Refleksi Trajektori Sastra Perlawanan

Sastra Indonesia kontemporer mengalami penggubahan yang masif. Jika dahulu cukup dengan imajiner para sastrawan yang masuk dalam realitas sosial, kini ada elemen tambahan yang menggerakkan penciptaan produk-produk sastra, yaitu industri kapitalis. Akibatnya, karya sastra yang dulu memiliki representasi agung harus “turun gunung” untuk menyentuh penikmat generasi milenial.

Nisa Rengganis

Output kesusastraan pun tidak lagi bisa berdiri sendiri, namun cenderung untuk berkolaborasi dengan media-media kebudayaan lain seperti film dan panggung teater. Demikian disampaikan oleh Nissa Rengganis, Dosen Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Cirebon yang aktif menekuni sastra dalam Forum Populi “Refleksi Trajektori Sastra Perlawanan”, Rabu (23/5).

“Sastra tidak bisa sendiri hari ini. Harus lebih fresh,” kata Nissa. Salah satu laku kolaborasi ini pernah dihadirkan dalam panggung teater yang mengangkat tema Chairil Anwar dalam karya berjudul “Perempuan-Perempuan Chairil” tahun 2017. Penyair legendaris tersebut diperankan oleh aktor populer Indonesia Reza Rahadian dan berhasil menjaring penonton yang berasal dari generasi milenial. Menarik antusiasme masyarakat dengan cara yang lebih kekinian menjadi gerakan sastra era sekarang.

Hal ini jugalah yang mengakibatkan genre sastra bergeser ke arah “yang laku di pasar” sebagai output dan menjadi hal yang kontradiktif. Pidi Baiq, misalnya. Penulis ini menulis novel berjudul Dilan yang membidik anak-anak remaja sebagai target, yang kemudian diangkat menjadi film layar lebar. Maka dari itu, pemilihan diksi yang diambil pun adalah diksi merayu khas anak muda yang identik dengan gombalan. Bagaimana kualitas karya tersebut sebagai produk sastra menjadi pertanyaan selanjutnya.

Nissa mengakui, hari ini masyarakat sadar bahwa hidup menjadi sastrawan tidak lagi bisa menghasilkan uang. Bahkan, sastrawan senior Indonesia Sapardi Djoko Damono pernah mengecap pil pahit industri kapitalis. Bagaimana Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) ini berhadapan dengan royalti yang tidak didapat olehnya dari penerbit buku. Keuntungan yang diambil sebesar-besarnya dari para penulis dengan mengesampingkan apresiasi menggerakkan pelaku sastra melakukan self publishing atau indie. “Saya juga menulis buku dengan modal indie Rp 2,5 juta. Saat ini tidak ada yang mau apresiasi seorang penulis atau pengkarya, kecuali dengan semangat si penulis sendiri untuk mempromosikan karyanya,” jelas Nissa.

Penerbitan buku secara indie adalah langkah pertama. Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah turun ke pembaca. Sikap ini diambil oleh komunitas seni di Jogja melalui book and music festival bernama Mocosik. Bagaimana biaya tiket masuk festival musik dilakukan dengan membeli buku indie. Variasi aksi-aksi sastra yang tidak masuk melalui industri formal bergerak menemui audiens. Inilah, ungkap Nissa, yang kemudian harus menjadi gerakan massif sastra yang kreatif dan tidak menyerah pada pasar. Animo pemerintah ataupun media massa yang tidak lagi menumbuhkan ekosistem kesusastraan perlu disikapi dengan inovasi.

Lebih lanjut, Nissa menyoroti perkembangan sastra. Pembicaraan sastra yang berdekatan dengan realitas politik berawal dari era balai pustaka. Novelis angkatan ini banyak yang mengalami sensor dari pemerintah kolonial dan konflik yang dibangun masih berkutat pada persoalan tradisi Indonesia. Ambil contoh novel berjudul Siti Nurbaya yang ditulis oleh Marah Rusli. Pria yang mendapat gelar Bapak Roman Modern Indonesia oleh H.B. Jassin ini menceritakan adat kawin paksa yang mendera masyarakat muda pada saat itu.

Setelah itu, lahir era Sutan Takdir Alisjahbana. Pada periode ini, penulis menekankan fenomena gejala sosial. Bagaimana imajinasinya berkutat pada realitas yang terjadi di tengah masyarakat dibawakan dengan suasana puitis mendayu dan perpantunan melayu. Salah satu karyanya yaitu Puisi Nyiur Melambai membayangkan Indonesia yang tertib, aman, dan damai. Selanjutnya, era angkatan 45. Periodisasi ini oleh H.B. Jassin diungkapkan sebagai angkatan pembaharu karena berani menentang kredo-kredo lama yang kosa katanya masih berbentuk syair pantun. “Di sini Chairil Anwar melawan dengan kata-kata itu harus bebas dan lebih banyak membawa makna,” tutur Nissa.

Kemudian, generasi 66. Penulis Taufik Ismail menggaungi periode ini. Pria yang lahir di Bukittinggi ini dalam buku antologi puisi berjudul Tirani dan Benteng banyak menyuarakan penindasan dan perlawanan. Karya sastra bertajuk kritik kemudian menjadi tema populer di kalangan sastrawan. W.S. Rendra membacakan puisi-puisi metafor simbolik berisikan potret pembangunan yang merupakan celaan orde baru. Lalu ada Wiji Thukul, penyair yang hingga 20 tahun reformasi masih belum jelas keberadaannya ini, dengan tegas memberikan kecaman terhadap pemerintah lewat sajak-sajaknya. Syair-syair mereka hingga saat ini masih menjadi sarana yang cukup efektif dalam berbagai aksi demonstrasi rakyat untuk menyampaikan perlawanan ataupun penindasan.

Mengenai sastra hari ini, Nissa mengakui terdapat genre baru dengan istilah sastra wangi atau sastra biru. Genre ini ditempatkan bagi penulis sastra perempuan yang melakukan perebutan tempat untuk hal-hal yang berbau eksotisme dalam karyanya, baik itu mengenai seksualisme ataupun lesbian. Reformasi di Indonesia telah melahirkan sebuah fase perubahan sosial, politik, dan kultur yang mempengaruhi perkembangan sastra. Sastra menjadi lebih vulgar dan terbuka, juga di dalam keberanian pengarang perempuan Indonesia untuk mengungkapkan berbagai persoalan perempuan dalam bentuk sastra feminis. Sederetan nama seperti Ayu Utami, Djenar maesa Ayu, dan Fira Basuki mengusung feminisme yang menunjukkan kegelisahan perempuan di Indonesia. “Saya kemudian mengkritik apakah ini menjadi penting karena saat ini banyak persoalan perempuan yang bisa disuarakan (selain hal-hal eksotisme),” jelas Nissa.

Di sisi lain, hadirnya teknologi internet memberikan warna baru. Bagaimana saat ini masyarakat bisa dengan mudahnya menulis puisi di platform Facebook dan memviralkannya. Bandingkan dengan era sebelumnya yang mana penulis harus melalui seleksi ketat untuk bisa dipublikasikan di koran. Peralihan era dari sastra koran ke sastra cyber tidak terelakkan dan mendobrak metode konvensional yang baru akan melabelkan seseorang sebagai penulis jika bisa naik cetak. Akibatnya, banyak masyarakat yang mengaku-ngaku dirinya sastrawan karena mudahnya kreasi sastra melalui dunia maya.

Hartanto Rosojati, Peneliti Populi Center menilai, pembicaraan mengenai sastra tidak akan pernah lepas dari perilaku politik. Dua sisi yang senantiasa bersinggungan ini telah terjadi sejak jaman kerajaan. Dalam buku Kalangwan karya Zoelmulder dijelaskan bahwa kekuasaan militer politik ada di tangan raja dan kekuasaan intelektual religius berada di tangan kawi. Bagaimana raja yang memimpin harus mendapat dukungan dari kawi yang adalah ahli literati.

Seiring perubahan jaman, Hartanto memang melihat adanya pergeseran genre sastra yang lagi-lagi berkaitan dengan konteks politik. Mulai dari periode balai pustaka, pujangga baru, angkatan 45 yang memfokuskan diri pada konteks kemerdekaan, angkatan 50 yang terkenal akan krisis sastra, angkatan 66 yang memberikan perhatian serius pada politik, dan angkatan 70-200an yang berpikir tentang keindonesiaan.

Lebih lanjut, Hartanto menitikberatkan pada permasalahan yang dihadapi dunia sastra sekarang. Dewasa ini, yang juga diakui oleh Sapardi Djoko Damono, yang menjadi perhatian adalah hilangnya kritikus sastra. Tidak hanya kritikus yang bertugas menelaah, membedah, dan menilai karya seseorang, namun Indonesia juga sudah mulai defisit orang-orang yang mencintai sastra lewat puisi atau pantun. Pada satu sisi, hilangnya para pecinta sastra ini tidak lepas dari minimnya pemasukan pundi-pundi yang berasal dari karya sastra.  Di sisi lain, karya sastra itu sendiri terus berevolusi dalam kehidupan sehari-hari, di mana sekarang terdapat sastra maya. “Era teknologi berkuasa pada seluruh tataran kehidupan, pun demikian juga dengan sastra. Update status juga sebagai salah satu karya sastra. Bagaimana memainkan kata-kata untuk mempengaruhi follower,” ujar Hartanto.

Like dan share akan suatu pemikiran atau karya sastra yang menggugah dan mempengaruhi persepsi pembaca menjadi ciri khas sastra maya. Hanya saja, dalam ekosistem seperti ini, minimnya kualitas menjadi persoalan karena kaum milenial kekurangan literasi. Di samping itu, belum ada sosok-sosok sastrawan baru seperti Chairil Anwar yang bisa membangkitkan selera anak muda. Meskipun begitu, lugas Anto, kita tidak boleh pesimis terhadap sastra ke depan.*
(M Engge Kharismawati)

@ Populi Center 2021

id_IDIndonesian