Generasi milenial memiliki pengaruh yang signifikan dalam pemilihan umum 2019. Dengan rentang usia antara 17-35 tahun, persentase pemilih generasi ini diperkirakan mencapai 40% dari jumlah pemilih. Kaum ini akan menjadi kunci untuk melihat bagaimana pemerintahan ke depan terbentuk dan apa yang akan mereka lakukan untuk mengawasi pemerintahan. Maka dari itu, membaca corak berikut karakteristik generasi milenial di Indonesia menjadi penting, mengingat Indonesia tidak lama lagi akan masuk pada era bonus demografi antara tahun 2020 hingga 2030.
Bagaimana membaca pemilih milenial baik dari sisi karakteristik ataupun perilaku politik? Lantas, apa yang harus dilakukan para kandidat untuk bisa mendulang suara dari generasi ini? Bagaimana potensi bonus demografi bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas kaum ini dalam bingkai ekonomi? Populi Center mengadakan Forum Populi dengan tema “Membaca Suara Pemilih Milenial” pada Kamis, 30 Agustus 2018. Dalam edisi kali ini, Forum Populi menghadirkan pembicara Dedek Prayudi (Juru Bicara Bidang Kepemudaan PSI) dan Bhima Yudhistira (Ekonom INDEF). Dedek Prayudi mengatakan ada tiga karakteristik utama dari generasi milenial. Pertama, kritis. Berdasarkan tingkat pendidikan, milenial mempunyai background pendidikan yang lebih baik.
Di sisi lain, kelompok ini juga terpapar informasi karena masuk dalam era digitalisasi. Mereka memiliki pengetahuan yang baik tentang siapa saja para kandidat yang berlaga di pemilu. Tidak hanya sebatas mengetahui, karena mereka kritis, milenial akan mengetahui argumentasi mana yang dibangun atas data dan mana yang merupakan novel atau fiksi. Kedua, apolitis. Milenial menganggap politik tidak ada hubungannya dengan kehidupan mereka secara langsung. Hal ini dikarenakan identitas politik mereka sangat rendah. Lebih lanjut, Dedek bilang, sikap apolitis ini berbeda dengan skeptis. Skeptis adalah sikap yang menganggap politik itu buruk. Oleh karena itu, tipe manusia milenial adalah tipe manusia muda yang jika seseorang ingin mengikuti dirinya maka orang tersebut harus menggunakan cara yang mereka inginkan. Oleh karena itu, jika kandidat politik ingin mendulang suara dari generasi milenial maka kandidat tersebut harus menggunakan bahasa milenial dan harus bisa menjawab permasalahan mereka. “Mereka ingin cara pemimpin pun menggunakan gaya milenial. Secara umum, kita lihat Jokowi naik motor dan itu style anak muda yang cool. Pak Sandi (Sandiaga Uno) juga mempunyai bahasa yang juga cocok dengan kaum milenial dibanding Pak Prabowo,” ujar Dedek.
Ketiga, menyukai politics of hope dan bukan politics of fear. Dedek menjelaskan, milenial menyukai wakil dan pemimpin yang memberi harapan. Harapan yang datang dengan pemahaman yang baik mengenai tantangan pembangunan dan menawarkan solusi yang konkrit. Generasi ini, akunya, tidak menyukai gaya berpolitik yang mengedepankan ketakutan. Misalnya, jika kamu tidak memilih saya maka Indonesia akan hancur. Hal ini dibuktikan dengan adanya penelitian dari CSIS tahun 2017 yang menyebut bahwa milenial adalah kaum yang optimis. Milenial memiliki optimism terhadap masa depan bangsa. Maka dari itu, kandidat politik harus memahami data dan menghadirkan optimisme melalui program dan gagasan. Dedek menambahkan, Indonesia saat ini sedang mengalami bonus demografi dan akan mencapai puncaknya pada tahun 2035. Kalau gagal memanfaatkan periode penduduk usia kerja yang lebih besar ini maka akan terjadi kekacauan seperti yang terjadi di Pakistan dengan Middle Income Trap atau Arab Spring.
Dalam konteks ini, perlu adanya pemberdayaan perempuan di mana nantinya pada 2045 diproyeksikan oleh BPS jumlah penduduk Indonesia mencapai 305 juta dan 31 persennya adalah perempuan dengan usia produktif. Selain perempuan, pemerintah juga harus melakukan pemberdayaan pemuda. Namun, yang paling krusial adalah tidak adanya ego sektoral. Saat ini, menurut Dedek, adanya ketidakcocokan antara permintaan dan pasokan tenaga kerja untuk kebutuhan industri di level lokal dan ekonomi kreatif. “Potensi ekonomi di kabupaten harus disesuaikan dengan orientasi ekonomi di kabupaten tersebut. Mengapa buruh tidak pernah diikutkan dalam merancang roadmap ketenagakerjaan,” jelasnya. Milenial dalam hal ini pun harus ikut dalam proses pengambilan kebijakan sebagai bagian dari fase krusial bonus demografi. Milenial tidak lagi hanya sebatas objek pemilu, tetapi juga harus menjadi subjek dari pembangunan. Bhima Yudhistira, Ekonom INDEF, menekankan adanya perubahan trend ekonomi generasi milenial. Sepanjang tahun 2017 kemarin hampir semua department store dari level bawah hingga atas mengeluh omset penjualan yang mengalami penurunan signifikan. Konsumsi rumah tangga mengalami penurunan pertumbuhan di bawah 5 persen. Melihat data BPS, pertumbuhan konsumsi transportasi komunikasi pada tahun 2017 mengalami pertumbuhan yang paling tinggi. Pada Kuartal III 207, pertumbuhan sektor ini secara tahunan (year on year) tercatat 5,86 persen. Sementara itu, pertumbuhan konsumsi makanan sebesar 5,04 persen dan konsumsi pakaian sebesar 2 persen.
Menurut Bhima, terdapat kecenderungan anak-anak muda milenial menahan diri untuk membeli baju dan lebih memilih untuk jalan-jalan. Hal ini dibuktikan dari Airbnb tahun 2016 yang menyatakan 70 persen milenial menginginkan waktu yang lebih banyak untuk jalan-jalan dan terdapat pengeluaran yang cukup besar bagi orang Asia untuk traveling dibandingkan orang Eropa dan Amerika. Karakter anak muda generasi milenial yang identik dengan teknologi informasi kemudian menghasilkan pahlawan-pahlawan baru yang masuk dalam ranah startup. “Orang kaya dulu butuh 20-30 tahun untuk masuk FORBES dengan perjalanan yang panjang. Saat ini ada generasi anak muda yang di bawah 30 tahun dengan usaha startup yang masuk FORBES. Ini idol baru yang kemunculannya menandai adanya milenial,” papar Bhima. Bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada 2030 perlu disikapi dengan pengelolaan yang serius. Bagaimana anak-anak muda generasi milenial ini bisa menjadi bagian dari pengelolaan ekonomi secara benar. Berdasarkan data Bappenas, Indonesia menduduki urutan keempat sebagai negara dengan usia produktif terbesar tahun 2015, di bawah China, India, dan Amerika.
Daya saing Indonesia pun semakin kompetitif di mana Global Competitiveness Index 2017-2018 Indonesia berada pada peringkat ke-36 dari 138 negara. Namun, tingkat kompetitif ini tidak sejalan dengan inovasi. Global Innovation Index Indonesia tahun 2017 berada pada peringkat ke-87. Kondisi inilah yang kemudian membuat Gojek, salah satunya, dikarenakan keahlian anak-anak muda Indonesia yang kurang lalu merekrut pemrogram asal Bangalore India untuk memperkuat teknologi aplikasi Gojek. Bhima mengakui, Indonesia harus mempunyai strategi perencanaan yang baik seperti China. Dalam hal ini, China sudah melakukan strategi yang cukup komprehensif. Untuk anak-anak muda yang mempunyai keahlian tinggi pemerintah membuatkan Silicon Valley China yaitu di Shenzhen. Program ini disubsidi secara penuh oleh pemerintah daerah dan pusat. Di sisi lain, untuk orang-orang yang tersisih seperti tenaga kerja kasar yang kurang dalam hal keahlian dan pendidikan, pemerintah siapkan Taobao Village. “Satu desa isinya 50 Kepala Keluarga dan mereka mempekerjakan anggota keluarganya untuk memproduksi barang lewat (jasa online) Taobao dan Alibaba,” pungkasnya.
@ Populi Center 2021