Menyandang status Daerah Khusus Ibu Kota, Jakarta menjelma menjadi pusat kegiatan ekonomi, politik-pemerintahan, hingga perlambang kemajuan Indonesia. Dengan daya dukung infrastruktur yang dimilikinya, ia seolah berlari sendiri meninggalkan ‘saudara-saudaranya’ yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, menghasilkan jurang ketimpangan yang menganga, terutama dengan daerah administrasi lainnya di luar Pulau Jawa. Ini tercermin dari jejak pendapat Populi Center awal tahun 2019, dimana 53,8 persen masyarakat berpendapat masih terdapat ketimpangan ekonomi, dan hanya 9,8 persen yang berpendapat tidak ada ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa. (Mengenai ketimpangan silakan klik link berikut ).
Jakarta, meskipun tidak dapat dikatakan mewakili seluruh daerah di Pulau Jawa, namun keberadaannya di tanah Jawa menjadikan simbol bahwa daerah metropolitan tersebut menjadi representasi dari Jawa, dan simbol pembeda bagi wilayah di Luar Jawa. Tidak mengherankan jika wacana memindahkan Ibu Kota Negara menjadi diskursus yang tak lekang oleh zaman.
Di era Presiden Sukarno, wacana pemindahan ibu kota pertama kali muncul pada 1957, tatkala ia meresmikan Palangka Raya sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah. Dalam kesempatan tersebut, Sukarno yang merupakan arsitek lulusan Technische Hoogeschool te Bandoeng, kini menjadi Institut Teknologi Bandung, menyatakan ia telah membuat masterplan ibu kota baru sejak masa kemerdekaan. Gagasan ini kemudian muncul kembali saat ia memberikan Seminar TNI Angkatan Darat di Bandung tahun 1965.
Pada masa Orde Baru, isu pindah ibu kota juga muncul. Daerah Jonggol, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, sempat digadang-gadang menjadi lokasi bagi ibu kota baru. Belakangan muncul kabar bahwa isu pindah ibu kota sengaja dimunculkan oleh pengusaha properti untuk menaikkan harga tanah di daerah tersebut.
Polusi udara akibat kemacetan yang tak kunjung terkendali, meningkatnya kepadatan penduduk, serta banjir besar yang melanda Jakarta pada tahun 2013, membuat wacana memindahkan ibu kota kembali menghangat di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kajian terhadap pemindahan ibu kota secara serius baru dimulai oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di era pemerintahan Joko Widodo.
Dalam Pidato Kenegaraan di hadapan Parlemen pada 16 Agustus 2019, Presiden menyampaikan secara resmi tentang rencana memindahkan Ibu Kota Negara (IKN). Selang beberapa pekan, ia pun mengumumkan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara di Provinsi Kalimatan Timur sebagai lokasi yang dipilih yang kelak akan menyandang status IKN menggantikan Jakarta. Lantas, bagaimana reaksi publik terhadap rencana kebijakan tersebut?
Grafik 1.
Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara
Sumber: Survei Populi Center
Data di atas didapat dari hasil survei Populi Center di Bulan November 2019 menunjukkan bahwa total sebesar 52,5 persen masyarakat setuju dengan rencana pemerintah untuk memindahkan IKN dari DKI Jakarta ke Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara. Sedangkan masyarakat yang menilai tidak setuju terkait rencana pemindahan tersebut total sebesar 37,7 persen, dan yang tidak tahu/tidak menjawab sebesar 9,7 persen. Dapat dikatakan mayoritas masyarakat setuju jika IKN berpindah tangan dari Jakarta ke Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara.
Namun data tersebut juga menunjukkan tren penurunan persepsi publik terkait dengan persetujuan rencana pemindahan ibu kota. Melalui model pertanyaan yang sama, pada survei di Bulan Oktober 2020, data Populi Center menunjukkan bahwa total sebesar 39,8 persen menilai setuju tentang rencana pemindahan ibu kota. Selain itu masyarakat yang menilai tidak setuju terkait pemindahan ibu kota berada pada total angka sebesar 45,8 persen. Sedangkan yang tidak tahu atau tidak menjawab sebesar 14,4 persen.
Dari dua data tersebut terlihat bahwa tren penilaian setuju dari masyarakat tentang pemindahan ibu kota sebesar 12,7 persen. Sedangkan masyarakat yang menilai tidak setuju meningkat 8,1 persen dari rentang survei pertama di bulan November 2019 hingga survei kedua di bulan Oktober 2020.
Salah satu penjelas yang ditangkap Populi Center mengapa tingkat persetujuan tentang pemindahan ibu kota dari Jakarta ke kedua wilayah di Kalimantan Timur tersebut menurun adalah karena pada saat yang bersamaan Indonesia sedang dilanda pandemi COVID-19.
Grafik 2.
Proses Pemindahan Ibu Kota Negara Saat Pandemi COVID-19
Sumber: Survei Populi Center
Data di atas didapat dari hasil survei Populi Center pada Bulan Oktober 2020. Melalui pertanyaan yang diberikan terkait setujukah masyarakat apabila proses pemindahan ibu kota tetap berjalan sesuai rencana mengingat saat ini bersamaan dengan kondisi pandemi COVID-19, masyarakat yang menjawab rencana pemindahan tersebut setuju untuk tetap dilanjutkan sebesar 23,8 persen. Sedangkan sebesar 62,7 persen masyarakat tidak setuju jika proses pemindahan IKN tetap dilanjutkan di tengah pandemi COVID-19.
Agaknya, masyarakat ingin pemerintah fokus pada penanganan wabah serta pemulihan ekonomi yang menurun sejak dua tahun terakhir. Meski demikian, belum ada tanda-tanda berhentinya rencana pemindahan IKN tersebut. Di tengah situasi ini, pemerintah harus lebih bijak menentukan tahapan pelaksanaan pemindahan IKN. Jangan sampai tujuan mulia pemerataan kesejahteraan yang telah lama dicita-citakan justru mengorbankan keselamatan sebuah generasi anak bangsa yang kini sedang berjuang bertahan hidup di masa pagebluk.