UU ITE revisi

Sejak 28 November 2016, pemerintah sudah memberlakukan secara resmi UU ITE Revisi. Adapun UU ITE Revisi ini disahkan di tengah pelaksanaan kampanye Pilkada 2017. Anggota komisi I DPR RI, Dimyati Natakusumah menyatakan bahwa memang ketika memutuskan untuk menjadi Undang Undang, DPR juga mempertimbangkan pelaksanaan kampanye Pilkada. Apabila dilihat selama ini, dalam berkampanye, orang-orang melakukan black campaign atau negative campaign. “Dalam black campaign biasanya orang-orang membuat berita-berita bohong yang disebarkan via internet, padahal bohong dan fitnah. Ada kaitan dengan semua dan dengan pilkada. Apabila sudah naik di media sosial maka dengan sendirinya sulit untuk mengerem mana yang benar dan mana yang tidak. Apabila itu kebohongan, maka merugikan sejumlah pihak,” tutur Dimyati di diskusi Perspektif Jakarta, 3 Desember 2016.

Lantas apa sebenarnya target utama pemerintah dalam revisi Undang Undang ini? Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Noor Izza, menjelaskan bahwa pada intinya, Undang Undang ITE sudah aktif berlaku sejak 2008. Noor Izza menampik bahwa revisi UU ITE ini akan meningkatkan angka kriminalisasi orang-orang yang berekspresi lewat media sosial dan internet, tetapi lebih kepada pencegahan supaya kriminalisasi tersebut tidak terjadi.

Lebih rinci, Noor Izza pun menjelaskan bahwa aturan memang lebih ketat dibanding sebelum direvisi, dan di dalam revisi ada beberapa hal. Pertama dari sisi kriteria dan ruang lingkup mengenai apa yang dimaksud penghinaan dan pencemaran nama baik. Kriterianya itu mengacu pada KUHP. Dibanding sebelumnya, kriteria tidak mengacu pada suatu hal. “Jadi kalau menghina dan mencemarkan nama baik jelas siapa yang dicemarkan,” ucap Noor Izza.

Kedua adalah perihal aduan. Menurut Noor Izza, yang dapat mengadu adalah orang yang bisa menjadi target dari penghinaan dan pencemaran nama baik tersebut. Dan yang ketiga adalah untuk mencegah kriminalisasi.

Komisioner Bawaslu DKI Jakarta, Muhamad Jufri membenarkan bahwa memang, kampanye media sosial menjadi salah satu metode yang banyak dipilih oleh tim kampanye. Hal ini karena saat ini, penyelenggara Pilkada belum memperbolehkan iklan di televisi. “Metode kampanye yang saat ini dapat digunakan tim kampanye yaitu kampanye media sosial, dialog terbatas, dan tatap muka,” jelas Muhamad Jufri. Adapun menurut Jufri, kegiatan kampanye banyak dilakukan di media sosial oleh tim kampanye karena murah, efektif, dan mudah terjangkau. “Kalau medsos sangat cepat dan efektif karena begitu banyak masyarakat sudah menggunakan medsos. Namun kami selalu mengawasi. Melakukan kampanye dengan menghina dan memprovokasi itu yang kita antisipasi karena hal tersebut dilarang,” ucap Jufri.

Jufri menambahkan bahwa dalam berkampanye via medsos, tim kampanye harus memiliki akun medsos resmi yang terdaftar di KPU untuk digunakan sebagai alat kampanye. Apabila dilihat realitanya, selama ini banyak kegiatan yang berkaitan dengan Pilkada, yang berkampanye positif, negatif, bahkan ada juga yang berkampanye provokatif. Inilah fungsinya UU ITE Revisi untuk peran pengawasan. “Kami akan menelusuri apabila ada aktivitas akun yang digunakan oleh seseorang yang tidak sesuai aturan. Kalau mereka yang tidak terdaftar, mereka tidak berhak berkampanye. Kalau bukan tim kampanye, bukan relawan, dilarang kampanye positif, bahkan negatif, dan provokatif,” tegas Jufri di sela diskusi.

Apakah serta merta revisi UU ITE ini dapat menurunkan tensi politik? Politisi PPP, Dimyati meragukan hal tersebut. Keraguan ini karena menurut Dimyati, masih banyak masyarakat yang beranggapan kalau UU ITE Revisi dianggap membatasi ekspresi. Padahal sebaliknya, UU ITE Revisi ini mengajarkan untuk memberikan informasi dan knowledge transfer yang baik. “Jangan mudah gara-gara satu jari bisa menyebabkan seseorang bisa hancur dan bisa hidupnya berantakan. Harus hati-hati menggunakan elektronik karena elektronik hukumannya lebih berat dari kriminal langsung, karena elektronik langsung menginfokan ke banyak orang,” tutur Dimyati.

Tidak hanya untuk menurunkan tensi politik, lebih jauh, UU ITE Revisi diharapkan dapat membuat kendali sosial di publik. Adapun maksud dari kendali sosial tersebut adalah dimana masyarakat saling mengawasi satu sama lain dan saling mengingatkan. “Intinya saling memberikan awareness, mendorong masyarakat juga memiliki social awareness juga,” lanjut Noor Izza. Jadi pada intinya, UU ITE Revisi di satu sisi memberikan kepastian hukum jangan sampai memasung aspirasi, tetapi kalau bersentuhan kepada seseorang dan menimbulkan kerugian bagi seseorang, mereka berhak proses secara hukum.

Dari segi implementasi di Pilgub DKI, Muhamad Jufri memaparkan bahwa sebenarnya dalam pelaksanaan kampanye oleh pasangan calon, Bawaslu DKI sudah membuat strategi untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Beberapa contoh seperti sudah sosialisasi aturan dan sanksi kepada tim kampanye paslon, bekerjasama melakukan pengawasan partisipatif dengan universitas dan lembaga pemantau pemilu, dimana nantinya akan bersama-sama mengawal seluruh tahapan Pilkada. “Mereka bisa memberikan informasi dan melaporkan kepada kami,” ucap Jufri.

Bagikan:

id_IDIndonesian