Penulis : Dom Helder Camara
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Tahun Terbit : 2005
Kekerasan merupakan realitas multidimensi, tidak bisa dipisahkan keterkaitannya antara kekerasan yang satu dengan kekerasan lainnya. Terdapat satu benang merah yang menjadi akar utama dari serangkaian kekerasan yang muncul bertubi-tubi dalam masyarakat, Dom Helder Camara menyebutnya dengan spiral kekerasan. Teori spiral kekerasan bersifat personal, institusional, dan struktural. Beberapa faktor yang menjadi sumber terjadinya kekerasan yaitu ketidakadilan, kekerasan pemberontakan sipil dan represi negara. Ketiganya saling berkait satu sama lain, kemunculan kekerasan satu disusul dan menyebabkan kemunculan kekerasan lainnya.
Dari ketiga bentuk kekerasan itu yang paling mendasar dan menjadi sumber utama adalah ketidakadilan. Camara menyebut kekerasan jenis ini dengan kekerasan jenis 1. Karena sifatnya yang mendasar dan menjadi sumber dari kekerasan lainnya. Ketidakadilan itu terjadi sebagai akibat dari upaya kelompok elit nasional mempertahankan kepentingan mereka sehingga terpelihara sebuah struktur yang mendorong terbentuknya kondisi “sub human”, yaitu kondisi hidup di bawah standar layak untuk hidup sebagai manusia normal.
Kondisi subhuman ini selanjutnya menciptakan ketegangan terus menerus di masyarakat, mendorong munculnya kekerasan nomor 2, yaitu pemberontakan di kalangan masyarakat sipil. Dalam kondisi sub human itu manusia menderita tekanan, alienasi, dehumanisasi martabat, kemudian mendorong mereka baik yang langsung menderita tekanan struktural maupun anak-anak muda yang sudah tidak tahan lagi dengan kondisi sumpek sub human itu, melakukan pemberontakan dan protes di jalan-jalan. Kekerasan ini terjadi ketika mereka yang tertindas dan anak-anak muda dengan tegas melawan ketidakadilan untuk menuntut dunia yang lebih adil.
Setelah konflik, protes, dan pemberontakan menyembul di jalan-jalan, ketika nomor 2 coba melawan kekerasan nomor 1, penguasa memandang dirinya berkewajiban memelihara ketertiban, meski harus dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Dari sini, muncul lah kekerasan nomor 3, yaitu represi penguasa. Dengan kata lain, kekerasan nomor 3 ini adalah penggunaan kekuataan dan cara-cara kekerasan oleh lembaga negara untuk menekan pemberontakan sipil.
Bekerjanya tiga jenis kekerasan itu menyerupai spiral, karena itu Camara menyebutnya dengan spiral kekerasan. Kekerasan nomor 1 atau ketidakadilan mendorong pemberontakan sipil atau kekerasan nomor 2, selanjutnya hal itu mengundang hadirnya represi negara atau kekerasan nomor 3. Ketika represi negara diberlakukan, hal itu selanjutnya memperparah kondisi ketidakadilan nomor 1. Seperti dikatakan Camara, ketika kekerasan disusul dengan kekerasan, dunia jatuh ke dalam spiral kekerasan.
Ketidakadilan menurunkan taraf hidup manusia ke dalam kondisi sub-human. Ketidakadilan banyak dijumpai dimana saja. Kondisi sub-human dapat dimaknai sebagai dampak dari kemiskinan. Kemiskinan tidak hanya membawa umat manusia ke dalam kesengsaraan, hal ini lebih berbahaya dari perang sekalipun. Kemiskinan menyebabkan kerusakan fisik, psikologis dan kerusakan moral. Pada saat manusia sadar bahwa dirinya mengalami kondisi yang terpinggirkan maka akan membawa dampak munculnya ketegangan struktral. Dalam kata lain, menurut Galtung, ketidak seimbangan relasi sosial semacam itu terjadi karena adanya perbedaan dalam segi ada (being)), memiliki (having), dan kedudukan dalam suatu struktur (Marzuki, 2006). Perasaan terpinggirkan menjadi faktor pencetus lahirnya kekerasan.
Ketidakadilan tidak hanya terjadi pada negara-negara berkembang. Ketidakadilan pun bisa kita jumpai pada negara-negara maju baik yang menganut paham kapitalis maupun sosialis. Di negara kapitalis, misalnya terdapat lapisan masyarakat yang terbelakang (miskin), di Kanada disebut sebagai grey belts. Selain itu, Presiden Lyndon Johnson menyatakan perang terhadap kemiskinan di Amerika Serikat. Walaupun kondisi sub-human pada negara maju dan negara berkembang akan sangat berbeda, namun jurang antara kekayaan dan kemiskinan menunjukkan kontras yang tajam dan parah. Di dunia sosialis, misalnya Uni Soviet dan China tidak mengkehendaki adanya pluralisme (keberagaman) di dalam masyarakat. Iklim yang dibangun adalah kediktatoran. Masyarakat tertekan jika memberi kritik dan merasa tidak aman.
Struktur yang penuh kekerasan, menurut Galtung memiliki eksploitasi sebagai sebuah pusat kedamaian. Hal ini berarti bahwa kelompok mayoritas memiliki akses dan interaksi ke dalam struktur jauh lebih banyak dibandingkan kelompok yang lebih kecil. Dalam posisi tersebut, kelompok yang lebih kecil tidak diuntungkan sehingga mereka mati akibat pertukaran yang tidak adil yakni pemerasan (eksploitasi). Dalam kata lain, frekuensi tingkah laku kekerasan Itu berbanding lurus dengan besarnya frustasi yang dirasakan seseorang atau sekelompok orang. Bila ada dorongan intensif yang merespon atau memotivasi frustrasi itu, maka seseorang akan kehilangan kontrol atau kesadaran rasional (Isnaeni, 2014).
Tidak ada manusia yang terlahir untuk merasakan penghinaan, ketidakadilan dan ketidakberdayaan (restrictions). Menurut Camara, manusia yang hidup dalam kondisi sub-human sama seperti seekor sapi atau keledai yang berkubang dalam lumpur. Saat ini egoisme segelintir orang dengan hak istimewa (privilege) mendorong manusia yang tidak terhitung jumlahnya ke kondisi sub-human. Dampak dari kondisi sub-human membuat manusia menjadi tidak berdaya dan terhina. Ketidakadilan yang dirasakan adalah tidak adanya keberpihakan serta ketakutan akan kepastian masa depan. Ketika hidup semakin tidak memberi harapan, kaum tertindas ataupun kaum muda bertindak untuk melawan, inilah yang disebut oleh Camara kekerasan no 1 yang berakibat pada kekerasan no 2 yaitu pemberontakan. Tujuan dari pemberontakan ini adalah untuk memenangkan dunia yang lebih adil dan manusiawi.
Pemberontakan ini tidak hanya dilakukan oleh kaum yang tertindas saaja, kaum muda pun turut mengambil bagian dalam memperjuangkan keadilan. Ketika kaum tertindas sudah terlibat langsung dalam waktu yang cukup lama, namun jatuh dalam fatalisme karena habis harapannya atau mengalami pembungkaman, maka kaum muda turut muncul mengambil peran. Kaum muda menuntut kaum yang memiliki privilege untuk melepaskan hak-hak istimewanya. Kaum muda bisa melihat pemerintah hanya berpihak kepada kelas yang diuntungkan. Sehingga kaum muda berpaling pada tindakan radikal dan kekerasan.
Menurut Camara, kaum muda memilik idealisme, nyala api, lapar akan keadilan, haus akan otensitas. Di tempat-tempat tertentu, dengan antusiasme yang sama, mereka mengadopsi ideologi-ideologi ekstrim dan menyiapkan gerilya di kota dan seluruh negeri. Pada masyarakat yang status sosial ekonomi, pendidikan dan penghayatan agamanya rendah, ada kecenderungan memiliki reaksi emosional yang tinggi dibandingkan rasionalnya. Informasi tentang kekerasan, jumlah dan sifat informasi pengalaman langsung, komunikasi inter personal secara langsung atau tidak langsung. Faktor-faktor antara sikap dan kepentingan yang mempengaruhi persepsi selektif atas informasi yang tersedia. Gambaran tentang kekerasan dan penilaian atas risiko bahwa seseorang atau kelpmpok masyarakat tertentu akan menjadi target potensial kekerasan, akibat-akibat yang timbul, dan seterusnya (Marzuki, 2006).
Ketika konflik sudah membuat situasi protes hingga ke jalan-jalan sebagai bentuk melawan ketidakadilan, para penguasa merasa mempunyai kewajiban untuk menjaga dan memulihkan ketertiban umum. Cara-cara penguasa dalam mengamankan aksi protes seringkali menggunakan kekerasan, inilah yang disebut dengan kekerasan no. 3. Logika kekerasan menyebabkan mereka melakukan penyiksaan moral dan fisik.
Mahatma Gandhi dikenal sebagai pemimpin yang pantang kekerasan. Makna dari ajaran Gandhi terhadap negar-negara dunia ketiga dan negara maju terletak pada tekanan moral yang membebasakan. Hal ini menjadi alternatif nyata terhadap revolusi bersenjata. Rezim yang sudah mapan harus memberikan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, terutama hak atas kebebasan menyatakan pendapat. Metode totalitarian tidak dirancang untuk menyalahkan kebenaran dan tidak ada kekerasan moral dan fisik.
Intervensi militer Amerika Serikat ke sejumah negara di pelbagai belahan dunia merupakan tindakan kekerasan yang dipicu oleh kepentingan politik dan ekonomi negara adidaya itu. Jamil (2005) misalnya mencatat bahwa peran Amerika Serikat dalam menebar kekerasan karena alasan politik dan ekonomi terjadi berulang-ulang. Antara tahuh 1789 sampai 1895, tentara Amerika Serikat melakukan intervensi ke negara lain sebanyak 103 kali, kemudian antara 1896 sampai 1945 sebanyak 57 kali, dan antara 1945 sampai 1991 sebanyak 218 kali (termasuk ke Grenada, Panama dan Irak) (Marzuki, 2006).
Budaya kekerasan yang tumbuh di masyarakat oleh Johan Galtung diklasifikasikan dalam tiga tipe kekerasan yang saling bertalian yaitu kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan budaya. Kekerasan langsung merupakan suatu peristiwa. Kekerasan struktural merupakan suatu proses yang mengalami pasang surut. Kekerasan budaya lebih bersifat permanen dan cenderung berjalan stabil sesuai transformasi budaya dasar yang juga lamban. Ketiga bentuk kekerasan ini memasuki waktu secara berbeda, hampir sama dengan perbedaan teori gempa bumi sebagai suatu peristiwa, gerakan lapisan tektonik sebagai proses, dan jalur gempa sebagai kondisi yang lebih permanen.
Lingkaran setan kekerasan seringkali berawal dari sudut kekerasan struktural yang ditandai dengan semakin mencoloknya perbedaan sosial yang secara perlahan mengambil karakteristik vertikal dengan terjadinya pertukaran dan distribusi yang semakin tidak adil. Kelompok-kelompok sosial yang tidak diuntungkan oleh struktur tersebut lalu secara mandiri mencari dan membuat tindakan-tindakan sosial untuk pemeliharaan dan perlawanan dirinya, salah satunya dengan cara kekerasan langsung. Hal ini tampaknya selaras dengan teori spiral kekerasan yang ditawarkan oleh Dom Helder Camara yang menjelaskan bekerjanya tiga bentuk kekerasan, yaitu kekerasan personal, institusional, dan struktural. Kekerasan yang bermula dari ketidakadilan, lalu muncul kekerasan, pemberontakan sipil, dan kemudian lahir kekerasan sebagai represi negara. Ketiganya berkait satu sama lain, kemunculan kekarasan yang satu disusul dan menyebabkan kemunculan kekerasan lainnya.
Isnaeni, Ahmad. Kekerasan Atas Nama Agama. Kalam : Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam. Volume 8, Nomor 2, Desember 2014.
Marzuki, Suparman. Kekerasan dan Ketakutan Pada Kekerasan. UNISIA No. 61/XXIX/III/2006.