Berkampanye di Masa Pandemi

Di tengah badai corona, pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 270 daerah bukan tidak mungkin menjadi sumber bencana. Karena itu, sebelum obat dan vaksin corona ditemukan, seluruh peserta pesta demokrasi itu perlu mematuhi protokol kesehatan: menjaga jarak, menggunakan masker, dan menghindari kerumunan. Sayangnya, masa pendaftaran pasangan bakal calon kepada daerah sejak 4 September hingga 6 September lalu justru memperlihatkan potrem buram.

Alih-alih menjadi figur yang bisa digugu dan ditiru, pasangan bakal calon kepala daerah justru membiarkan pendukung mereka membentuk arak-arakan dan kerumunan massa. Pelanggaran protokol kesehatan tersebut merupakan suatu bentuk pengkhianatan terhadap usaha seluruh anak negeri ini mengatasi ancaman corona sejak Maret 2020. Dengan masa kampanye yang tinggal di depan mata, bagaimana memastikan aktor politik dan pendukung mereka untuk tetap mematuhi protokol kesehatan? Apa yang perlu dilakukan peserta pilkada serentak, sehingga mereka dapat berkampanye secara efektif tanpa melanggar protokol kesehatan? Bagaimana pula menjamin petahana dan bukan petahana bisa bersaing secara adil dan bebas di tengah pandemi ini?

Untuk menjawab serangkaian pertanyaan tersebut, Forum Populi mengangkat tema “Berkampanye di Masa Pandemi” pada Kamis (10/09/2020). Dalam diskusi kali ini hadir pembicara Fritz Edward Siregar (Anggota Bawaslu RI), Toto Suryaningtyas (Manager Litbang Kompas), dan Dimas Ramadhan (Peneliti Populi Center). Hartanto Rosojati (Peneliti Populi Center) memandu diskusi yang berlangsung via aplikasi Google Meet.

Anggota Bawaslu RI Fritz Edward Siregar menjelaskan, pilkada serentak pada 9 Desember 2020 adalah keputusan bersama semua pihak, yakni penyelenggara, pemerintah, dan DPR. Keputusan itu diambil dengan berbagai pertimbangan, khususnya komitmen terhadap protokol kesehatan. Meskipun demikian, lanjutnya, ada banyak kasus pelanggaran protokol kesehatan, khususnya pada masa pendaftaran bakal pasangan calon kepala daerah lalu (bapaslon). Bawaslu RI mencatat, ada begitu banyak pelanggaran bapaslon yang tidak menerapkan protokol kesehatan. Pada titik ini, mereka mengerahkan pendukung mereka, sehingga berakibat adanya kerumunan massa. Tercatat ada 141 pelanggaran pada pendaftaran hari pertama, dan 102 pelanggaran saat menjelang penutupan. “Selain itu, terdapat 37 bapaslon yang positif corona ketika melakukan pendaftaran,” ujarnya.

Lebih jauh, Frizt mengutarakan, penerapan protokol kesehatan dalam pilkada diatur dalam sejumlah regulasi: 1) UU Pemilu dan turunannya; 2) dan peraturan di luar ketentuan pemilihan, dalam hal ini adalah UU 4/1984 Tentang Wabah Penyakit Menular dan UU 6/2018 Tentang Karantina Kesehatan. Pada konteks masa kampanye, Bawaslu menyadari keterbatasan dan perbedaan kondisi daerah jika semua proses kampanye dilakukan secara daring. “Untuk itu langkah yang paling tepat adalah semua pihak menaati seluruh aturan yang ditetapkan khususnya protokol kesehatan corona,” ucapnya.

Sementara itu, Manager Litbang Kompas Toto Suryaningtyas menyebutkan, kita semua berada pada persoalan ketidakpastian kapan pandemi corona ini berakhir. Terkait pelaksanaan pilkada di masa pandemi, Toto lebih detail mempertanyakan visibilitas pelaksanaan pilkada. Toto menghargai keputusan kelanjutan pilkada yang tetap dilaksanakan pada akhir tahun ini. Meski demikian, lanjutnya, kondisi ini perlu mitigasi yang baik bagi daerah-darah yang melaksanakan pilkada, termasuk pengaturan teknis mekanisme kampanye di kawasan zona hijau, kuning dan merah. “Kebijakan khusus sangatlah krusial, sebab isu corona saat ini tidak lagi menjadi isu wilayah, namun sudah masuk dalam isu keluarga,” ujarnya.

Senada dengan Fritz dan Totok, Peneliti Populi Center Dimas Ramadhan menekankan, pilkada pada masa pandemi seharusnya tidak dimaknai sebagai rutinitas elektoral semata. Pasalnya, terdapat pertaruhan terhadap integritas penyelenggara, juga terhadap legitimasi pasangan calon yang nantinya akan menang. Ia menyoroti soal kemungkinan rendahnya angka partisipasi pemilih. Pada titik ini, ancaman corona menyebabkan keengganan pemilik suara untuk menyalurkan hak politik ke TPS.

Selain itu, diperlukan saluran-saluran alternatif bagi pemilih dalam memberikan suaranya, terutama kelompok-kelompok pemilih tertentu, seperti pasien corona yang sedang menjalani karantina, atau pemilih yang berusia lanjut, yang lebih rentan terpapar corona. Ini penting agar pemilih tatap terjamin hak konstitusinya. “Terkait hal tersebut, Indonesia bisa belajar dari pengalaman negara-negara terdekat, seperti Malaysia, Singapura dan Korea Selatan, yang juga menyelenggarakan pemilihan umum di saat pandemi,” tambahnya.

@ Populi Center 2021

id_IDIndonesian