 Oktober 1945 benar-benar mengusung konsep parlementarian. Untuk periode demokrasi parlementer, kepemimpinan nasionalisme masih tetap dilakukan oleh dwi tunggal Soekarno-Hatta. Selain Maklumat No. X, Mohammad Hatta juga mengeluarkan maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang anjuran kepada rakyat untuk membentuk partai-partai politik. Maklumat tersebut bukan saja memberikan pengakuan terhadap arti penting partai politik, tetapi juga menempatkan pemerintah dalam posisi pro aktif ke arah pembentukan partai-partai politik (Kasirun, 2018).
Pada saat Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, setelahnya Sri Sultan Hamengkubuwono mengucapkan selamat kepada proklamator. Dua minggu setelahnya, tepatnya tanggal 5 September 1945, beliau bersama Paku Alam VIII, mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa daerah Yogyakarta adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia. Peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX terhadap republik juga ditunjukkan melalui dukungan finansial. Selama pemerintahan republik berada di Yogyakarta, segala urusan pendanaan diambil dari kas keraton. Hal ini meliputi gaji Presiden, Wakil Presiden, staf, operasional TNI hingga biaya perjalanan dan akomodasi delegasi-delegasi yang dikirim ke luar negeri (Kratonjogja.id, t.t). Seiring perjalanan Republik Indonesia sebagai negara, Sri Sultan Hamengkubuwono IX telah mengabdikan diri dalam berbagai posisi. Selain menjadi pejuang kemerdekaan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX tercatat sebagai Menteri Negara dari era Kabinet Syahrir (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947) hingga Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 s/d 4 Agustus 1949). Di masa kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 s/d 20 Desember 1949) hingga masa RIS (20 Desember 1949 s.d. 6 September 1950) beliau menjabat Menteri Pertahanan, serta menjadi Wakil Perdana Menteri di era Kabinet Natsir (6 September 1950 s.d. 27 April 1951). Beliau masih terus menjabat berbagai jabatan di tiap periode hingga pada tahun 1973 menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang kedua (Kratonjogja.id, t.t).
Adam Malik merupakan tokoh yang memelopori terbentuknya ASEAN tahun 1967. Ia bahkan dipercaya menjadi Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke 26 di New York. Ia orang Asia kedua yang pernah memimpin sidang lembaga tertinggi di dunia itu. Tahun 1977, ia terpilih menjadi Ketua DPR/MPR. Kemudian tiga bulan berikutnya, dalam Sidang Umum MPR Maret 1978 terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang ke 3 menggantikan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang secara tiba-tiba menyatakan tidak bersedia dicalonkan lagi (pemkomedan.go.id, 07/01/2014). Soeharto menunjuknya sebagai Wakil Presiden RI untuk masa jabatan 1978-1983 atau di Kabinet Pembangunan III. Adam Malik turut berjasa bagi perkembangan bangsa dan negara sekaligus merasakan masa-masa kejayaan Orde Baru kala itu (tirto.id, 22/07/2018). Adam Malik adalah tokoh nasional yang memiliki komitmen tinggi untuk memperkuat dan memajukan hubungan kerja sama Indonesia dan Malaysia. Melalui Adam Malik pada 11 Agustus 1966, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia menandatangani Perjanjian Normalisasi Hubungan Diplomatik kedua negara yang terputus akibat konfrontasi selama lebih kurang tiga tahun. Beberapa kali, Adam Malik mengkritisi kebijakan pemerintah. Pada 1979, ia mengkritik rezim Soeharto yang disebutnya sudah melanggar Undang-Undang 1945. Dua tahun berselang, tepatnya pada tahun 1981, Adam Malik kembali mengkritik Soeharto yang ia sebut sebagai "epidemik", merujuk pada kentalnya aura korupsi di rezim Orde Baru. Pada 1983, Adam Malik kemudian digantikan oleh Umar Wirahadikusumah (idntimes.com, 29/07/2020).
Setelah Soeharto didampingi oleh Sultan Hamengkubuwono IX (1973-1978) dan Adam Malik (1978-1983) yang notabene adalah Wakil Presiden (Wapres) dari kalangan sipil, pada 1983 Soeharto didampingi Umar Wirahadikusumah, Wapres yang berasal dari kalangan militer. Pada saat G30S 1965 pecah, Umar termasuk jenderal Angkatan Darat yang tidak diculik. Seperti Soeharto, Umar juga punya jabatan penting. Jenjang karier militer yang dilalui Umar juga agak mirip Soeharto. Dalam sejarah militer Indonesia, Umar adalah orang Sunda pertama yang pernah menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat. Seperti kebanyakan Wapres Indonesia zaman Orde Baru, Umar Wirahadikusumah terlibat dalam revolusi sebagai Angkatan 45. Ketika Adam Malik tidak lagi menjadi Wakil Presiden setelah 1983, Umar disebut-sebut yang jadi calon kuat untuk menggantikannya. Harry Gendut Janarto dalam Karlinah Umar Wirahadikusumah: Bukan Sekadar Istri Prajurit (156), menyebut potensi naiknya Umar jadi Wapres ini tidak lain karena Umar menjadi orang dekat Soeharto ketika G30S meletus. Pengangkatan Umar sebagai Wapres dianggap sebagai balas budi Soeharto. Saat itu Umar sedang memangku jabatan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ketua BPK bukan jabatan prestisius bagi seorang jenderal. Posisi itu kerap diisi oleh jenderal yang dianggap "buangan" (tirto.id, 13/03/2019).
Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sudharmono lahir di Gresik, Jawa Timur, tanggal 12 Maret 1927. Sejarah mencatat, Sudharmono adalah Wakil Presiden (Wapres) RI ke-5 dan menjadi salah satu orang kepercayaan Soeharto ketika Orde Baru masih berjaya. Kedekatan Sudharmono dengan Soeharto kian erat setelah Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang menewaskan sejumlah petinggi TNI AD. Ketika Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar, yang kelak menjadi kontroversi, Sudharmono adalah orang yang menyalin surat sakti tersebut. Pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru ibarat berkah bagi Sudharmono. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara, Menteri Dalam Negeri, Ketua Umum Golkar, hingga ditunjuk oleh Soeharto yang kala itu sudah berkuasa menjadi presiden untuk mendampinginya sebagai Wapres (tirto.id, 12/03/2019).
Memasuki tahun 1993, Soeharto sedang bersiap untuk memilih Wapres baru. Setidaknya ada dua nama calon yaitu Baharudin Jusuf Habibie dan Try Sutrisno. Nama yang pertama adalah teknokrat yang ahli membuat pesawat, dan ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang baru terbentuk. Saat itu Soeharto sedang mesra-mesranya dengan kelompok Islam. Sedangkan nama kedua adalah jenderal yang sedang jadi Panglima dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), sekaligus mantan ajudan Soeharto. Ketika Peristiwa Tanjung Priok meletus pada 1984, Try adalah Panglima KODAM Jaya. Meski tersandung kasus Tanjung Priok yang menewaskan ratusan orang, namun nasib Try tidak seburuk Sintong Panjaitan, mantan Panglima KODAM Udayana waktu Peristiwa Santa Cruz. Menurut catatan Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998 (2014), karier Try Sutrisno diselamatkan oleh Soeharto dan Moerdani. Meski sudah mesra dengan kelompok Islam, ternyata Soeharto tidak bisa berpaling begitu saja dari ABRI. Akhirnya Try Sutrisno dipilih menjadi Wapres pada tahun 1983 (tirto.id, 15/03/2019).
Setelah hampir 20 tahun menempuh pendidikan dan bekerja di Jerman, Habibie dipanggil Presiden ke-2 RI Soeharto untuk kembali ke Indonesia pada tahun 1973. Saat itu, Soeharto menilai Habibie bisa memberikan sentuhan baru di pengembangan industri teknologi di Indonesia. Habibie pun kemudian menjadi pendiri Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Ia juga diberikan mandat oleh Presiden Soeharto sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi pada 1978 dan menjabat selama 20 tahun. Namun, saat krisis moneter, Soeharto terpaksa menutup IPTN. Di saat-saat krisis ekonomi, Habibie diangkat sebagai wakil presiden dalam Kabinet Pembangunan VII pada 14 Maret 1998. Habibie, yang biasanya mengurusi pengembangan teknologi, akhirnya ikut mengambil peran dalam krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997-1998 (kumparan.com, 11/09/2019). Habibie diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia pada tanggal 14 Maret 1998. Namun kerusuhan dan gejolak politik yang berpusat di Jakarta akhirnya menggulingkan Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Setelah lengsernya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, Habibie pun otomatis diangkat menjadi presiden ketiga Republik Indonesia (news.detik.com, 25/07/2019).
Megawati diangkat oleh MPR sebagai Wakil Presiden untuk mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada Pemilu 1999. Dua tahun sebelum pelantikan itu, Megawati sebenarnya adalah sosok yang dielu-elukan sebagai presiden pengganti BJ Habibie. Menjelang kejatuhan Orde Baru pun Megawati berhasil menguasai Partai Demokrasi (PDI) dan mengubahnya menjadi PDI-Perjuangan. Dukungan terhadap Mega sebagai wujud perlawanan terhadap Soeharto kala itu tidak terbendung. Namun, pada Pemilu 1999 Megawati gagal menjadi presiden. Padahal, saat itu PDI-P menjadi partai pemenang pemilu legislatif setelah meraih
Hamzah Haz diangkat oleh MPR sebagai wakil presiden ke-9 mendampingi Megawati Soekarnoputri menjelang penutupan Sidang Istimewa (SI) pada 26 Juli 2001. Menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di PPP, partai terbesar ketiga di parlemen saat itu yang mengantarkan Hamzah Haz pada posisi orang nomor dua di Indonesia. Ia bersama Megawati memimpin Indonesia hingga 2004.
Jusuf Kalla (JK) adalah wakil presiden pertama di Indonesia yang dipilih secara langsung oleh masyarakat lewat pemilihan umum. Ia terpilih menjadi wakil presiden Indonesia ke-10 setelah berhasil memenangkan Pemilu Tahun 2004 bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada putaran pertama Pemilu 2004, SBY dan JK yang diusung oleh Partai Demokrat, PBB, dan PKPI berhasil memperoleh 33,57 persen suara. Perolehan tersebut membuat SBY dan JK berhasil menempati posisi pertama dan mengalahkan kandidat lainnya; Wiranto dan Salahuddin Wahid (22,19%), Megawati Soekarnoputri dan Ahmad Hasyim Muzadi (26,24%), Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo (14,94%), serta Hamzah Haz dan Agum Gumelar (13,05%) (KPU, 2010).
Boediono terpilih menjadi wakil presiden Indonesia ke-11 setelah berhasil memenangkan Pemilu Tahun 2004 bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pilpres 2009 menempatkan SBY-Boediono sebagai pemenang dengan memperoleh 73.874.562 suara atau 60,80 persen. Berada di posisi kedua, yakni pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dengan memperoleh 32.548.105 suara atau 26,79 persen. Sementara di posisi ketiga yakni pasangan Jusuf Kalla-Wiranto yang memperoleh 15.081.814 suara atau 12,41 persen. Perolehan suara pasangan calon nomor urut 2, SBY-Boediono, telah memenuhi lebih dari 50 persen jumlah suara pemilu, serta sedikitnya 20 persen di setiap provinsi. Oleh karena itu, KPU juga menetapkan pemilu presiden ini hanya berlangsung satu putaran (Kompas.com, 18/08/2009).
Jusuf Kalla kembali menjadi wakil presiden di era Joko Widodo. JK berhasil menempati posisi wakil presiden setelah memenangkan Pilpres 2014 dengan perolehan suara sebesar 53,15 persen, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang memperoleh suara sebesar 46,65 persen (BBC, 10/5/2014). JK diangkat menjadi Wakil Presiden ke 12 pada 20 Oktober 2014. Ketika menjabat sebagai Wapres, JK menunjukkan kepiawaiannya dalam memperbaiki sistem birokrasi di Indonesia yang sering kali menjadi ganjalan dalam menarik minat investor asing menanamkan dananya di tanah air. Hal ini yang kemudian berdampak pada peningkatan peringkat ease of doing bussines ranking Indonesia dari posisi 120 di tahun 2014 menjadi posisi ke 73. Selain itu, pembangunan infrastruktur yang secara masif dieksekusi di periode kedua JK sebagai wakil presiden berhasil mendongkrak logistic performance index ranking Indonesia ke posisi 46, dari yang sebelumnya posisi 53 pada tahun 2014 (CNBC Indonesia, 4/12/2019).
Ma'ruf Amin terpilih sebagai wakil presiden ke 13 setelah berhasil memenangkan Pemilu 2014 bersama Jokowi dengan 55,50 persen, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dengan 44,50 persen (Kontan, 21/05/2019). Ma'ruf Amin dipilih Jokowi sebagai pendampingnya pada Pilpres 2019 dan menggeser kandidat cawapres Jokowi yang kala itu namanya sudah santer disebut, yakni Mahfud MD. Ma'ruf menjadi Wapres ketiga setelah Moh Hatta dan Boediono yang bukan berasal dari partai politik.