Penulis : Kuskridho Ambardi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : 2009
Jumlah Halaman : 428
Dalam buku mengungkap Politik Kartel Kuskridho ambardi menjelaskan bahwa sejak reformasi partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yang mirip kartel. Bukti-bukti yang kuskridho kumpulkan menunjukkan adanya lima ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia, yaitu, (1) hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai, (2) sikap permisif dalam pembentukkan koalisi, 3) tidak adanya oposisi, (4) hasil-hasil pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik dan (5) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Kelima ciri ini, khususnya yang kelima, berlawanan dengan sifat umum sistem kepartaian yang kompetitif.
Kepentingan partai untuk menjaga kelangsungan hidup kolektif mengharuskan mereka membentuk kartel. Dengan demikian, keangsungan hidup mereka ditentukan oleh kepentingan bersama untuk menjaga berbagai sumber keuangan yang ada, terutama yang berasal dari pemerintah. Pada titik ini, sumber keuangan partai yang dimaksud ialah uang pemerintah yang didapatkan oleh partai melalui perburuan rente (rent-seeking).
Pendapat tentang kartelisasi partai di Indonesia pernah diutarakan Slater (2004) yang menawarkan satu pemikiran yang agak mirip yaitu demokrasi Indonesia menderita apa yang disebutnya sebagai jebakan pertanggungjawaban. Jebakan ini muncul karena partai politik gagal menjalankan fungsi pengawasan perimbangan (check and balances) di tingkat pemerintahan. Lebih jauh dia mengatakan, kartel partai itu mampu merebut rente ekonomi yang dimiliki para menteri melalui kontrolnya atas kabinet.
Sistem kepartaian menurut Sartori (1976) adalah satu sistem interaksi yang bersumber pada persaingan antar partai gagasan tentang sistem interaksi yang merujuk pada berbagai bentuk interaksi antar partai yang memperlihatkan tingkat keteraturan tertentu, dimana partai politik bertindak dan saling merespon secara terpola di arena politik yang berbeda-beda. Sartori mengklasifikasikan sistem kepartaian dalam empat tipe, satu partai, dua partai, pluralisme moderat dan pluralisme ekstrim. Dalam banyak hal, tipologi Sartori memperbaiki klasifikasi tradisional yang umumnya berkutat disekitar sistem dua partai dan multi partai. Multi partai di jabarkan dalam empat jenis untuk memudahkan watak sistem kepartaian di Indonesia yaitu pluralisme moderat, pluralisme ekstrim, pluralisme terbatas namun terpolarisasi dan pluralisme terpolarisasi. Tipologi Sartori mengasumsikan hanya ada satu arena persaingan politik, dimana hasil-hasil pemilu akan menentukan tindakan partai di arena legislatif.
Ketika di satu partai meraih kursi di parlemen, sangat mungkin partai mengambil tindakan berdasarkan pilihan ideologisnya dan kepentingan yang diwakilinya di parlemen. Bila partai membutuhkan koalisi maka akan bergabung dengan partai-partai yang memiliki ideologi yang sama. Namun, ketika berbicara dalam dunia riil, begitu pemilu berakhir partai-partai memperlihatkan jenis interaksi yang sungguh berbeda, jarak ideologis diantara mereka menghilang dan persaingan berhenti begitu pemilu usai.
Robert Dahl (1996), mengidentifikasi ragam arena persaingan politik yaitu pemilu, parlemen, birokrasi, pemerintahan daerah, dan seterusnya. Berbagai studi kontemporer tentang isu ini juga membenarkan tesis Dahl tersebut. Muller dan Strom (1999), menggambarkan dilema yang senantiasa dihadapi oleh partai politik dalam membuat berbagai keputusan yang melibatkan konflik tujuan. Demi memelihara dukungan elektoral yang diperoleh dalam pemilu, suatu partai mungkin mengorbankan salah satu tujuan partai politik dengan memilih tetap setia pada pilihan kebijakan yang sejak awal dirumuskan atau memilih mendapatkan jabatan di kabinet namun tidak bisa lagi memegang teguh pilihan kebijakan atau ideologinya. Dilema ini muncul ketika partai membutuhkan mitra koalisi untuk membentuk pemerintahan, namun calon mitra tidak memiliki ideologi yang serupa. Dilema ini berupa pilihan antara tetap memegang komitmen atau mendapatkan jabatan. Dalam situasi dilematis ini suatu partai mengubah perilakunya demi mencapai tujuan yang berbeda.
Kartelisasi merupakan oposisi dari persaingan. Persaingan dimulai ketika partai-partai bertarung demi mengartikulasikan berbagai kepentingan kolektif yang berbeda dan persaingan berakhir ketika mereka melepaskan pembelaan atas kepentingan kolektif tersebut. Dalam hal ini, persaingan dapat dipertentangkan dengan kooperasi atau kartelisasi, bentuk kooperasi yang lebih khusus. Dengan demikian, persaingan antar partai dapat didefinisikan sebagai situasi dimana partai menegaskan berbagai perbedaan politik mereka demi mengartikulasikan kepentingan kolektif kelompok sosial yang coba diwakili. Perbedaan itu bisa bersifat ideologis atau kebijakan.
Disisi lain, kartelisasi bisa dilihat sebagai lawan persaingan, dan bisa didefinisikan sebagai situasi dimana partai politik melepaskan berbagai perbedaan ideologis dan programatis mereka demi sesuatu yang lain. Dan situasi ini dimungkinkan, menurut Katz dan Mair (1995), karena semua partai besar memiliki kepantingan yang sama, yakni memelihara kelangsungan hidup kolektif mereka. Batas ideologi tidak lagi menjadi penentu perilaku partai. Akibatnya oposisi tidak bisa dikenali.
Alih-alih mewakili kepentingan kolektif yang beragam, dalam sistem kepartaian yang terkartelisasi, sebagian besar partai politik cenderung melayani kepentingan mereka sendiri sebagai kelompok yang relatif otonom. Sebagaimana dikemukakan oleh Katz dan Mair (1995), sistem kepartaian yang terkartelisasi juga ditandai oleh terpisahnya pemimpin partai dengan konstituen mereka dan terpinggirkannya para oposan ditubuh partai. Jika suatu ideologi mewakili satu jenis kepentingan kolektif di masyarakat, ideologi yang terpolarisasi mencerminkan gerak berlawanan partai yang sedang bersaing secara ideologis. Disisi lain, sistem kepartaian yang terkartelisasi diindikasikan oleh kabur atau hilangnya posisi ideologis partai.
Konsep persaingan dan kartelisasi membicarakan perbedaan kepentingan kolektif dalam suatu masyarakat. Dua pendekatan yang tersedia bisa membantu kita melacak substansi kepentingan kolektif itu yaitu pendekatan sosiologi dan tabula rasa. Pendekatan pertama, sebagaimana Lipset dan Rokkan percaya bahwa pembentukkan sistem kepartaian dan partai politik bisa dipahami dengan baik lewat lensa sosial dengan melihat dinamika social cleavage, serta ketegangan atau konflik politik yang mengikutinya. Inti argumen ini bahwa watak suatu sistem kepartaian sudah ditentukan jauh sebelumnya karena basis-basis sosial oposisi telah lama terbentuk.
Konsep kedua, umum dikenal sebagai pendekatan tabula rasa. Kalau pendekatan sosiologis berbicara tentang substansi pertentangan, pendekatan ini berbicara prosesnya. Dengan menekankan proses, pendekatan ini menyatakan bahwa pemilih dan politisi tidak otomatis mengetahui apa gerangan kepentingan mereka. Melalui proses pembelajaran yang panjang, politisi dan pemilih dari waktu ke waktu coba merumuskan dan kemudian mengartikulasikan kepentingan mererka. Jika pendekatan pertama memberi kita gagasan bahwa pembentukan sistem kepartaian tidak terjadi diruang hampa sosial, politik atau sejarah, maka pendekatan kedua mengarahkan kita pada dinamika pembentukkan sistem kepartaian dan pentingnya para aktor dalam pembentukkan sistem kepartaian itu. Salah satu cara untuk menghubungkan logika kedua pendekatan tersebut adalah memasukkan peran partai politik dalam pembentukan sistem kepartaian.
Dengan berfokus pada tindakan dan pilihan yang dibuat oleh partai, kita dapat memperlakukan berbagai cleavage sebagai bahan mentah, dimana dengan cleavage-cleavage itu partai membangun citra menyusun isi kampanye mereka secara strategis (Sartori, 1976). Persaingan antar partai, dengan demikian mengejawantah dalam bentuk persaingan kepentingan kolektif di arena pemilu.
Teori koalisi berbasis ideologi dikemukakan oleh de Swan (1973), menekankan pentingnya ideologi partai dalam pembentukan koalisi. Tautan elektoral juga bisa bersifat lain. Ia tampil semata-mata untuk memenangi pertarungan politik. Karena itu, pemilihan mitra koalisi ditentukan oleh besarnya perolehan suara dalam pemilu atau jumlah kursi parlemen.
Demikian juga, kita dapat mengatakan bahwa persaingan antar partai berhenti ketika tautan elektoral tidak terwujud. Ini berarti baik teori koalisi berbasis ideologi maupun teori koalisi kemenangan minimal gagal memprediksi bentuk koalisi yang muncul setelah pemilu, yakni di arena pemerintahan legislatif. Sebaliknya, di kedua arena tersebut berbagai partai membangun suatu koalisi yang merangkul semua partai. Pembentukan jenis koalisi ini sendiri menandai beberapa ciri khas sistem kepartaian non kompetitif atau sistem kepartaian yang berbasis kartel. Pertama, ideologi partai menjadi non faktor dalam menentukan perilaku partai. Kedua, dalam membentuk koalisi partai bersikap promiscuous alias serba boleh. Ketiga, oposisi tidak dapat diidentifikasi. Keempat, hasil-hasil Pemilu memiliki dampak minimal atau bahkan tidak memiliki dampak sama sekali dalam membentuk perilaku partai. Semua ciri ini sama dengan sistem kepartaian yang terkartelisasi dengan tambahan satu ciri penting. Partai-partai cenderung bertindak sebagai satu kelompok.
Menurut Katz dan Mair, kartelisasi muncul dari situasi dimana partai politik semakin bergantung pada negara dalam hal pemenuhan kebutuhan finansial. Kebergantungan ini, disebabkan oleh merosotnya secara tajam kemampuan mobilisasi keuangan partai melalui iuran anggota. Menyurutnya basis tradisional sumber keuangan ini kemudian membawa partai untuk lebih mendekat ke negara dan menjauh dari masyarakat. Dan kebergantungan mereka pada subsidi negara melalui proses subversi pada akhirnya menentukan kelangsungan hidup partai dan memicu munculnya jenis kartel.
Muncul dan terus berlangsungnya kartel tersebut bermula dari kebutuhan partai untuk mengamankan akses mereka ke dana-dana non bujeter itu. Pada titik ini, ada dua kemungkinana. Pertama, partai dapat melakukannya secara individual dan kedua secara kolektif. Namun karena berbagai partai terlibat dalam perburuan rente serupa yang merupakan aktivitas ilegal mereka sama-sama berada dalam situasi yang mirip. Mereka menjalani dan mengalami nasib politik dan ekonomi sebagai satu kelompok. Begitu salah satu anggota kelompok menyingkap perburuan rente ilegal tertentu, maka sangat mungkin tercipta guncangan politik. Karena itu, kartel harus dijaga bersama. Dengan demikian, kebutuhan untuk menjaga kelangsungan hidup bersama menjelaskan sifat sistem kepartaian yang dihasilkan, yakni sistem kepartaian yang terkartelisasi. Ideologi dan program partai dengan demikian hanya bersifat sekunder.
Dahl, R. 1966. Patterns of Opposition : In Political Oppositions in Western Democracies. Ed R. Dahl. New Haven and London: Yale University Press.
Sartori, G. 1976. Parties and Party Systems: A Framework for Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.