Book Review: Sekeping Mozaik Sjahrir Di Parapat

Dimas Ramadhan

Dimas Ramadhan

Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir

Penulis               : J.D Legge

Penerbit             : Pustaka Utama Grafiti

Tahun Terbit       : 1993

Jumlah Halaman : 280

Dalam lawatan ke Sumatera Utara tempo hari, saya bersama dengan Erwinton dan Pak Ade melakukan napak tilas jejak Bung Karno saat diasingkan oleh Belanda: Mengunjungi Pesanggrahan Bung Karno. Kebetulan waktu itu bulan Agustus, bulan dimana seluruh rakyat Indonesia memperingati kemerdekaan. Pesanggrahan yang terletak di Parapat, Kabupaten Simalungun, tersebut merupakan rumah lama bergaya Eropa yang dominan berwarna putih, dan menghadap langsung ke Danau Toba. Sambil mencermati bangunan bersejarah itu, saya pun menelusuri cerita di balik pesanggrahan tersebut melalui gawai. Berdasarkan penelusuran, Sukarno ternyata tidak sendirian diasingkan di rumah tersebut pada 1949. ‘Putra Sang Fajar’ itu dibuang ke sana bersama Agus Salim dan Sutan Sjahrir.

Sebuah pertanyaan kemudian muncul dibenak saya: Mengapa tempat itu dinamakan sebagai Pesanggrahan Sukarno? Mengapa bukan Pesanggrahan Para Bapak Bangsa? Barangkali Mohammad Hatta, orang yang didaulat sebagai wakil presiden mendampingi Sukarno, tidak dibuang di tempat itu. Atau, seperti jawaban klise, alur sejarah ditentukan dan diceritakan oleh para pemenang. Dalam konteks ini, Agus Salim dan Sutan Sjahrir, suka atau tidak, bukanlah pemenang dalam sejarah Indonesia. Namun, saya rasa kita sudah sama-sama mengetahui bahwa Sukarno memang berbeda dengan kedua rekan pembuangannya tersebut. Ia dianggap sebagai pemimpin kelompok nasionalisme populis yang pandai berpidato membakar semangat massa. Sementara itu, Agus Salim merupakan mantan akitivis Syarikat Islam yang identik dengan sosok Cokroaminoto. Adapun Sjahrir dikenal sebagai tokoh yang memang berbeda, untuk tidak mengatakan berseberangan, secara politik dengan Sukarno.

A Man of Paradox

Sutan Sjahrir, tulis Daniel Dhakidae (2017:193), adalah a man of paradox dalam berbagai bentuk. Postur tubuhnya kecil, akan tetapi intelegensinya cemerlang. Tidak seperti Sukarno yang mengedepankan retorika dan mobilisasi rakyat, gerakan politik ‘Bung Kecil’ lebih mementingkan pendidikan politik terutama pada pemuda-pemuda terpelajar. Tidak mengherankan jika Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang didirikan Sjahrir disebut-sebut sebagai kumpulan kaum intelektual.

Kisah Sjahrir dalam lintasan sejarah Indonesia sudah cukup banyak diulas oleh Indonesianis. Salah satunya ialah buku Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir yang ditulis oleh J.D Legge. Sebelum buku ini terbit, paling tidak terdapat dua spektrum yang berlainan dalam menimbang posisi Sjahrir di tahun-tahun proklamasi kemerdekaan. George McT. Kahin berdiri di sebuah spektrum yang memposisikan Sjahrir sebagai tokoh berpengaruh di hari-hari menjelang proklamasi kemerdekaan dan sesudahnya. Dalam karyanya Nationalism and Revolution in Indonesia, yang terbit pertama pada 1952, Sjahrir ditampilkan Kahin sebagai arsitek pergeseran sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer.

Di spektrum yang lain, Ben Anderson dalam Java in a Time of Revolution: Occupation and Reistance 1944-1946, yang terbit pertama pada 1972, justru beranggapan bahwa Sjahrir dan pendukungnya hanya berada di wilayah pinggiran kekuatan politik negeri ini, bukan wilayah inti. Dua hari menjelang proklamasi, misalnya, Sjahrir sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya. Secara sinis, Anderson bahkan menilai jabatan perdana menteri yang didapat Sjahrir tidak lain merupakan “kup secara diam-diam”. Lebih jauh lagi, perundingan yang dilakukan Sjahrir dianggap bertentangan dengan kehendak kemerdekaan yang terintegrasi dengan perubahan sosial. Dalam pandangan Anderson, Sjahrir dan pendukungnya malahan hanyalah sekelompok intelektual yang teralieniasi dari masyarakat. Pada titik ini, mereka tidak memiliki pengaruh yang besar dalam mengarahkan pendapat umum. Bagi Anderson, para pemuda radikal ibu kota, yang sebagian besar dari mereka menganggap Tan Malaka sebagai pemimpin, merupakan kelompok paling berpengaruh dalam sejarah proklamasi kemerdekaan.

Dari penjelasan tersebut, kita bisa menarik kesimpulan bahwa Kahin bersimpati kepada Sjahrir dan kelompoknya, sedangkan Anderson justru lebih memihak kepada Tan Malaka dan pengikutnya. Perbedaan waktu dan sumber utama penelitian berperan penting dalam menjelaskan dua cara pandang yang kontras tersebut. Kahin berkesempatan menuliskan jalannya revolusi kemerdekaan melalui ‘tangan pertama’, yakni Sjahrir itu sendiri. Sementara itu, Anderson, sekitar dua puluh tahun setelah karya Kahin muncul, menjadikan sekelompok pemuda yang tengah berapi-api menyongsong berbagai kemungkinan yang terjadi ketika mendapat kabar Jepang mengalami kekalahan perang sebagai episentrum penelitian. Dengan kata lain, Anderson dapat mempelajari karya Kahin, dan dengan mudah memetakan kelebihan dan kelemahan baik substansial maupun metodologis, dan mengkontraskannya dengan kejadian-kejadian yang terungkap setelahnya.

Sebagai sebuah produk penelitian, buku ini berupaya meninjau kembali peranan Sjahrir dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Di bagian pengantar, Legge menyinggung beberapa hipotesis penting terkait peran Sjahrir. Di antara sejumlah hipotesis tersebut, hipotesis yang paling penting ialah kiprah Sjahrir semasa pendudukan Jepang. Saat itu, Sjahrir dikenal sebagai orang yang menolak bekerjasama dengan Jepang. Sebagian kalangan menyebutkan, posisi yang diambilnya merupakan bagian dari strategi taktis bagi tercapainya kemerdekaan Indonesia, yang telah dirundingkan dengan Sukarno dan Hatta. Setelah melalui berbagai pertimbangan, disepakati bahwa Sukarno dan Hatta bekerjasama dan menerima jabatan yang diberikan Jepang sambil sedapat mungkin memanipulasi berbagai kegiatan untuk tujuan mencapai kemerdekaan. Sementara itu, Sjahrir bergerak di bawah tanah mengorganisir para pemuda untuk tujuan yang sama.

Salah satu pertanyaan mendasar yang diajukan dalam buku ini ialah seberapa ‘bawah tanah’ gerakan Sjahrir di masa itu, mengingat ia tidak pernah ditangkap oleh Jepang? Kegiatan Sjahrir dalam mengadakan kunjungan ke berbagai tempat, serta diskusi-diskusi politik yang dilakukan dengan para pemuda jelas terpantau oleh pihak Jepang. Namun, tidak seperti Amir Sjarifuddin yang tertangkap dan sempat divonis hukuman mati – Sukarno dan Hatta kemudian meminta agar Jepang merubah vonis tersebut menjadi hukuman penjara – Sjahrir dengan leluasa bergerak menghimpun pendukungnya, yang mengindikasikan bahwa tokoh tersebut memang tidak dianggap penting oleh Jepang. Pada titik ini, kesimpulan Anderson mengenai Sjahrir boleh jadi ada benarnya.

Legge tidak berpretensi memberikan jawaban atau sanggahan secara langsung mengenai kesimpulan Anderson tersebut. Mungkin saja ini disebabkan karena keterbatasan sumber data primer, mengingat penelitian buku ini dilakukan pertengahan tahun 1980-an, dan tidak banyak pelaku sejarah yang masih hidup. Legge kemudian menaruh perhatiannya pada profil para pendukungnya, dan bagaimana kelompok tersebut terbentuk dan berperan di kemudian hari, dengan mewawancarai orang-orang yang dianggap dekat atau menjadi bagian dari kelompok Sjahrir: Cara berpikir teoritis sebagai pedoman aksi, serta kecenderungan yang lekat dengan nilai-nilai demokrasi Barat, yang sering diidentikkan dengan istilah ‘aliran PSI’.

Dengan pengkategorian seperti itu, Legge kemudian membagi dua rentang waktu untuk memetakan orang-orang yang disebut kelompok Sjahrir. Kelompok pertama ialah orang-orang yang berkaitan dengan Pendidikan Nasional Indonesia, atau yang sering dikenal dengan PNI Baru. Sejak organisasi tersebut dibubarkan dan para pemimpinnya dibuang ke beberapa tempat, Sjahrir terus menjaga komunikasi dengan sejumlah mantan anggotanya, membahas banyak hal mulai jalannya situasi politik, baik dalam maupun luar negeri, termasuk mencermati jalannya perang yang sedang terjadi akibat munculnya fasisme di Eropa dan konsekuensinya bagi tujuan kemerdekaan. Dalam pandangan Sjahrir, kemunculan fasisme sebagai evolusi dari kontradiksi kapitalisme merupakan ancaman besar bagi kemerdekaan Indonesia, bahkan lebih besar dibandingkan Belanda. Dengan demikian, saat Jepang menguasai Indonesia, ia sudah memposisikannya sebagai ancaman nyata.

Kelompok kedua ialah generasi yang lebih muda dari kelompok yang disebut pertama. Tidak lama setelah kedatangan Jepang, Sjahrir merekrut anggota-anggota baru melalui kontak-kontak lamanya di PNI Baru. Secara cukup terperinci, Legge memetakan berbagai pengorganisiran pemuda yang dilakukan kelompok Sjahrir: Andi Zainal membentuk perkumpulan dan kelompoknya sendiri di Jakarta, dan kemudian di Makassar; Sulistiyo dan Hamid Algidiri di Surabaya; Ruslan Abdulgani dan Murdianto membentuk kelompok diskusi kalangan pelajar menengah yang secara sembunyi-sembunyi mengajak untuk menolak ‘Japanisasi’ dalam kegiatan pendidikan; Sudarsono, Soegra, dan Sukanda di Cirebon membentuk organisasi yang pengaruhnya mencapai Pekalongan; Soebadio di Tegal; Soenarto di Brebes; dan yang juga cukup penting, Djohan Syahroezah, keponakan sekaligus loyalis Sjahrir, mengorganisir dan membentuk serikat buruh minyak di Wonokromo dan Cepu, Jawa Timur.

Sementara itu, di ibu kota, rekrutmen kalangan pemuda salah satunya diarahkan pada berbagai asrama mahasiswa yang ada saat itu. Anderson menjelaskan bahwa paling tidak terdapat tiga asrama yang menjadi pusat kegiatan politik pada masa pendudukan Jepang, yaitu asrama mahasiswa kedokteran di Prapatan 10, Asrama Angkatan Baru di Menteng 31, dan Asrama Indonesia Merdeka di Kebon Sirih 80. Sebagian kalangan menyebutkan, Asrama Prapatan 10 identik dengan kelompok pemuda yang menjadi pengikut Sjahrir. Pendapat ini paling tidak didasarkan pada dua hal. Pertama, dibanding dua asrama lainnya, Asrama Prapatan 10 merupakan asrama yang tidak mempunyai hubungan erat dengan pemerintah pendudukan Jepang.

Kedua, sebagian besar mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran berasal dari kalangan elit yang cukup fasih berbahasa Belanda, dan memiliki kecenderungan pro-Barat pada Perang Pasifik. Namun, Legge berpendapat, para pemuda yang direkrut menjadi pengikut Sjahrir tidak dapat dipisahkan secara tegas dengan kelompok pemuda lainnya, sebab kelompok-kelompok tersebut sering bekerjasama dalam berbagai kesempatan. Meskipun demikian, lanjut Legge, di antara bentuk-bentuk perlawanan simbolik terhadap Jepang, yang cukup mendapat perhatian ialah pemogokan kuliah yang dilakukan oleh Soedjatmoko, Soedarpo, Soebianto, dan beberapa nama lainnya yang memang menjadi kelompok Sjahrir. Selain tiga nama tadi, beberapa rekrutmen Sjahrir yang di kemudian hari memiliki peran penting dalam dinamika politik dalam negeri ialah Ali Budiardjo, T.B Simatupang, dan Hamid Algadri.

Dari hasil uraiannya, Legge menyebutkan bahwa kegiatan bawah tanah serta rekrutmen yang dilakukan Sjahrir dan kelompoknya bukan dilandaskan pada suatu ideologi yang koheren, melainkan sebuah pengorganisasian yang longgar yang dilakukan melalui kontak-kontak pribadi. Hubungan para pemuda dengan Sjahrir lebih kepada perkawanan, di mana seorang yang sudah lebih dulu kenal, melakukan pengamatan dan seleksi terhadap mahasiswa lain yang dianggap berpotensi atau mempunyai kesadaran politik yang lebih tinggi, untuk kemudian memperkenalkan mereka dengan Sjahrir. Satu hal yang khas dari kegiatan bawah tanah dan kelompok-kelompok diskusi yang dibentuk ialah bahwa mereka memandang situasi internasional dari sudut konflik antara demokrasi dan fasisme, dan memposisikan Jepang di kubu fasis.

Sekalipun demikian, saat itu tidak ada gerakan perlawanan efektif dengan basis yang luas dan pimpinan yang terpusat, tidak ada tindakan kekerasan yang terorganisasi, tidak ada kegiatan gerilya, bahkan tidak ada pemogokan kerja sebagaimana pernah terjadi di masa pendudukan Belanda. Kegiatan bawah tanah yang dilakukan Sjahrir ialah mempersiapkan kemerdekaan, bukan menghadapi Jepang secara langsung. Persiapan tersebut berupa perekrutan para pemuda dan perumusan strategi jangka panjang, yang dilakukan dengan asas Pendidikan Nasional Indonesia namun dengan berbagai penyesuaian situasi, dengan keyakinan kuat bahwa kekalahan Jepang tidak terelakan lagi.

Kilau Meteor Yang Hilang Sekejap

Bagi saya, yang perlu menjadi perhatian ialah kegiatan bawah tanah Sjahrir bukan sekedar persiapan menuju kemerdekaan, melainkan juga membangun basis politik bagi dirinya sendiri. Setelah proklamasi, ketika Komite Nasional Indonesia Pusat dibentuk, Sjahrir sudah dianggap tokoh yang dianggap mewakili pandangan para pemuda terpelajar yang berpengaruh. Ia semakin menuai hasilnya ketika mengusulkan perubahan sistem presidensial menjadi parlementer, yang berarti mengecilkan kekuasaan presiden. Usul ini disetujui Presiden Sukarno karena paling tidak dua pertimbangan. Pertama, di dalam negeri, Tan Malaka mulai menunjukan ambisi berkuasa untuk menggeser posisi Sukarno. Bagi Sukarno, lebih baik bekerjasama dengan Sjahrir dengan memberinya jabatan perdana menteri, sekalipun pernah mengkritiknya dengan keras sebagai unsur fasis Jepang dalam pemerintahan republik pertama, daripada berhadapan langsung dengan Tan Malaka dan kelompoknya yang semakin meluas dan radikal.

Kedua, Indonesia yang baru merdeka saat itu memang perlu menampilkan tokoh yang dikenal anti fasis untuk melakukan perundingan dengan Belanda. Dengan begitu, Indonesia bisa terhindar dari tuduhan negara boneka bentukan Jepang. Atas persetujuan Sukarno tersebut, Sjahrir pun didaulat menjadi Perdana Menteri pertama Indonesia pada usia 36 tahun, yang kemudian memimpin jalannya perundingan sebagai bagian dari upaya mempertahankan kemerdekaan. Ini semua bukan saja sejalan dengan kepentingan dan keterampilan politiknya, melainkan juga menunjukkan cermatnya visi politik Sjahrir yang telah ditunjukkannya sejak masa pembuangan.

Sayangnya, kiprah dan karir politik Sjahrir kemudian meredup lantaran partai yang didirikannya tidak memperoleh banyak dukungan saat pemilu 1955. PSI hanya mendapat lima kursi di parlemen pusat, jauh dibawah PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Salah satu penyebabnya ialah pilihan politik Sjahrir yang tidak mentransformasi partainya dari partai kader ke partai massa. Mungkin itu juga sebabnya tidak banyak orang yang mengenal Sjahrir, sehingga rumah pembuangan di Parapat diberi nama Pesanggrahan Bung Karno, bukan Bung Sjahrir. Kiranya apa yang dituliskan majalah Tempo (2009) pada sebuah edisi khusus benar adanya: Sjahrir adalah sebuah meteor yang sinarnya berkilau dalam pentas politik, lalu hilang tidak terlihat dalam sekejap.

Bagikan Postingan:

Ikuti Info Rana Pustaka

Terbaru

Copyright @ Populi Center
id_IDIndonesian