Penulis : Hanna Rambe
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun Terbit : 2010
Jumlah Halaman : 388
Kita diajak tenggelam dalam romantisme sejarah dan cerita tentang Banda, begitulah gambaran yang ingin diperlihatkan Hanna Rambe dalam tulisannya kali ini. Banyak cerita menggembirakan, yang membuat kita seakan ingin mengunjungi setting lokasi yang diceritakan, namun di sisi lain, ada pula kegetiran yang diperlihatkan Rambe. Bukan untuk membuat Banda seakan menyeramkan, namun ada sebuah cerita yang ingin digambarkan Rambe bahwa di balik keindahan yang dinikmati dari tokoh-tokoh yang dimasukkan ke dalam tulisan, ada pula cerita pilu di balik keindahan tersebut. Dalam penulisannya, Rambe membagi ke dalam 10 (sepuluh) bagian.
Cerita berawal dari kedatangan Wendy (Rowenna Higgins), Matthew Morgan (Matt), Diah, Ratna, Muhammad Zakaria (Jack) ke Kepulauan Banda. Wendy dan Matthew adalah pasangan suami-istri, begitu juga dengan Jack-Ratna. Sudah lebih dari dua tahun, Wendy dan suaminya berada di Indonesia, tepatnya di tanah Sumatra karena Matt bekerja di salah satu perusahaan tambang di sana. Ketertarikan terhadap Banda dimulai dari kisah yang selalu di ceritakan Jack. Ia adalah putra asli tanah Maluku. Meskipun tidak lahir di Banda, namun di Ambon, ia memiliki keluarga besar dari ibunya di Banda. Bahkan, masa kecilnya banyak ia habiskan di Banda. Oleh karena itu, cerita tentang Banda cukup ia kuasai untuk membuat pasangan suami tersebut begitu tertarik mengunjungi Banda.
Dengan mengendarai pesawat dari Ambon menuju Banda, tibalah mereka ke “Taman Firdaus terakhir di muka bumi”, begitulah Jack menyebutkan Banda kepada rombongan. Pesawat tersebut dicarter dari Perusahaan Adamson & Co, sebuah perusahaan tambang minyak yang berada di kawasan Sumatra. Sebelum sampai Banda, saat masih berada di dalam pesawat di atas ketinggian, Jack menyebutkan Banda sebagai tubuh yang cantik jelita, akan tetapi di dalamnya mengalir darah merah seperti semua darah semua manusia. Gambaran Jack ini menanggapi kesan keheranan Wendy ketika melihat pulau kecil pertama dari gugusan Kepulauan Banda setelah lepas landas dari Bandara Pattimura, yang kemudian diketahui pulau yang dimaksud adalah Pulau Rhun. Berawal dari sana kemudian Jack bercerita sedikit tentang Pulau Rhun kepada seluruh rombongan.
Di bagian pertama ini, penulis memperlihatkan bagaimana para tokoh tertarik tentang kepulauan yang memiliki keindahan alam yang luar biasa, meskipun cerita-cerita sejarah disisipkan dalam alurnya melalui pengetahuan Jack. Oleh karena itu, tujuan mereka datang ke Banda adalah untuk membuat film tentang taman laut. Setting cerita yang ingin ditampilkan adalah bagaimana lalu-lalang orang berdatangan ke Banda. Lanjut dengan gambaran dan pengalaman menaiki perahu-perahu yang ada di Banda, dan tentunya menyelam di Laut Banda.
Pada bagian kedua, para turis ini gambarkan sangat takjub dengan surga tersembunyi, yakni Banda. Kemudian, masih di bagian yang sama, mereka diperkenalkan dengan sosok Mirah, yang di bagian-bagian berikutnya mengisi banyak cerita dalam novel ini.
Dengan menunggangi Boirotang, nama dari kapal yang mereka gunakan, rombongan langsung menyusuri beberapa bagian dari Kepulauan Banda. Dengan fasih Jack memperkenalkan Banda secara geografis. Di mana letak Gunung Api, Pulau Banda Besar, Selat Sonnegat dan beberapa penampakan lain yang mereka lihat dari atas kapal.
Rombongan menginap di rumah Ratna, yang dikenal dengan sebutan Rumah Putih. Lokasinya di Kampung Baru tidak jauh dari tepi pantai di Tita Lama. Di rumah inilah para wisatawan ini akan menghabiskan malam-malam panjangnya ke depan. Berbagai macam jenis makanan dihidangkan di meja untuk makan malam. Dari sinilah perjumpaan rombongan, terkhusus Wendy, dengan Mirah. Mirah adalah seorang ibu tua yang memiliki perawakan tubuh sedikit gempal. Ia sibuk menyiapkan hidangan dengan rapi, dan tentu saja rasanya sangat cocok di lidah para tamu yang datang. Mirah memang sering membantu memasak di Rumah Putih.
Ketertarikan terhadap Mirah berawal dari penglihatan yang tidak biasa dari Wendy ketika ia ingin berterima kasih kepada juru dapur tersebut karena sudah menyiapkan hidangan yang begitu enak. Di dapur, Mirah terlihat mengenakan kain batik dan juga kebaya model jawa. Hidungnya dilihat Wendy bukan seperti hidung khas orang-orang Indonesia, melainkan seperti orang Italia atau India atau Amerika Serikat. Matanya yang kelabu memancarkan dirinya seperti orang Eropa. Rasa penasaran tersebut ia tanyakan ke Ratna, dan betul saja, Mirah adalah seorang nyai dan perempuan peliharaan seorang perkeniers. Kisah Mirah tidak kemudian diceritakan pada bagian selanjutnya, yaitu ketiga dan keempat, melainkan pada bagian tersebut penulis dengan cukup detail menceritakan bagaimana Banda dalam lingkaran rempah, mulai dari kemasyuran dan kejatuhannya.
Berkunjung ke kebun pala, Jack menceritakan asal usul pala dari yang ia ketahui. Dulu hidup seorang raja di Banda Besar. Namanya Mata Guna. Permaisurinya bernama Delima. Mereka dikaruniai empat orang putra dan seorang putri. Putri bungsu itu bernama Ceilo Bintang, seorang gadis yang cantik jelita. Karena kecantikannya, Raja Jawa ingin meminangnya, namun dengan lembut ditolak. Setelah itu datanglah dari Kerajaan Timur melamarnya. Diterima lamaran tersebut, namun dengan satu syarat, yakni harus dibawakan seribu bibit pala. Rombongan dari Kerajan Timur tersebut pun datang dengan membawa bibit pala yang dijadikan mahar, namun cerita kelam mulai terjadi. Salah seorang rombongan juga ingin meminang Putri Ceilo Bintang, namun cara yang harus dilakukan adalah dengan membunuh putra mahkota. Pada akhirnya semua rombongan tewas sebelum bertemu dengan bangsawan Lonthoir. Bibit pala yang dibawa pun kemudian tumbuh subur di Banda. Melihat kondisi tersebut, Raja Jawa mencoba kembali meminang Ceilo Bintang. Karena alasan takut dengan kutukan, Mata Guna kemudian menerima pinangan tersebut. Konon, kerajaan dari Jawa tersebut diketahui adalah Majapahit.
Tumbuh suburnya rempah dan kegunaannya terdengar sampai Eropa. Pada akhirnya berdatanganlah bangsa-bangsa dari segala penjuru dunia ke Banda, berusaha untuk menguasai rempah yang dinilai sangat mahal. Bahkan pala digambarkan sebagai pohon emas.
Cerita berlanjut dari adanya keberadaan orangkaya, pembunuhan Verhoven, hingga kembalinya Jan Pieterszoon Coen untuk membalas dendam atas kematian Gubernur Verhoven. Penguasaan Banda oleh Belanda secara penuh berawal dari genoshida yang dilakukan Coen. Tidak lupa penulis juga menceritakan bagaimana cerita tentang perkeniers, sang penjaga kebun pala yang ditunjuk oleh Belanda, dari masa jawa hingga keruntuhannya.
Barulah di bagian kelima dan keenam, sosok Mirah mulai diceritakan dengan detail. Meskipun pada bagian-bagian sebelumnya sempat menyinggung Mirah, namun kisah hidupnya, kepedihannya, dan pengharapannya digambarkan pada bagian kelima dan selanjutnya.
Mirah bukanlah orang asli Banda, melainkan orang asli Jawa, tepatnya dari Semarang. Ia sudah pergi dari Semarang sejak sekitar umur 5 tahun. Bukan sengaja pergi meninggalkan kampungnya, namun dibawa oleh dua orang laki-laki yang tidak tahu berasal dari mana. Kala itu, di rumahnya di Semarang, ada pula seorang perempuan bernama Yu Karsih yang turut bantu-bantu di rumahnya. Saat pergi ke pasar, Yu Karsih dan Mirah kecil dibawa kedua laki-laki tak dikenal. Hingga pada akhirnya mereka dibawa ke atas kapal dan tibalah di tanah rempah, yang kemudian diketahui adalah Banda. Dari sinilah cerita tentang Mirah dimulai.
Sampai di tanah Banda, Yu Karsih dipekerjakan di kebun pala yang dikelola Tuan Coci, sang pengurus perken (kebun, dalam bahasan belanda) yang memiliki darah campuran Ambon-Portugis. Mirah kecil pun juga ikut dalam sekumpulan pekerja di kebun pala tersebut. Tuan Coci lambat laun tertarik akan kecantikan Yu Karsih, dan berulang kali mendatang bedeng, tempat tinggal Yu karsih di kebun Pala. Di saat yang bersamaan ada pula Tuan Besar, sang pemilik kebun yang juga tertarik dengan Yu Karsih, kedudukannya di atas Tuan Coci. Mirah melihat sosok Tuan Besar sebagai pelindung yang sangat baik karena pada akhirnya Tuan Besar memulangkan Tuan Coci ke Ambon karena berperilaku kasar dengan Yu Karsih, meskipun itu adalah alasan di balik ketertarikannya dengan Yu Karsih.
Selama berjalannya waktu, bertemulah Yu Karsih dengan Lajamu, seorang penangkap ikan yang sering berinteraksi dengannya di kebun pala. Mengetahui hal tersebut, Tuan Besar yang kemudian diketahui namanya Johan Kelus Setin tidak lantas marah, meskipun sang Tuan Besar juga menyukai Yu Karsih dan sudah menjadikanya sebagai gundik atau prampuang piara. Pada akhirnya pernikahan Yu Karsih dan Lajamu berlangsung dan diberi hadiah Tuan Besar. Lalu bagaimana dengan Mirah? Ia dipekerjakan di rumah milik Tuan Besar sebagai babu dalam. Tugasnya mengurusi Nyonya Besar dan putri perempuannya. Meskipun hidup dengan lebih baik, namun kesedihan terus dirasakan Mirah. Ia harus jauh dengan orang yang diikutinya selama ini, yakni Yu Karsih. Di sisi lain, Mirah selalu digambarkan sebagai gadis yang tidak punya kekuatan apapun dan hanya terlihat pasrah. Lebih lagi, ia selalu menyebut ibu dan bapaknya saat merasakan rindu yang berkecamuk.
Tuan Besar sering bepergian ke Jawa, di saat itu pula rumahnya semakin tidak terurus, banyak laki-laki Belanda lain bermain ke rumahnya, bahkan menginap. Kemudian diketahui bahwa Nyonya Besar menjadi gundik dari Belanda lain. Bagaimana seorang Nyonya Belanda menjadi gundik dari sesama Belanda? Namun begitulah gambaran yang kemudian membuat cerita tentang kehidupan Mirah berubah. Nyonya Besar diceraikan dan Tuan Besar hidup hanya dengan para pekerjanya. Anak perempuannya sudah menikah dan ikut suaminya, anak laki-lakinya sudah pergi ke Jawa, bahkan saat Mirah masih kecil.
Mirah yang sudah tumbuh besar sempat dipekerjakan kembali di kebun pala karena kekurangan kuli. Di sana ia jatuh hati dengan Lawao yang tidak lain adalah anak dari Lajamu. Lawao dan Mirah merencanakan pernikahan, lalu pergi ke Jawa. Namun rencana itu gagal sesaat Lawao pergi melaut dan tak kunjung kembali. Mirah yang tidak punya arah tujuan kemudian dikembalikan ke rumah Tuan Besar setelah tidak dipekerjakan di kebun pala.
Tuan Besar yang hidup menyendiri pada akhirnya menjadikan Mirah sebagai gundiknya, perempuan piaranya. Dalam kisah ini Mirah digambarkan menjadi sosok gadis cantik yang sangat kesepian. Ia sudah tidak bersama dengan Yu Karsih yang selalu diikutinya, di sisi lain Lawao sebagai salah seorang pengharapannya tidak kunjung datang. Sebagaimana para pekerja-pekerja lain atau kuli kontrak lain, Mirah yang mungkin hidupnya lebih beruntung karena hidup di Rumah Tuan Besar pada dasarnya juga adalah seorang pekerja kontrak yang seakan tidak memiliki pilihan hidup lain selain mengikuti apa kata tuannya.
Meskipun tidak menikah secara resmi dengan Tuan Besar, dari hasil hubungannya itu lahirlah anak perempuan dan kemudian laki-laki yang secara berurutan bernama Lili dan Weli.
“Tiba-tiba saya menyesali kehidupan saya yang mirip burung kakatua. Dikagumi orang, dielus-elus, diajak bernyanyi, tetap dirantai kuat. Saya lebih suka hidup seperti burung walor di hutan pala. (h. 216)”
Di saat pedih yang teramat sangat, kisah cinta Mirah berlanjut di bagian ketujuhdan kedelapan. Ia bertemu kembali dengan Lawao yang sudah lama pergi melaut. Meskipun Mirah sudah memiliki anak dari Tuan Besar, Lawao masih begitu mencintai Mirah, begitu pun Mirah yang masih menganggap Lawao adalah pengharapannya. Mereka berdua berencana kabur dari Banda dengan menunggangi perahu. Namun naas, ombak besar membuat perahu mereka hancur. Mereka pun terpisah kembali, beruntung Mirah ditemukan kapal putih besar milik Belanda dan kemudian dikembalikan ke Banda, ke rumah Tuan Besar, sedangkan Lawao pergi entah ke mana, atau mungkin sudah mati.
Untuk kedua kalinya Mirah ditinggal cintanya. Di saat bersamaan, harga pala mulai menurun, hidup tak segemilang sebelumnya. Hadiah yang biasa diberikan oleh Tuan Besar tak lagi diberikan. Pala yang sudah tak bernilai mahal diganti dengan bahan pangan darurat seperti ketela dan sejenisnya. Banda dilanda kemiskinan, lalu datanglah Jepang. Kedatangannya tidak ingin menguasai rempah Banda, melainkan ingin membawa orang-orang Belanda dan keturunannya. Diceritakan kemudian, di belahan bumi lain Belanda kalah dari Jepang. Tuan Besar kabur, Weli anak laki-laki dari pria Belanda dibawa Jepang, entah untuk apa dan ke mana. Meskipun tanpa kekerasan, hari itu adalah perpisahannya dengan putranya. Berlanjut dengan anak perempuannya, meskipun sudah pergi dari tanah Neira, tepatnya ke Banda Besar, Jepang mendapat kabar bahwa ada seorang anak perempuan Indo-Belanda yang bersekolah pergi ke Banda Besar. Tanpa kekerasan pula, Lili dibawa Jepang untuk disekolahkan dan dijadikan perawat untuk tentara Jepang. Berpisahlah lagi Mirah dengan orang-orang yang disayanginya.
Kemudian Jepang dikabarkan kalah dengan sekutu. Pala Banda ditanam kembali, penduduk rasanya ingin kembali merasakan kehidupan mewah dari si pohon emas. Saat itu pula, Mirah kembali dipertemukan dengan Lawao yang ternyata masih hidup namun berada di bagian pulau lain. Mereka kemudian menikah. Menikah atas dasar cinta, akan tetapi Mirah yang sudah semakin menua sudah sulit memberikan anak untuk Lawao. Hidup pun makin menyiksa Mirah karena tidak bisa memberikan keturunan untuk lelaki yang dicintainya. Pernah Mirah meminta Lawao menikahi gadis lain yang lebih muda agar bisa memberikannya keturunan, namun Lawao menolak dan marah. Permintaan tersebut berulang kali ditolak, hingga pada akhirnya Lawao menikahi wanita asal Madura, Maimunah namanya. Mirah tak ingin kisah cintanya membuat seseorang kehilangan keturunannya akibat dirinya tak bisa melahirkan. Tidak punya orang-orang terkasih, ia ingin pulang ke Jawa mencari ibu dan bapaknya, namun ia tidak pernah tahu nama kampungnya. Selain itu, Mirah tidak punya biaya untuk kembali.
Di bagian kesembilan dan kesepuluh, penulis menceritakan perpisahan antara Mirah dengan para turis yang datang ke Banda. Namun ada yang menarik di bagian sembilan, yakni cerita menyedihkan dari Lili. Nampaknya penulis ingin memperlihatkan bahwa sebagai orang kontrak, nasib mereka tidak pernah mujur. Mirah masih beruntung menjadi gundik seorang Belanda meski tidak bisa bergerak bebas, namun Lili yang dibawa Jepang memiliki cerita yang lebih pedih. Lili pada akhirnya menjadi perempuan penghibur, melayani nafsu dari pria-pria Jepang. Sempat hamil yang entah siapa ayah dari kandungannya, namun kemudian kehamilan itu digugurkan atas permintaan Toshiro, seorang pria Jepang yang baik. Hingga akhirnya mereka, Lili dan Toshiro, menikah dan memiliki seorang anak perempuan. Kekalahan Jepang dengan sekutu membuat mereka harus pergi dari pulau tak jauh dari New Guinea, tempat Lili dipekerjakan. Naas, Toshiro tak selamat, sedangkan pelayaran Lili tiba di tanah Australia, tepatnya di Cairns, dan menitipkan anaknya ke sebuah panti asuhan di sana. Anak perempuan yang dititipkan tersebut diadopsi oleh keluarga Higgins.
Di awal tulisannya, penulis memperkenalkan Wendy sebagai seorang anak perang. Yang Wendy ketahui dari keluarga barunya (Higgins) adalah ia merupakan anak dari seorang laki-laki Jepang yang baik dan ibu yang baik pula keturunan Indo-Belanda (p.20). Namun sekali lagi Wendy tak pernah tahu siapa kedua orang tuanya, lalu di belahan bumi Indonesia mana ibunya berasal. Di bagian kesembilan ini, penulis menunjukkan bahwa Wendy adalah anak Lili yang kemudian diadopsi keluarga dari Australia. Artinya selama ini, selama liburan para turis tersebut ke Banda, pertalian darah tersebut bertemu. Mirah tua adalah nenek dari Wendy. Akan tetapi penulis sengaja tidak mempertemukan hubungan darah antara keduanya. Kenyataan tersebut tidak pernah mereka sadari bahwa mereka adalah seorang cucu dan nenek yang dipertemukan. Yang Wendy sadari adalah ia begitu tertarik dengan kisah hidup Mirah tua, yang mengingatkan akan dirinya sebagai seorang anak perang, sama-sama tidak tahu nama kampung halaman dan nama asli ibu-bapaknya. Begitu pula dengan Mirah, dalam hati dan tak pernah diucapkan kepada Wendy, sosok Wendy mengingatkannya pada Lili karena memiliki rambut keriting, kulit putih, dengan dagu terbelah seperti anaknya yang dibawa Jepang.
Cerita yang dituliskan oleh Hanna Rambe memanglah rekaan. Meskipun demikian cerita tentang Banda tidak sepenuhnya adalah fiksi. Ada bagian yang benar-benar nyata, seperti penamaan perken Ulupitu atau Tita Lama, namun ada pula yang digambarkan dengan penuh rekaan. Beberapa gambaran tentang kondisi Banda juga dituliskan dengan cukup detail, meskipun terkadang cukup samar, seperti Rumah Putih. Entah itu merujuk ke mana, namun berdasarkan letak dan deskripsi yang dituliskan penulis, serta berdasarkan realitas saat ini, rumah tersebut mungkin saja merujuk pada Istana Mini. Kekuatan penulis juga terlihat dari bagaimana ia membangun karakter Mirah dengan baik serta para turis untuk mendukung kisah-kisah hidup Mirah, terutama Wendy. Selain itu, gambaran Banda yang multi-etnis juga dituliskan dengan cermat. Pemilihan asal-muasal tokoh, kemudian perannnya dalam kehidupan di Banda ditulis dengan detail. Ada pula kisah yang menceritakan bahwa Belanda tidak hanya memonopoli rempah, namun juga pekerja. Semua pekerja atau kuli kontrak yang didatangkan adalah perempuan. Tujuannya adalah agar para laki-laki berdatangan, dan tidak perlu untuk membiayai para pekerja laki-laki tersebut untuk ke Banda. Ibarat bunga, ketika bunga itu cantik dan bermekaran, maka para kumbang pasti akan datang. Meskipun kenyataannya belum jelas apakah hanya perempuan atau tidak yang sengaja didatangkan Belanda ke Banda. Selebihnya, bumbu-bumbu kisah cinta, rasa kepedihan, dan juga sebuah pengharapan semakin memperkaya “Mirah dari Banda”. Karya ini adalah hasil dari kunjungan penulis pada April-Mei tahun 1982, sedangkan setting waktu yang diceritakan dalam tulisannya ini tidak dijelaskan secara komprehensif. Namun yang jelas, kisah yang dituliskan ini melalui beberapa periode. Mulai dari zaman Belanda, Jepang, hingga masa kemerdekaan, meskipun beberapa waktu yang diceritakan jauh melampaui masa itu.
“Salahkah Tuhan menciptakan dan menganugerahkan pala kepada penduduk Banda? Tidak. Tuhan tidak pernah bersalah, bukan? Tuhan Maha Tahu, Maha Kuasa, dan Sempurna. Manusialah yang tidak pandai menghargai karunia-Nya. Manusia habis dicabik-cabik oleh egoisme”.
Karya ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1983, dan novel yang saya baca dan ulas kali ini adalah hasil cetakan ketiga.
Rambe, Hanna. Mirah dari Banda. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. (2010).