Sukarno (1945 – 1967)

Sehari setelah Sukarno membacakan naskah proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta Pusat, Putra Sang Fajar tersebut ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai presiden, dan Muhammad Hatta sebagai wakil presiden. Dengan kalimat lain, Sukarno dan Hatta tidaklah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum (Pemilu) seperti di era reformasi sekarang ini. Di masa awal kemerdekaan itu, sebagaimana dimandatkan UUD 1945, Indonesia menerapkan sistem presidensial. Konsekuensi logisnya, presiden berperan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. George Kahin (1995:190) dalam Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia menyebutkan bahwa Sukarno, Hatta, Amir Sjarifuddin, dan Ir. Surachman membentuk kabinet pemerintahan pertama dalam lintasan sejarah negeri ini pada 2 September 1945.

Kabinet pemerintahan yang masih seumur jagung itu langsung menemui beragam tantangan. Belanda dengan membonceng sekutu datang kembali ke Indonesia kira-kira seminggu setelah kemerdekaan, dan disusul dengan kontak senjata di berbagai daerah, lalu agresi militer pada 1947 dan 1948. Yang lain, seruan Sutan Sjahrir agar rakyat Indonesia menolak semua pemimpin yang pernah bekerjasama dengan Jepang. Kahin (1995:209) menyatakan bahwa penolakan paman kebanggan Chairil Anwar itu tidak lepas dari ketakutannya terhadap potensi fasis dari pemerintahan yang ada. Di benak Bung Kecil itu, penolakan itu sama saja dengan sikapnya yang menolak sistem partai tunggal. Jika sistem multi-partai tidak diberlakukan, semua aliran politik tidak akan bisa diwakili dalam realitas politik, dan Indonesia berpotensi jatuh ke jurang fasisme. Itulah sebabnya Sjahrir demikian getol mengusulkan pemberlakukan sistem multi-partai.

indonesia-independence-50879689-5c8c248f46e0fb000187a2b4
Sukarno. Sumber: ThoughtCo.com

Usulan Sjahrir tersebut diterima oleh Sukarno. Bagi Bung Besar itu, anjuran pemberlakukan sistem multi-partai merupakan persiapan menuju penyelenggaran Pemilu pada Januari 1946 yang diamanahkan Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 (Kahin, 1995:195). Sekalipun Pemilu di tahun itu tidak terlaksana, gagasan Sjahrir tadi adalah landasan pemberlakuan sistem multi-partai dalam lintasan sejarah realitas politik di Indonesia. Adapun masukan untuk membersihkan pemimpin yang pernah berkolaborasi dengan Jepang mau tidak mau harus dilakukan Sukarno. Di samping ingin memperlihatkan ke Belanda bahwa Indonesia bukanlah bentukan Jepang, Sukarno juga tidak ingin kekuasaan jatuh ke tangan Tan Malaka, dan lebih memilih untuk merapat ke Sjahrir. Keputusan itu tentu saja bukan tanpa pertimbangan. Bagi Sukarno, Sjahrir masih mau memberikan dukungan kepadanya, sedangkan Tan Malaka justru melakukan hal sebaliknya. Karena itu, Sukarno meminta Sjahrir menjadi perdana menteri, dengan wewenang penuh membentuk anggota kabinet. Pada 14 November 1945, Sjahrir pun membentuk kabinet pemerintahan yang anggotanya tidak ada sangkut pautnya dengan Jepang (Kahin, 1995:212-213). Inilah masa di mana sistem pemerintahan Indonesia berubah dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer. Sekalipun tidak sesuai dengan apa yang diamanatkan UUD 1945, sistem itu diberlakukan dengan pertimbangan sebagaimana disebutkan tadi.

Pemberlakuan sistem parlementer ternyata tidak hanya dibarengi dengan penarikan diri Belanda dari Indonesia pada 1949, akan tetapi juga diikuti dengan pemberontakan di sejumlah daerah. Pemberontakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) menyeruak di Jawa Barat pada 1949, pemberontakan Republik Maluku Selatan pada 1950, pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan pada 1951, pemberontakn DI/TII di Aceh pada 1953, gerakan Permesta pada 1957, gerakan PRRI pada 1958, dan sejenisnya. Hal ini tentu saja menyita energi dan tenaga pemerintah yang demikian besar. Selain karena usia Indonesia saat itu yang masih begitu belia, Indonesia sebelumnya sudah direpotkan oleh pemberontakan PKI di Cirebon dan Madiun masing-masing pada 1946 dan 1948.

Di tengah berbagai gejolak dalam negeri itu, tidaklah mengherankan jika sistem parlementer mengalami ketidakstabilan. Hermawan Sulistyo (2002:75-76) dalam Electoral Politics in Indonesia: A Hard Way to Democracy menyebutkan bahwa beragam gejolak tersebut telah memunculkan pertanyaan tentang legitimasi sistem pemerintahan. Kabinet pada masa sistem parlementer pun akhirnya jatuh bangun berkali-kali. Ketidakstabilan politik ini diyakini bisa diatasi dengan dilaksanakannya Pemilu. Disahkannya UU Pemilu 1953 semakin membuka jalan ke arah sana. Di sini, Pemilu pertama dalam sejarah Indonesia pun bisa terwujud. Sekalipun prosesnya boleh dikatakan fair dan demokratis, akan tetapi hasil dari Pemilu itu mengecewakan bagi orang-orang yang berharap stabilitas pada sistem parlementer. Tidak ada partai politik yang berkontestasi bisa memenangkan seperempat total suara. Partai Nasional Indonesia (PNI), misalnya, memperoleh 22,3 persen, diikuti dengan Masyumi dengan 20,9 persen, Nahdlatul Ulama dengan 18,4 persen, dan PKI dengan 18 persen.

Pemilu legislatif 1955 kemudian diikuti dengan Pemilu lokal 1957. Seperti Pemilu 1955, sekalipun dianggap fair dan demokratis, Pemilu lokal 1957 juga dianggap tidak bisa mengatasi krisis politik. Karena itu, Sukarno, yang mendapat dukungan militer, memberlakukan keadaan perang atau darurat perang yang berlandaskan pada UU Keadaan Darurat Perang pada 1957. Sukarno kemudian membubarkan Parlemen, dan UUD 1945 diganti dengan UUDS 1950. Konsekuensi logisnya, Sukarno memiliki wewenang untuk mengganti anggota Parlemen yang terpilih, kembali ke sistem presidensial dan melarang partai politik untuk menolak perubahan tersebut. Sukarno selanjutnya mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan menegakkan rejim otoritarian bermana “Demokrasi Terpimpin”. Ia menunjuk anggota Perlemen, dan mayoritas berasal dari PKI dan PNI. Di tahun-tahun berikutnya, Sukarno semakin merapat ke PKI, dan akhirnya berbeda sikap dengan militer (Sulistyo 2002:76). Sikap Sukarno itu ternyata tidak sejalan dengan sikap Hatta. Akhirnya, sebagai bentuk kekecewaan, Hatta mengundurkan diri dari kursi wakil presiden, dan memberikan kritik keras terhadap praktik Demokrasi Terpimpin. Sulistyo (2002:76) menyebutkan bahwa ketegangan di penghujung kepemimpinan Sukarno berujung pada Peristiwa 30 September 1965. Sekalipun upaya kudeta itu memang gagal, akan tetapi militer menuding bahwa PKI merupakan dalang kudeta itu. Tudingan itu berujung pada pembantaian orang-orang PKI.

Pada akhirnya, Jenderal Suharto mengambilalih kekuasan dari Presiden Sukarno, dengan nama Orde Baru. Dalam konteks global, Sulistiwo (2002:76) menyebutkan bahwa kemunculan Orde Baru tidak lepas dari dukungan dan perlindungan Amerika Serikat dan negara Barat lain. Keberhasilan Suharto menghabisi PKI di akhir pemerintahan Sukarno dianggap negara-negara tersebut sebagai sebuah pencapaian gemilang. Meskipun bab-bab terakhir hidup Sukarno tidaklah istimewa, akan tetapi ia bersama Hatta berhasil melewati masa-masa awal kemerdekaan yang sulit. Di dalam negeri, misalnya, keduanya mampu meredakan keresahan dan pemberontakan di berbagai daerah. Tantangan dari luar negeri tidak kalah pelik. Agresi militer Belanda I dan II serta diplomasi mempertahankan Indonesia dari cengkerangan Belanda sukses dilalui oleh keduanya. Hingga hari ini, kita masih bisa menyaksikan bahwa Indonesia tetap bertahan sebagai sebuah bangsa.

Suharto (1967 – 1998)

Pada Maret 1966, Presiden Sukarno menyerahkan kekuasaan kepada Suharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966. Surat perintah tersebut menjadi pintu masuk Suharto untuk menjadi Presiden Indonesia. Meskipun memunculkan dualisme di pemerintahan, pelimpahan kekuasaan itu telah mendorong MPR melalui Sidang Istimewa untuk mengangkat Suharto menjadi Pejabat Presiden pada Maret 1967. Setelah satu tahun, Suharto akhirnya dilantik MPR menjadi presiden penuh (Litbang Kompas, 2020:v). Dengan naiknya Suharto sebagai presiden, Indonesia pun memasuki babak baru bernama Orde Baru—istilah Orde Baru dicetuskan oleh Suharto untuk memutus kekuasaannya dari kekuasaan Sukarno.

Modal utama kekuasaan Suharto adalah dukungan tentara dan kemarahan rakyat kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Selepas “membereskan” Sukarno, Suharto menempuh tiga cara untuk membangun dan mempertahankan kekuasaannya. Pertama, menyingkirkan perwira berorientasi kiri dan Sukarnois. Kedua, mempromosikan para jenderal yang tidak berpotensi menggunakan tentara melawan presiden. Ketiga, orang-orang yang mendukung Sukarno dan menonjol di masyarakat disingkirkan dari posisi-posisi berpengaruh (Said, 2016:10). Ujung dari penjelasan itu ialah penggusuran orang-orang yang bisa mengancam kekuasaan Suharto. Selama 32 tahun berkuasa, praktik-praktik seperti itulah yang bisa dikukuhkan Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan.

Tanggal-Lahir-Presiden-Suharto
Suharto. Sumber: Idsejarah | January 18, 2016

Kalau Indonesia penuh dengan letupan-letupan politik di masa kepemimpinan Sukarno, Indonesia di masa kepemimpinan Suharto relatif jauh lebih tenang, sekalipun itu hanya terjadi di permukaan. Guna mewujudkan itu, Suharto memperkuat peran negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya dimanifestasikan dengan mengelompokkan partai-partai politik ke dalam tiga golongan. Pertama, golongan spiritual yang diwakili PPP sebagai buah penggabungan NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti. Kedua, PDI merepresentasikan golongan nasionalis sebagai hasil fusi PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo. Ketiga, Golkar sebagai kenderaan politik Suharto menjadi presiden selama enam periode dan militer menguasai kursi di DPR. Said (2016:13) menjelaskan bahwa fusi partai politik lebih difungsikan sebagai “pelengkap penderita” di atas pentas politik yang dikuasai Suharto. Di setiap pemilu, sebagaimana diketahui, Golkar selalu keluar sebagai pemenang, dengan dukungan pemilih lebih dari 60 persen. Menjadi catatan, Pemilu itu tidaklah dilakukan secara etis. Pasalnya, komite pelaksana independen yang tidak ada, dan pemilih yang dimobilisasi secara masif dan terstruktur.

Untuk memperkuat kekuasaannya, Orde Baru melalui TAP MPR No. II/MPR/1978 mencanangkan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4). Konsekuensi kebijakan itu ialah pengkultusan Pancasila sebagai asas tunggal. Pada titik ini, seluruh elemen masyarakat diharuskan untuk mengikuti penataran P4. Materi dalam penataran itu terdiri dari Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4), UUD 1945, dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Kegiatan itu dilaksanakan oleh Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Di atas kertas, kegiatan tersebut memang terlihat mengagumkan. Namun, ia sloganisme semata, bahkan dilaksanakan dengan cara-cara indoktrinisasi.

Di samping mengontrol partai politik dan indoktrinisasi ideologi negara, Orde Baru juga memberikan peran ganda kepada ABRI. Pada titik ini, ABRI tidak hanya berperan dalam bidang pertahanan dan keamanan sebagai kekuatan militer, melainkan juga turut serta di bidang politik sebagai pemegang kekuasan dan pengatur negara. Peran ABRI itu disebut dengan Dwifungsi ABRI. Gambaran paling nyata keterlibatan ABRI dalam kehidupan sosial dan politik ialah jabatan-jabatan sipil yang dipegang oleh anggota ABRI. Di tengah kondisi perekonomian yang kacau balau dan politik yang bergejolak, stabilitas politik memang menjadi kata yang diidam-idamkan Suharto untuk menjamin terciptanya stabilitas ekonomi. Tanpa stabilitas politik, seperti di masa Presiden Sukarno, Indonesia tidak akan melangkah ke mana-mana, karena terlalu sibuk mengurusi pertikaian politik, dan pada akhirnya perhatian pun terbatas pada isu-isu perekonomian.

Dihadapkan pada ekonomi yang berantakan warisan Sukarno, Suharto membuka keran investasi asing pada 1967. Bagi Suharto, masuknya investasi asing akan memutar roda perekonomian (Historia, 28/08/2015). Pada masa Orde Baru pula, pembangunan dikukuhkan, dengan konsep Trilogi Pembangunan. Dalam konsep tersebut, terdapat tiga yang dikemukakan, yakni pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan pemerataan pembangunan. Karena situasi ekonomi yang buram, pertumbuhan ekonomi lebih diprioritaskan, lalu stabilitas politik, dan terakhir pemerataan ekonomi. Kalau diperhatikan pada tataran praktis, pembangunan itu dirumuskan dalam jangka panjang (25-30 tahun) dan jangka pendek (lima tahun). Selama periode Orde Baru, terdapat enam pembangunan jangka pendek tersebut, yakni Repelita I (1969-1974), Repelita II (1974-1979), Repelita III (1979-1984), Repelita IV (1984-1989), Repelita V (1989-1994), dan Repelita VI (1994-1999).

Meskipun begitu, bukan berarti pemerintahan di masa Orde Baru berjalan mulus tanpa kendala. Pada awal 1970-an, misalnya, suhu politik di dalam negeri memanas. Pemicunya, pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang dinilai mahasiswa dan kaum intelektual sebagai bentuk penghamburan di tengah terbatasnya keuangan negara. Terlebih, sebelum Tien Suharto mengumumkan rencana pembangunan proyek mercusuar itu, Suharto menganjurkan rakyat untuk tidak melakukan pemborosan. Sebagai bentuk protes, mahasiswa melakukan diskusi dan demontrasi penolakan terhadap proyek itu. Guna menghadang gelombang demonstrasi, pemerintah melarang kegiatan yang menentang pembangunan proyek tersebut, dan menahan beberapa tokoh penentang TMII (Historia, 24/11/2018). Tidak hanya itu, selepas kasus TMII, tepatnya pada 1974, peristiwa Malari (Malapetaka Januari) meletus. Peristiwa itu terjadi dikarenakan penyelewangan program pembangunan nasional yang dilakukan oleh pejabat pemerintah pada akhir Repelita I. Secara bersamaan, alih-alih mengutamakan kepentingan rakyat, kebijakan ekonomi justru memprioritaskan investor Jepang. Tidaklah mengherankan jika mahasiswa dan kaum intelektual geram dan turun ke jalan sebagai bentuk protes. Seperti kasus TMII, pemerintah lagi-lagi menahan mahasiswa dan kaum intelektual untuk mencegah kerusuhan semakin memburuk.

Pada akhir tahun 1997, krisis finansial Asia Tenggara tiba di Indonesia. Krisis ekonomi itu bermuara menjadi krisis politik. Walaupun sudah mengikuti resep IMF, seperti penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, Suharto tetap tidak bisa membendung krisis tersebut. Pada akhirnya, sebagaimana dikatakan Said (2016:13), “Suharto tidak punya cukup dana ‘membeli’ dan membiayai para pendukungnya dan masyarakat luas pada umumnya”. Di hadapan wartawan dalam dan luar negeri, juga para pembantu presiden, Suharto pun membacakan pidato yang tidak pernah ada sebelumnya: “…Sejak beberapa waktu terakhir saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara… Dengan memerhatikan keadaan di atas… saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak dibacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998” (Habibie, 2006:65-66).

Habibie (1998 – 1999)

Di Credential Room Istana Negara, di hari Kamis pada 21 Mei 1998 itu, Indonesia dan dunia internasional tidak hanya menyaksikan Suharto mengundurkan diri dari kursi presiden, melainkan juga melihat pengangkatan Wakil Presiden B.J. Habibie sebagai Presiden Indonesia. Pengangkatan itu berpijak pada TAP MPR No. VII/MPR/1973, yang berbunyi: “jika Presiden berhalangan, maka Wakil Presiden ditetapkan sebagai Presiden.” Setelah mengucapkan sumpah jabatan, Habibie sadar betul bahwa krisis ekonomi dan kekalutan di tengah masyarakat bisa memorak-porandakan Indonesia. Dalam Detik-Detik Yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Habibie (2006:92) menyatakan: “Bukankah ini semua…dapat men-trigger terjadinya perpecahan atau “Balkanisasi” Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan 1945? Bukankah perang saudara dapat terjadi?”

Bacharuddin_Jusuf_Habibie_official_portrait
Bacharuddin Jusuf Habibie. Sumber: Wikipedia

Dalam hitungan minggu sejak naik ke kursi presiden, Habibie memperlihatkan komitmennya kepada hak-hak azasi manusia (HAM), dengan membebaskan tahanan-tahanan politik, yaitu kaum separatis dan tokoh-tokoh tua eks PKI. Tindakan itu kemudian diikuti dengan pembebasan aktivis mahasiswa, pemberian Amnesti kepada orang-orang yang ditahan setelah insiden Tanjung Priok 1984, dan pengakuan kepada Mohammad Natsir sebagai pemimpin bangsa—wujud dimaafkannya pemberontakan PRRI oleh pemerintah (Ricklefs, 2007:665). Selain itu, Habibie mengakhiri kontrol ketat terhadap pers yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Pada masa Habibie pula bermunculan media cetak baru. Bagi Habibie (2006:114-115), kebebasan pers merupakan “wahana untuk menyalurkan kebebasan menyampaikan pendapat… salah satu pilar penting demokrasi.” Hingga hari ini, kebebasan pers yang dibuka oleh Habibie masih bertahan, dan menjadi fondasi demokrasi.

Meskipun Suharto sudah tidak lagi di kursi kekuasaan, gelombang demonstrasi ternyata tidak kunjung berhenti, dan sebagain dari mereka menuntut perubahan revolusioner. Namun, Habibie justru lebih memilih untuk melakukan ‘evolusi yang dipercepat’ (accelerated evolution). Habibie menyadari bahwa hal itu hanya mungkin terjadi jika sidang istimewa dengan MPR bisa diadakan (Anwar, 2010:101-102). Selepas sidang MPR pada 10-13 November 1998, terdapat sejumlah ketetapan yang dihasilkan, antara lain, terbukanya kesempatan untuk mengamandemen UU 1945 tanpa melalui referendum, pencabutan P4 sebagai mata pelajaran wajib (Ketatapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998), masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi hanya sampai dua kali masa tugas yang masing-masing lima tahun (Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998), agenda reformasi meliputi pemilihan umum, ketentuan untuk memeriksa kekuasaan pemerintah, pengawasan yang baik, serta berbagai perubahan terhadap Dwifungsi ABRI. Selain itu, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, mendorong kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat, dan pembebasan tapol/napol.

Hasil pemerintahan Habibie yang patut dicatat adalah penyelenggaraan pemilu. Sebelum menyelenggarakan pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang partai politik, RUU tentang pemilu, serta RUU tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi undang-undang, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintahan. Satu hal yang membedakan pemilu 1999 dengan pemilu-pemilu di masa Orde Baru adalah pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik. Hal ini tidak lepas dari kebebasan untuk mendirikan partai politik. Melalui pemilu yang dipercepat, anggota DPR dan MPR diganti sebelum selesai masa kerjanya. Bahkan, Habibie memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai 2003, suatu kebijakan dari presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Pada 7 Juni 1999, sekalipun persiapannya terbilang singkat, Pemilu pertama sejak jatuhnya Orde Baru dapat terlaksana. PDI-P muncul sebagai pemenang pemilu 1999, dengan 33,7 persen. Golkar mendapatkan 22,4 persen, diikuti PKB dengan 12,6 persen, PPP dengan 10,7 persen, dan PAN dengan 7,1 persen (Ricklefs, 2007:669). Selain menempatkan PDI-P di urutan teratas perolehan suara, hasil Pemilu 1999 juga mengantar Amien Rais sebagai Ketua MPR dan Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR pada periode 1999-2004. Pemilu langsung yang bebas dan adil seperti inilah yang terus masih bertahan hingga sekarang ini. Yang menarik, Anwar (2010:107) mencatat bahwa peran personal Presiden Habibie sangat signifikan dalam menyukseskan Pemilu 1999, sebab ia meminta kepada pemimpin dunia, termasuk Presiden AS, PM Inggris, PM Australia, dan Sekretaris Jenderal PBB, untuk membantu Indonesia dalam proses transisi demokrasi.

Tidak hanya itu, Habibie juga memberikan perhatian terhadap otonomi daerah. Di sini, sentralisasi kekuasan pada masa Orde Baru ditransformasikan oleh Habibie ke desentralisasi kekuasaan. Tentang ini, ada dua undang-undang yang perlu untuk diketengahkan. Pertama, UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah memberikan wewenang luas kepada kabupaten dan kota, bukan provinsi. Di bawah undang-undang ini, daerah memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan pemerintahan di berbagai bidang, kecuali pertahanan kemanan, politik luar negeri, peradilan, fiskal dan moneter, dan agama. Adapun UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk menerima pembagian keuangan dari pemerintah pusat untuk membiayai kebutuhan daerah sesuai dengan desentralisasi. Sejak pengesahan dua undang-undang itu, relasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah pun berubah hingga hari ini.

Sementara itu, ekonomi Indonesia yang mengalami pertumbuhan negatif dan nilai tukar rupiah yang melemah pada 1998 membuat reformasi di bidang ekonomi diarahkan pada pemulihan dan stabilitas ekonomi. Dalam konteks ini, Habibie mengikuti sejumlah langkah yang disyaratkan oleh IMF guna mengatasi krisis, terutama mencegah kenaikan harga-harga, membenahi ketersediaan dan keterjangkauan pangan dan kebutuhan pokok lainnya, merealisasikan jaring pengaman sosial, mengembangkan ekonomi rakyat, dan mereksturasi perbankan dan utang swasta (Habibie, 2006:215).

Meskipun demikian, kebijakan paling kontroversial di masa kepemimpinan Habibie ialah memberikan hak menentukan nasib sendiri kepada Timor Timur. Di sini, orang-orang Timor Timor diberikan pilihan apakah mereka mau menerima tawaran otonomi luas atau memisahkan diri dari Indonesia. Dari hasil referendum yang dilaksanakan pada 30 April 1999 itu, sebagian besar penduduk Timor Timur ternyata memutuskan untuk memerdekakan diri dari Indonesia. Mendapati hasil tersebut, Habibie mengharapkan MPR memberikan pengakuan kepada terhadap keputusan rakyat Timor Timur. Dengan disahkannya ketetapan pemisahan Timor Timur dengan Indonesia itu, Indonesia bisa menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia merupakan bagian dari masyarakat Internasional yang bertanggung jawab, demokratis, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Secara bersamaan, sebagian kalangan merasa bahawa lepasnya Timor Timur dari Indonesia merupakan wujud kegagalan Habibie sebagai Presiden Indonesia.

Tidaklah mengherankan jika pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie di depan sidang umum MPR mendapat penolakan pada 14 Oktober 1999. Di luar gedung MPR/DPR itu, mahasiswa dan rakyat juga berdemonstrasi sebagai wujud penolakan terhadap pidato tersebut. Bagi mereka, Habibie merupakan bagian dari rezim Orde Baru. Kejadian itu membuat Habibie mengundurkan diri dari bursa pencalonan presiden. Sekalipun masa kepemimpinan Habibie terbilang singkat, juga dianggap sebagai bagian dari Orde Baru, Habibie justru menunjukkan bahwa dirinya memiliki semangat demokrasi, dan menjunjung tinggi HAM. Memang, ikhtiar Habibie jauh dari kata sempurna. Namun, apa yang dilakukannya telah mengantarkan negeri ini menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia (Anwar, 2010:117).

Abdurrahman Wahid (1999 – 2001)

Abdurrahman Wahid, atau akrab disapa Gus Dur, lahir di Jombang 7 September 1940. Terlahir dengan nama Abdurrahman Adakhil, ia merupakan anak dari KH. Abdul Wahid Hasyim, mantan Menteri Agama RI tahun 1949 – 1953, sekaligus cucu dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Pesantren Nahdlatul Ulama.

Keterlibatannya dalam politik dimulai pada tahun 1982 saat ia ikut mengkampanyekan Partai Persatuan Pembangunan pada pemilu di tahun tersebut. Namanya semakin menjadi pembicaraan saat terpilih menjadi Ketua Pengurus Besar NU hasil Muktamar tahun 1984. Mukatamar tersebut juga memutuskan NU menarik diri dari kegiatan politik praktis, termasuk keanggotaannya sebagai unsur pembentuk PPP. Pada pemilu selanjutnya tahun 1987 Gus Dur menjadi anggota MPR RI, namun bukan berasal dari PPP melainkan dari Golkar. Pada pemilu tersebut Gus Dur dan beberapa tokoh NU gencar mengkampanyekan bahwa memilih atau mendukung selain PPP dalam pemilu bukanlah sesuatu yang haram bagi umat Islam.

Abdurrahman Wahid. Sumber: Wikipedia

Saat reformasi politik terjadi, muncul keinginan dikalangan warga NU untuk membentuk suatu partai politik sebagai kanal aspirasi untuk berpolitik, yang terpisah dari organisasi NU. Pada 29 Juni 1998 terbentuklah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan di kediaman Gus Dur, yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua PBNU, dengan Matori Abdul Djalil sebagai Ketua Umum pertama (Tirto 21/8/19). Keikutsertaan PKB pada pemilu 1999 ternyata mendapat banyak sambutan. Terbukti partai ini berhasil memperoleh suara sebesar 13 juta, hanya kalah dari PDIP, yang menjadi pemenang pemilu, serta dari Partai Golkar yang berada di peringkat ke dua perolehan suara nasional.

Meskipun Partai Kebangkitan Bangsa tidak menjadi pemenang dalam Pemilihan Umum 1999, namun Gus Dur berhasil memenangkan pemilihan presiden dalam Sidang Umum MPR pada 20-21 Oktober di tahun yang sama. Ia pun langsung dilantik menjadi Presiden RI ke empat. Sidang tersebut juga menghasilkan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden yang mendampingi Abdurrahman Wahid sebagai Presiden untuk periode 1999 hingga 2004.

Gus Dur dihadapkan pada banyaknya tuntutan untuk memulihkan kondisi Indonesia setelah hiruk pikuk reformasi yang berlangsung sejak tahun 1998. Di dalam negeri, ia menggunakan pendekatan yang lebih humanis untuk menggantikan corak kepemimpinan militer yang lekat dengan Orde Baru. Jajaran kabinet yang dipimpinnya didominasi oleh tokoh-tokoh sipil. Gus Dur, misalnya, memberikan perhatian yang simpatik terhadap tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Tidak lama setelah dilantik sebagai presiden, ia mendatangi Irian, provinsi yang juga penuh gejolak saat itu. Melalui cara dialog, ia berhasil memenangkan hati orang-orang yang dengan keras menyuarakan pemisahan dengan Republik Indonesia. Ia meloloskan permintaan masyarakat yang ingin menjadikan Papua sebagai nama provinsi menggantikan Irian Jaya. Ia juga mendukung penuh pelaksanaan Kongres Rakyat Papua dengan memberikan bantuan pendanaan. Sejak saat itu, Bendera Bintang Kejora yang menjadi identitas lokal masyarakat Papua diperbolehkan berkibar, dengan syarat-syarat tertentu.

Di bidang keagamaan, Gus Dur memperbolehkan perayaan Tahun Baru Imlek bagi masyarakat keturunan Tiong Hoa, dan menjadikannya sebagai hari libur. Tak cukup sampai di situ, ia kemudian juga menetapkan Kong Hu Cu sebagai agama yang diakui negara. Sementara di luar negeri, Gus Dur berupaya keras meyakinkan dunia internasional bahwa Indonesia sebagai negara dengan umat muslim terbesar mampu menerapkan sistem demokrasi dan hidup dalam harmoni.

Gus Dur memang dikenal luas sebagai orang yang mempromosikan pentingnya toleransi dan pluralisme dalam kehidupan sehari-hari. Dengan landasan berpikir demikian, maka sebagai presiden ia mencoba memberikan kesetaraan manusia, bukan saja sebagai warga negara, melainkan juga warga dunia. Sayangnya, beberapa wacananya dianggap kontroversial. Di antaranya ialah keingingan untuk mencabut Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang pelarangan PKI, dan pelarangan penyebaran ajaran komunisme dan Marxisme/Leninisme di Indonesia. Ia juga sempat ingin membuka hubungan dagang secara langsung dengan Israel, sesuatu yang sudah dianggap ‘haram’ bahkan sejak dalam pikiran oleh sebagian besar umat islam Indonesia. Keduanya kandas akibat penolakkan yang luas dari berbagai elemen masyarakat.

Di bidang ekonomi, kinerja pemerintahan kabinet yang dipimpin Gus Dur cukup baik. Dari minus 3 persen di masa Habibie, menjadi tumbuh 4,9 persen pada tahun 2000. Tim ekonomi di era Gus Dur juga berhasil menekan ketimpangan yang ditandai dengan menurunnya koefisien rasio gini dari 0,37 pada 1999 menjadi 0,31 tahun 2021. Sebagai perbandingan, rasio gini terbaik yang pernah dicapai oleh Orde Baru ialah 0,32 pada tahun 1993, sekitar dua puluh tahun setelah Soeharto diangkat menjadi Presiden (Kompas.com 21/02/20).

Jabatan Gus Dur sebagai presiden tidak berlangsung lama. Hasil investigasi yang dilakukan Pansus DPR mengindikasikan dua hal. Pertama, Gus Dur dianggap berperan dalam pencairan dan penyelewangan dana Yayasan Bina Sejahtera Badan Urusan Logistik. Kemudian yang kedua, tidak terdapat kejelasan informasi mengenai aliran uang yang berasal dari Sultan Brunei (Tirto, 29/01/20). Publik mengenalnya dengan istilah Bulog Gate dan Burnei Gate. Meskipun saat itu belum ada keputusan pengadilan yang menyatakan Gus Dur bersalah, bahkan tidak terbukti hingga kini, namun desakan agar ia turun dari jabatannya terus menguat.

Gus Dur kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya membekukan DPR dan MPR. Dekrit tersebut tidak didukung oleh banyak pihak, mulai dari Wakil Presiden Megawati, koalisi Poros Tengah yang dulu pernah mendukungnya, dan Tentara Nasional Indonesia, terutama setelah pencopotan Wiranto sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.

Amien Rais selaku Ketua MPR waktu itu mempercepat Sidang Istimewa pada 23 Juli, lebih cepat dari yang dijadwalkan sebelumnya yaitu 1 Agustus 2001. Akhirnya Sidang Istimewa MPR memutuskan mencopot Gus Dur dari jabatannya, dan mengangkat Megawati sebagai Presiden beserta Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden. Meskipun mendapatkan dukungan ribuan santri dari kalangan nahdliyin untuk tetap menjabat, namun pada 28 Juli 2001 Gus Dur secara resmi mengundurkan diri sebagai Presiden RI untuk menghindari konflik yang lebih luas. Meski diturunkan dengan cara yang tidak biasa, selamanya ia dikenang sebagai Presiden RI yang paling toleran dan humanis dalam memimpin pemerintahan.

Megawati Soekarnoputri (2001 – 2004)

Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri atau lebih sering disebut Megawati Soekarnopoetri merupakan anak ke dua dari pasangan mantan Presiden Soekarno dengan Fatmawati. Keterlibatannya dalam bidang politik dimulai tahun 1986 saat ia menjadi Wakil Ketua PDI Cabang Jakarta. Keberadaan trah Soekarno dalam partai membawa pengaruh yang cukup baik karena jumlah kursi PDI meningkat, dari 24 pada pemilu 1982, menjadi 40 pada pemiu 1987. Sejak itu karirnya meningkat pesat, mulai dari menjadi anggota DPR RI tahun di tahun tersebut, hingga kemudian terpilih sebagai Ketua PDI dalam Kongres Luar Biasa di Surabaya tahun 1993. Perlahan tapi pasti ia menghimpun pendukung dan loyalisnya dalam berpolitik.

President_Megawati_Sukarnoputri_-_Indonesia
Megawati Sukarnoputri. Sumbe: Wikipedia

Pada tahun 1996, muncul Kongres PDI di Medan yang diinisiasi beberapa kader yang menginginkan pergantian kepemimpinan partai. Kongres tersebut dianggap ilegal karena seharusnya kongres baru dilaksanakan pada 1998. Soerjadi terpilih sebagai Ketua PDI hasil Kongres Medan. Kehadiran Menteri Dalam Negeri dan Panglima ABRI dalam kongres di Medan membuat banyak kalangan menilai adanya campur tangan pemerintah Orde Baru untuk menyingkirkan Megawati dari PDI.

Sementara itu Megawati tidak mengakui hasil Kongres karena melanggar AD/ART partai, dan bertekad mempertahankan Kantor PDI. Soerjadi yang didukung pemerintah berupaya mengambil paksa Kantor PDI yang kemudian berubah menjadi kerusuhan antara massa pendukung Megawati dan kelompok pendukung Soerjadi, yang kemudian dikenang sebagai persitiwa Kerusuhan Dua Tujuh Juli. Kubu Megawati akhirnya kalah karena gugatan perdata yang dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kandas (Kompas, 27/06/16). Meski demikian, dukungan terhadapnya semakin besar, bukan saja dari kader partai melainkan juga aktivis pro demokrasi lainnya yang berseberangan dengan Pemerintah Orde Baru. Pada pemilu 1997, PDI versi Soerjadi hanya memperoleh suara sebanyak 3 persen. Megawati memilih golput, sementara para pendukungnya diduga memberikan suaranya untuk PPP.

Seiring dengan gelombang ketidakpuasan yang semakin menguat, Soeharto meletakkan jabatannya sebagai Presiden pada bulan Mei 1998, dan digantikan oleh wakilnya B.J Habibie. Salah satu tugas Habibie ialah menyelenggarakan pemilu yang demokratis pada tahun 1999. Untuk menghadapi pemilu, Megawati menghimpun kembali pendukung dan loyalisnya dalam Kongres V PDI di Denpasar, Bali. Meski ia terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum, namun pemerintah saat itu masih mengakui kepengurusan PDI versi Soerjadi, sehingga ia mengubah nama partai menjadi PDI Perjuangan agar bisa mengikuti pemilu.

Pada pemilu yang diikuti oleh 48 partai politik tersebut, PDIP berhasil menjadi pemenang dengan meraup lebih dari tiga puluh lima juta suara, dengan jumlah kursi DPR sebanyak 153. Meski demikian, hasil tersebut tidak serta merta mengantarkan Megawati menjadi presiden. Sebab pada Sidang Istimewa MPR untuk memilih Presiden yang dilakukan pada bulan Oktober 1999, Abdurrahman Wahid dari PKB mendapatkan 30 suara lebih banyak. Megawati sendiri kemudian terpilih sebagai Wakil Presiden mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.

Tidak sampai dua tahun menjabat sebagai Wakil Presiden, Megawati kemudian diangkat menjadi Presiden Indonesia ke lima, sekaligus presiden perempuan pertama dalam sejarah Republik Indonesia. Hal ini tidak lepas dari dimakzulkannya Presiden Abdurrahman Wahid dalam Sidang Istimewa MPR, Juli 2001. Meski Megawati akhirnya berhasil menjadi presiden, tidak ada perayaan yang berlebihan waktu itu karena situasi politik yang sedang memanas. Tidak ada aktifitas di kantor-kantor PDIP, karena pendukungnya hanya menyaksikan Sidang Istimewa melalui siaran televisi (Kumparan, 20/10/19).

Megawati menjabat sebagai Presiden selama tiga tahun hingga 2004. Peristiwa penting yang terjadi pada masa kepemimpinannya ialah dilakukannya Amandemen UUD 1945 sebanyak dua kali, melalui Sidang Istimewa MPR. Tujuannya ialah meneguhkan sistem presidensial dan memperkuat kedaulatan rakyat. Melalui kedua amandemen tersebut, lahirlah keputusan penyelenggaraan pemilihan presiden secara langsung menggantikan pemilihan melalui MPR, serta dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah yang kedudukannya setara dengan DPR RI.

Sementara itu, beberapa kebijakan reformasi di bidang hukum dan pemerintahan yang muncul pada era Presiden Megawati bisa kita rasakan hari ini. Di antaranya ialah didirikannya Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai garda terdepan dalam mengungkap kasus-kasus penyelewangan dana dan rasuah oleh para pejabat, tidak terkecuali mereka yang berasal dari partai pendukung pemerintah. Berdirinya KPK merupakan sebuah kemajuan penting mengingat di masa-masa sebelumnya kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah nyaris tidak tersentuh. Selain itu terdapat juga Mahkamah Konstitusi, sebuah cabang kekuasaan baru di bidang yudikatif, yang salah satu tugasnya menguji kesesuaian sebuah Undang-Undang terhadap peraturan yang lebih tinggi, yaitu UUD 1945. Di bidang kesejahteraan, Megawati mewariskan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang mengatur kewajiban negara di bidang kesehatan.

Meski demikian, terdapat juga beberapa kebijakan kontroversial yang dikeluarkan pemerintahan Megawati. Salah satunya ialah kebijakan privatisasi BUMN. Saat itu pemerintahan Megawati dihadapkan pada tuntutan untuk membayar utang negara sebagai imbas krisis moneter tahun 1997-1998. Melalui penjualan sejumlah BUMN senilai Rp. 18,5 triliun, ia berhasil menurunkan utang Indonesia. Salah satu yang terus menjadi perbincangan hingga kini ialah penjualan Indosat kepada BUMN milik Singapura, Temasek (Kompas.com, 26/07/2019).

Pada pemilu 2004, Megawati mencalonkan diri sebagai Presiden, berdampingan dengan Hasyim Muzadi yang saat itu merupakan Ketua PBNU. Dalam pemilihan presiden yang pertama kali dilakukan secara langsung tersebut, Megawati dikalahkan oleh mantan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan di era kabinetnya, Susilo Bambang Yudhoyono.

Susilo Bambang Yudhoyono (2004 – 2014)

Pemilihan umum tahun 2004 menjadi tonggak bersejarah bagi Indonesia, sebab untuk pertama kalinya masyarakat Indonesia dapat memilih langsung calon yang diinginkannya, baik memilih anggota parlemen, maupun Presiden dan Wakil Presiden. Dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap sebanyak 153 juta orang, Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar bersama Amerika Serikat dan India. Sebagian kalangan sempat pesimis bahwa suksesi kepemimpinan secara langsung tersebut akan diwarnai kerusuhan. Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan mengingat saat itu euforia politik sedang tinggi. Beberapa tahun sebelumnya ketika Presiden Gus Dur dimakzulkan sempat terjadi ketegangan antara kelompok pendukungnya dengan kelompok lain yang menginginkan pergantian presiden. Namun nyatanya pemilihan dapat berlangsung tertib.

Pemilihan langsung waktu itu juga menandai pergeseran perilaku memilih masyarakat, dimana penilaian terhadap tokoh melampaui ikatan formal terhadap partai politik. Dalam pemilihan legislatif, Partai Demokrat yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono hanya mendapat sekitar 7 persen. Sementara mitra koalisinya yang mengusungnya,yaitu Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, mendapatkan suara tidak lebih dari 3 persen. Meski demikian, Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Jusuf Kalla berhasil mengungguli pasangan calon lainnya. Momentum bagi SBY semakin tidak terhentikan saat pemilihan presiden putaran kedua. Dukungan terhadapnya membesar seiring merapatnya partai-partai lain, seperti PAN, PKS, dan PKB. Pasangan SBY-JK kemudian keluar sebagai pemenang dengan raihan suara sebanyak 69 juta, mengalahkan Megawati yang menggandeng Ketua PBNU saat itu, Hasyim Muzadi. Dengan hasil tersebut, SBY menjadi Presiden RI ke enam, dan sekaligus presiden pertama yang dipilih secara langsung. Tidak lama setelahnya, Jusuf Kalla berhasil menjadi Ketua Umum Golkar, dan membawa partai tersebut masuk dalam koalisi pendukung pemerintah.

Susilo_Bambang_Yudhoyono_-_World_Economic_Forum_on_East_Asia_2011
Susilo Bambang Yudhoyono. Sumber: Wikipedia

Pada pemilu 2009, ia terpilih kembali sebagai Presiden untuk masa jabatan hingga 2014. Saat itu ia berpisah jalan dengan Jusuf Kalla yang juga mencalonkan diri sebagai presiden. Pada pemilu tersebut SBY cukup yakin dengan Partai Demokrat sebagai kendaraan politiknya sehingga ia memutuskan maju sebagai calon presiden dengan menggandeng seorang ekonom, Boediono, sebagai calon wakil presiden. Dalam pemilihan legislatif, Partai Demokrat mendapat lonjakkan suara hingga tiga kali lipat dibanding pemilu sebelumnya, yakni 20 juta suara, yang menjadikan partai berlambang Mercy tersebut sebagai pemilik kursi terbanyak di parlemen.

Pada periode keduanya sebagai Presiden RI, SBY membentuk koalisi besar di parlemen dengan nama Sekretariat Gabungan Partai Koalisi Pemerintah, yang anggotanya terdiri partai politik pemilik kursi di DPR, minus PDIP, Partai Gerindra, dan Partai Hanura. Tujuan koalisi ini ialah untuk memperlancar komunikasi di antara parpol yang menjadi anggota koalisi (Republika, 16/05/10). Melalui Sekretariat Gabungan, SBY ingin memperkuat komitmen partai-partai pendukungnya untuk memuluskan agenda strategis pemerintah.

Sebagian kalangan menilai keberadaan Sekretariat Gabungan ingin memangkas proses suatu kebijakan di parlemen. Sebagian lainnya memandang sebagai bentuk kartelisasi pemerintahan (Tempo, 15/06/10). Anggapan seperti ini mencuat karena pada 2008 pemerintahan SBY dipojokkan oleh partai-partai politik lainnya di DPR dalam kasus bailout Bank Century, termasuk partai yang menyatakan dukungannya terhadap SBY, seperti Golkar dan PKS. Melalui Sekretariat Gabungan, SBY membangun koalisi parlemen yang lebih formal disertai kontrak di antara anggotanya. Hal yang penting untuk dicatat ialah koalisi tersebut tidak dilandaskan oleh kesamaan ideologi atau cita-cita, melainkan oleh kepentingan pragmatis; agenda pemerintah tidak terganjal, sementara partai politik pendukungnya mendapatkan jatah kursi menteri di kabinet (Syamsudin Harris, 30/05/11). Di sisi lain, keberadaan Setgab juga membuat kontrol terhadap pemerintah menjadi lebih lemah. Akibatnya, cukup banyak pejabat teras dari partai-partai politik yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan terjerat kasus korupsi pada periode kedua SBY.

Banyaknya kasus korupsi di lingkaran kekuasaan membuat publik merasa tidak puas dengan performa pemerintahan yang dinilai jalan ditempat, terutama setahun menjelang berakhirnya masa jabatan SBY, sebagaimana tergambar dalam survei Litbang Kompas (Kompas.com, 21/10/13). John Mcbath, seorang jurnalis The Strait Times menggambarkan kondisi Indonesia di periode kedua SBY sebagai ‘sebuah dekade yang hilang’, sementara Indonesianis asal Australia Edward Aspinall dalam The Yudhoyono Presidency: Indonesia’s Decade of Stability and Stagnation menyebutkan tidak adanya terobosan yang berarti untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan minimnya manfaat dari peningkatan GDP oleh masyarakat kecil (Tirto, 20/10/17).

Meski demikian, publik akan mengingat sosok SBY sebagai Presiden yang cukup berhasil menjaga stabilitas politik dan demokrasi, termasuk menyelesaikan persoalan antara pemerintah pusat dengan gerakan separatisme di Aceh pada tahun 2005. Melalui perjanjian di Helsinki Finlandia, Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah pusat sepakat untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung sejak tahun 1970an tersebut secara damai, dengan sejumlah butir kesepakatan. Sementara di bidang ekonomi, SBY juga dinilai sukses menciptakan fundamen makroekonomi yang cukup kuat sehingga Indonesia berhasil melalui ancaman krisis keuangan global pada tahun 2008 tanpa masalah berarti. SBY juga mampu menekan angka pengangguran menjadi 5,7 persen, walaupun jumlah kemiskinan masih di angka 11 persen. (Kompas.com, 15/10/14). Sementara dalam hal demokratisasi, warisan terakhir SBY di ujung masa jabatannya ialah ditekennya Perppu tentang pemilihan langsung kepala daerah, yang membatalkan UU tentang pemilihan oleh DPRD yang dibuat oleh DPR RI.

Joko Widodo (2019 – Sekarang)

Nama Joko Widodo menjadi perbincangan saat ia menjabat sebagai Walikota Surakarta, terutama saat ia terpilih untuk periodenya yang kedua. Ia berhasil menang kembali dengan perolehan suara mencapai 90,09 persen. Sebagai Walikota ia dikenal dengan cara kerjanya yang berbeda dengan kepala daerah pada umumnya, yaitu sering turun ke masyarakat. Dari sini kelak istilah blusukan menjadi sering digunakan. Selain blusukan, ia juga dikenal dengan pendekatan dialog dalam menyelesaikan masalah. Melalui dialog, ia dinilai sukses memindahkan ratusan Pedagang Kaki Lima yang berjualan di sekitar Monumen ’45 ke Pasar Klithikan, tanpa masalah berarti.

Jokowi semakin dikenal banyak orang saat ia dicalonkan oleh PDIP untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta tahun 2012, berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama yang saat itu merupakan kader Gerindra. Saat itu Pilgub DKI Jakarta diikuti oleh beberapa nama tokoh dan politisi yang kiprahnya lebih dulu dikenal oleh publik, mulai dari Fauzi Bowo yang merupakan petahana sekaligus kader Partai Demokrat yang sedang berkuasa, Hidayat Nur Wahid yang pernah menjabat Ketua MPR, dan Alex Noordin yang saat itu menjabat Gubernur Sumatra Selatan, ekonom kenamaan Faisal Basri, dan mantan Komandan Polisi Militer Hendardji Soepandji.

Joko_Widodo_2019_official_portrait
Joko Widodo. Sumber: Wikipedia

Di putaran pertama pemilihan, pasangan calon Jokowi-Basuki mampu menang di lima kota administratif dengan meraup suara sekitar 1,8 juta (42,60 persen). Di sisi lain calon petahana yaitu Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli mendapatkan 1,4 juta suara pemilih (34,05%). Putaran dua yang hanya diikuti kedua pasangan calon tersebut juga berhasil dimenangi oleh Jokowi, yang kemudian mengantarkannya dari kursi Walikota Surakarta ke kursi Gubernur di Balaikota Jakarta. Berkat kemenangan ini, popularitas Jokowi semakin tinggi. Ia dikenal sebagai pemimpin dengan program yang kongkrit dalam mengatasi permasalahan. Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat yang dikampanyekannya kemudian segera dirasakan manfaatnya oleh warga Jakarta.

Jelang pemilihan umum tahun 2014, publik banyak membincangkan tentang kemungkinan Jokowi meramaikan bursa calon presiden. Dengan popularitas yang sedang berada di puncak, peluang untuk Jokowi dalam pilpres diperkirakan cukup besar. Satu-satunya ganjalan bagi Jokowi untuk maju dalam pilpres waktu itu ialah kendaraan politik. Keputusan PDIP, sebagai partai yang mengusungnya sejak di Surakarta, berada ditangan Ketua Umum Megawati, yang saat itu juga diperkirakan akan maju dalam pilpres. Oleh sebab itu Jokowi juga tidak pernah menyatakan apapun terkait pemilihan presiden kepada publik. Baru pada 14 Maret 2014 Megawati menunjuk Jokowi sebagai calon presiden dari partainya, dan ia pun menyatakan kesediaannya.

Pada pilpres ia berpasangan dengan Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden era SBY periode pertama. Sementara rivalnya ialah ia pendiri Partai Gerindra Prabowo Subianto, berpasangan dengan Ketua Umum PAN Hatta Rajasa. Pasangan Jokowi-JK berhasil keluar sebagai pemenang dengan 53,15 persen suara, unggul tipis dari pasangan Prabowo-Hatta yang mendapatkan 46,85 persen. Pada 20 Oktober 2014, Joko Widodo dan Jusuf Kalla resmi menjadi Presiden dan Wakil Presiden untuk masa jabatan hingga 2014.
Tidak lama setelah dilantik, ia langsung bergerak cepat menjalankan agenda utamanya, yaitu melakukan pembenahan dibidang ekonomi, membangun daerah-daerah pinggiran, dan mengupayakan adanya konektifitas antar daerah. Kebijakan awal yang mendapat perhatian publik ialah mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak. Kebijakan ini sebenarnya termasuk yang tidak populis untuk dilakukan oleh seorang pemimpin karena berarti akan membuat harga-harga kebutuhan naik. Namun Jokowi berhasil meyakinkan publik bahwa subsidi yang ditarik dari sektor BBM dialihkan untuk program-program yang bersinggungan langsung dengan kesejahteraan, seperti pendidikan, kesehatan, pertanian dan terutama, pembangunan infrastruktur (Infografis Kementerian Koordinator Bidang Keuangan, 14/08/17).

Hasilnya, sebagaimana dirilis Kantor Staf Presiden, pertumbuhan berada di level 5 persen per tahun, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan menurun. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, angka kemiskinan mencapai level satu digit, dibarengi dengan angka ketimpangan pendapatan yang menurun (Detik.com, 19/10/19). Dari sisi penciptaan lapangan kerja, Pemerintahan Jokowi-JK menumbuhkan 11,21 juta lapangan kerja, yang membuat angka pengangguran turun sejak 20 tahun terakhir (wartaekonomi.co, 20/10/19).
Presiden Jokowi juga merevitalisasi daerah-daerah perbatasan dan wilayah terluar, dengan mendirikan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di tujuh kabuaten/kota menjadi lebih baik sehingga mencerminkan wibawa dan martabat Indonesia. Selain PLBN, ia membangun dan mengaktifkan lagi sarana penunjang transportasi di daerah-daerah terpencil, terutama bandara dan pelabuhan, yang memungkinkan tumbuhnya titik ekonomi baru. Pertengahan 2018, pemerintahan Jokowi juga berhasil mengambilalih mayoritas saham Freeport sebanyak 51 persen. Sebelumnya keberadaan Freeport yang dimiliki pihak asing selalu mendapat sorotan karena tidak maksimalnya bagi hasil penambangan emas di Papua untuk keuangan negara.

Di bidang sosial, salah satu kebijakan yang juga mendapatkan sorotan ialah dikeluarkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Melalui Perppu ini, pemerintah membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia, yang telah cukup lama berdiri dengan mengusung agenda yang tidak sesuai dengan Pancasila ideologi negara. Sebagian pihak menilai ini sebagai sebuah kemajuan karena keberadaan HTI yang memperjuangkan berdirinya Daulah Islamiyah dianggap mengancam NKRI dan meresahkan banyak pihak. Namun tidak sedikit juga yang menganggap tindakan Presiden Jokowi yang membubarkan HTI sebagai sesuatu yang berlebihan dan tidak demokratis. Setelah pembubaran HTI, serangan terhadap Jokowi, baik kinerjanya sebagai Presiden maupun sebagai pribadi, menjadi gencar dilakukan terutama di media sosial dengan dalih kebebasan berpendapat. Untuk merespon hal tersebut, pemerintah melakukan revisi terhadap UU ITE yang mengatur kebebasan berpendapat. Pada perkembangannya, banyak pihak yang menganggap bahwa pemerintah menggunakan UU ITE untuk meringkus orang-orang yang mengkritik Presiden Jokowi.

Pada pemilu 2019, Jokowi kembali mencalonkan diri sebagai Presiden untuk masa bakti hingga 2024. Kali ini ia menggandeng KH. Ma’ruf Amin, seorang ulama senior dari kalangan Nahdliyin. Ia kembali bersaing dengan Prabowo Subianto yang menggandeng Sandiaga Salahudin Uno yang lebih banyak dikenal sebagai seorang pengusaha. Dalam pemilu tersebut, Jokowi berhasil mempertahankan jabatannya sebagai Presiden. Ia dilantik di tanggal yang sama sebagaimana pelantikan presiden pada masa-masa sebelumnya, yaitu pada 20 Oktober. Di periode kepemimpinannya yang kedua, ia banyak disorot karena pencalonan anak dan menantunya dalam Pilkada Surakarta dan Pilkada Kota Medan sebagai Walikota, yang dianggap sebagai upaya menciptakan dinasti politik baru di Indonesia. Di sisi yang lain, Pemerintahan Jokowi-KH. Ma’ruf Amin kini sedang diuji dengan persoalan pandemi Covid-19 yang melanda di hampir seluruh dunia, termasuk di dalam negeri. Kritik utama terkait masalah ini ialah kecenederungan pemerintah yang terlambat mengantisipasi masukknya virus tersebut, dan di saat yang bersamaan, berupaya mendatangkan wisatawan asing untuk datang ke Indonesia yang menambah potensi penyeberan varian baru Covid (Tempo, 02/03/20).

Daftar Pustaka

Anwar, D. F. 2010. The Habibie Presidency: Catapulting Towards Reform. In Soeharto’s New Order and its Legacy Essays in Honour of Harold Crouch. Edited by E. Aspinall and G. Fealy (eds). Canberra: ANU E Press.

Habibie, B. J. 2006. Detik-Detik Yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri.

Historia. 24 November 2018. Gerakan Menentang Pembangunan TMII. https://historia.id/politik/articles/gerakan-menentang-pembangunan-tmii-6mR4r/page/1

Historia. 28 Agustus 2015. Riwayat Masuknya Modal Asing ke Indonesia. https://historia.id/politik/articles/riwayat-masuknya-modal-asing-ke-indonesia-DWVy1/page/1

Kahin, G. M. 1995. Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surakarta: UNS Press.

Litbang Kompas. 2020. Soeharto: Menjadi Presiden Penuh. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Ricklefs, M. C. 2007. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Said, S. H. 2016. Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto. Bandung: Penerbit Mizan.

Sulistyo, H. 2002. Electoral Politics in Indonesia: A Hard Way to Democracy. In Electoral Politics in Southeast and East Asia. Edited by A. Croissant, G. Bruns & M. John (eds).

Singapore: ISEAS. Pp. 75-99.

Artikel/Berita

Antara. Mengukur Capaian 5 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK Di Bidang Politik, https://www.antaranews.com/berita/1119148/mengukur-capaian-5-tahun-pemerintahan-jokowi-jk-di-bidang-politik

BBC, 22 Mei 2018, Suharto, suara dari Timur: antara ‘diktator sukses’ dan ‘penindas kejam’, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43513185

CNN Indonesia, 17 Agustus 2017, ‘Saya Melihat Sukarno Coba Dibunuh Berkali-kali’, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170817114655-20-235373/saya-melihat-sukarno-coba-dibunuh-berkali-kali

CNN Indonesia, 7 September 2020, Jokowi: Fokus Nomor Satu Kita Tetap Kesehatan, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200907143632-20-543626/jokowi-fokus-nomor-satu-kita-tetap-kesehatan

Detik.com. KSP Beberkan Capaian 5 Tahun Jokowi-JK, https://news.detik.com/berita/d-4751750/ksp-beberkan-capaian-5-tahun-jokowi-jk-dari-politik-hingga-antikorupsi?single=1.

Kompas, 12 September 2019, Kenangan BJ Habibie: Kalau Saya Menutup Mata Saya untuk Selama-lamanya…, https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/12/080956565/kenangan-bj-habibie-kalau-saya-menutup-mata-saya-untuk-selama-lamanya?page=all

Kompas.com, Ini Prestasi Pemerintahan SBY Menurut Bappenas, https://money.kompas.com/read/2014/10/15/100000326/Ini.Prestasi.Pemerintahan.SBY.Menurut.Bappenas.

Kompas.com, Perkembangan Ekonomi Dan Politik Di Era Gus Dur https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/21/170000769/perkembangan-ekonomi-dan-politik-di-era-gus-dur?page=all#page2

Kompas.com. 27 Juli 1996 Dualisme Partai Politik Yang Berujung Tragedi, https://nasional.kompas.com/read/2016/07/27/05450081/27.Juli.1996.Dualisme.Partai.Politik.yang.Berujung.Tragedi.?page=all

Kompas.com. HTI Resmi Dibubarkan Pemerinta, https://nasional.kompas.com/read/2017/07/19/10180761/hti-resmi-dibubarkan-pemerintah?page=all.

Kompas.com. Perjalanan Politik Megawati Warisannya yang Dipuji dan Di Bully, https://nasional.kompas.com/read/2019/07/26/15130301/perjalanan-politik-megawati-3-warisannya-yang-dipuji-dan-di-bully?page=all

Kompas.com. Persepsi Terhadap Kinerja Pemerintahan SBY Jalan Di Tempat, https://nasional.kompas.com/read/2013/10/21/1136025/Persepsi.terhadap.Kinerja.Pemerintahan.SBY.Jalan.di.Tempat?page=all

Kompasiana, 23 Januari 2019, Megawati, Inspirasi Kaum Perempuan Indonesia, https://www.kompasiana.com/tuhombowo/5c4881f4677ffb495d143783/megawati-inspirasi-kaum-perempuan-indonesia?page=all

Koran Tempo. Sia-Sia Tutupi Corona, https://kolom.tempo.co/read/1314235/sia-sia-tutupi-corona/full&view=ok

Kumparan, Pelantikan Presiden Indonesia Dari Masa Ke Masa, https://kumparan.com/kumparannews/pelantikan-presiden-indonesia-dari-masa-ke-masa-1s5eZHMZ3Te/full

Lipi.go.id. Setgab Format Baru Koalisi, http://lipi.go.id/berita/format-baru-setgab-koalisi/6263

Nahdlatul Ulama, 7 Agustus 2016, Riwayat Hidup KH Abdurrahman Wahid, http://nahdlatululama.id/blog/2016/08/07/riwayat-hidup-kh-abdurrahman-wahid/
presidensby.info, 26 Juli 2020, Ketahui Lebih Dalam Tentang Susilo Bambang Yudhoyono, http://www.presidensby.info/

Republika. Marzuki: Kehadiran Setgab Untuk Lancarkan Komunikasi, https://www.republika.co.id/berita/115742/marzuki-kehadiran-setgab-untuk-lancarkan-komunikasi

Tempo.com. Sekretariat Gabungan Politik Kartel Yang Rapuh, https://koran.tempo.co/read/opini/203504/sekretariat-gabungan-politik-kartel-yang-rapuh

Tirto, Bulog Gate dan Brunei Gate Yang Berujung Lengsernya Gus Dur, https://tirto.id/bulog-gate-brunei-gate-yang-berujung-lengsernya-gus-dur-evB9

Tirto.id. 10 Tahun SBY Satu Dekade Yang Hilang, https://tirto.id/10-tahun-pemerintahan-sby-satu-dekade-yang-hilang-cyEU

Wartaekonomi.co. Rapor Jokowi Di Lima Tahun Pertamanya, https://www.wartaekonomi.co.id/read252446/rapor-jokowi-di-lima-tahun-pertamanya