Disinformasi dalam demokrasi

Pada pemilu tahun 2014 publik dikejutkan dengan kemunculan Tabloid Obor yang isinya merugikan salah satu kontestan. Kini muncul Tabloid Indonesia Barokah yang tujuannya kurang lebih sama, yaitu menyudutkan salah satu kontestan jelang pemilu 2019. Fenomena disinformasi atau hoaks dalam perhelatan pemilu seolah telah menjadi sebuah hal yang mengiringi jalannya proses pemilu.

Menurut Manajer Litbang Kompas Toto Suryaningtyas, disinformasi dalam politik di Indonesia sebenarnya bukan hanya terjadi pada hari ini. Ia mencontohkan misalnya bagaimana upaya Orde Baru sebelum kejatuhannya berupaya meyakinkan publik bahwa Indonesia saat itu tidak dalam krisis, meski pun nilai tukar rupiah anjlok. Meski pun begitu, kanal-kanal untuk memfilter disinformasi masih berjalan ditengah warga, seperti misalnya di kedai kopi atau pos kamling.

Hal ini dimungkinkan karena cara-cara penyebaran disinformasi umumnya masih bersifat tatap muka, sehingga yang terjadi ialah proses dialog. Sementara penyebaran atau reproduksi disinformasi yang terjadi hari ini cenderung bersifat monolog atau hit and run, dimana seseorang dengan mudahnya melemparkan suatu wacana dengan sensasi tertentu melalui media sosial, tanpa harus tatap muka terhadap lawan bicaranya. “Disinformasi atau hoaks yang terjadi hari ini merupakan anak kandung dari kebebasan berpendapat dan kemajuan teknologi, yang kemudian mendapatkan momentumnya dalam pemilu untuk kepentingan mendapatkan suara,” paparnya.

Toto juga menjelaskan efeknya dalam konteks pemilu dimana Pilgub DKI Jakarta  menjadi contoh terbaik bagaimana disinformasi atau hoaks bekerja dalam proses elektoral. Pada medio Juni, elektabilitas pasangan petahana ialah sekitar 53%. Tingkat kepuasan terhadap kinerja pun tinggi yaitu 70%-80%. Namun bencana elektoral terjadi ketika kasus Al Maidah di Pulau Seribu. “Padahal kalau ditelusuri, bukan kali itu saja Ahok berbicara soal ayat dalam Al Quran. Namun karena di framing dengan sudut pandang tertentu, ia menjadi sensasi yang kemudian membangkitkan emosi, dan menjadi viral, jadilah kasus penistaan agama”.

Sementara itu menurut Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI Moliza Donna, dalam konteks pemilu disinformasi tidak jauh dari apa yang sering disebut sebagai kampanye negatif dan kampanye hitam. Tujuannya ialah untuk menyudutkan pesaingnya dalam pemilu. Ia mencontohkan  Pilpres Amerika Serikat, dimana Hillary melakukan kampanye negatif kepada Trump. Bedanya, di negara yang demokrasinya sudah matang, kampanye negatif dilakukan berdasarkan fakta. Sementara di Indonesia fakta-fakta justru dikaburkan untuk menyerang lawan politik. “Fenomena ini menghasilkan apa yang kemi sebut dengan istilah fanatisme naïf oleh pemilih”.

Meski pun begitu, Moliza berpendapat bahwa fenomena disinformasi atau hoaks bukan tidak bisa dicegah. Ia menyebutkan paling tidak dua peluang yang bisa digunakan untuk meredam hoaks dalam politik Indonesia. Pertama ialah generasi milenial yang umumnya memiliki pola pikir sendiri untuk menentukan sikap politiknya, dan tidak mudah terpengaruh berita hoaks. Terlebih generasi milenial Indonesia cenderung percaya dengan sistem demokrasi hari ini. “Survei nasional LIPI menunjukkan pemilih milenial memiliki komitmen yang kuat terhadap demokrasi, “ ujarnya.

Kemudian peluang kedua ialah pendewasaan partai politik. “Partai politik sebagai instrumen penting dalam demokrasi harus terus dituntut untuk memiliki platform politik yang jelas, yang dapat membedakannya dengan partai politik lainnya, sehingga pada akhirnya yang ditawarkan kepada pemilih bukan lagi sentimen-sentimen primordial atau SARA, melainkan komitmen untuk memperjuangkan program-program yang sifatnya rasional, seperti isu meningkatkan kesejahteraan, keamanan, dan lain-lain,” pungkasnya.

@ Populi Center 2021

id_IDIndonesian