Kumpulan Cerpen yang Menolak Sama

Erwinton Simatupang

Erwinton Simatupang

Bakat Menggonggong

Penulis         : Dea Anugrah

Penerbit       : Buku Mojok

Tahun Terbit : 2016

Tanpa basa basi: apa menariknya cerpen itu? Kurang lebih pertanyaan tersebut yang saya ajukan kepada orang-orang di sejumlah grup WhatsApp. Bahkan, beberapa orang sengaja saya japri. Tentu saja, saya tidak lupa melampirkan cerpen yang berjudul Kemurkaan Pemuda E itu kepada mereka semua.
Inilah sejumlah jawaban dari mereka:

“Mungkin beberapa detail kecil kaya simbol2 rahasia yg unik yg dimiliki E yg mau ditonjolkan?”

“… aku ga paham penulisnya nulis apa. Mulai dari kucing bawa muntahan, saringan acara, sampai tulisan 600 kata.”

“Aku kok gagal paham sama cerpennya ya…”

Apa yang mereka kemukakan boleh dikatakan sebagai respon yang lazim. Yang tidak lazim ialah kumpulan cerpen Dea Anugrah. Di bagian pembuka Bakat Menggonggong, jebolan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada tersebut menyuguhkan kisah seorang penulis, pemuda E, yang menerima tawaran temannya menjadi pembicara di sebuah seminar. Di bagian akhir kisah itu, ia murka karena tidak memperoleh honor dan perlakuan yang sama dengan pembicara lain. Di sini, pembaca tidak mendapati pembuka yang menarik, seperti karya penulis-penulis lain. Dan, Dea juga mengamininya: “Tapi hemat saya, sih, itu bukanlah cerita yang menarik. Kalimat pertamanya saja berbunyi begini: ‘Pemuda E mencengkeram tutup toples acar dengan jari-jari tangan kanan dan mencekal bagian bawahnya dengan telapak tangan yang lain…'” (hal. 8).

Hal lain yang membuat cerpen pembuka itu tidak lumrah ialah gaya menulis Dea. Ia berperan layaknya seorang sutradara yang membawa pembaca ke satu adegan ke adegan lainnya dengan cepat, melompat ‘ke sana di masa lalu’ dan ‘ke sini di hari ini’, serta sering kali menyuguhkan kejadian-kejadian yang tidak terlalu berhubungan dengan kisah utama. Juga, sebagaimana penulis kolom media massa, Dea menggunakan kata “kita” dan “kita tahu” untuk memaksa pembaca menerima, atau mengamini, begitu saja situasi yang dideskripsikannya. Dea juga tidak mengaduk-aduk emosi pembaca. Dengan kata lain, pembaca tidak akan tersenyum, apalagi tertawa terbahak-bahak, atau jeda sejenak untuk bersimpati, terlebih berlinang air mata, ketika membacanya.

Tidak hanya itu, dalam Kisah Afonso, Dea lagi-lagi menyuguhkan ketidaklaziman. Paragraf pembuka tulisan itu kemungkinan besar membuat siapa saja mengerutkan dahi. Ia menuliskan ini: “Seekor buaya adalah seekor buaya adalah seekor buaya, dan seorang manusia adalah seorang manusia adalah seorang manusia. Apakah itu truisme? Tidak. Afonso Garcia de Solis, misalnya, adalah seekor buaya adalah seorang manusia adalah penjelajah asal Eropa, dan menurut seorang antropolog, adalah seekor ikan baung yang—karena kesialan murni—berakhir sebagai lauk makan siang anak-anaknya sendiri” (hal. 11). Kalau tulisan itu terus diikuti, pembaca akan mendapati bahwa tulisan itu ‘hanya’ laporan perjalanan yang dikisahkan oleh “aku” di Tulang Bawang Barat, Lampung. Di dalamnya, pembaca bisa menemukan alasan “aku” ke sana, kegiatan yang “aku” lakukan, orang-orang yang “aku” ajak bicara, dan apa saja yang mereka omongkan.

Ketidaklaziman juga disuguhkan Dea pada Kisah Sedih Kontemporer (IV). Di dalamnya, pembaca bertemu dengan kedua orang tua I Gusti Putu Lokomotif alias Loko. Jika di Kemurkaan Pemuda E pembaca mendapati dialog yang sangat minim, di kisah ini pembaca justru ‘hanya’ menemukan dialog orang tua Loko. Mereka beradu argumen mulai dari cinta, harta, hak asuh anak, dan pada akhirnya pembaca dibawa ke perdebatan soal lempar koin untuk mengambil keputusan. Barangkali, hanya di karya Dea inilah, pembaca bisa mendapati percakapan yang tidak umum itu. Yang membuat kisah itu semakin tidak lumrah, perdebatan itu “Direkam secara darurat pada kaset greenday – Warning, Jakarta, April 2003. Transkrip dilampirkan dalam skripsi berjudul Hubungan Antar Manusia Menurut Arthur Schopenhauer. Arsip perpustakaan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, 2015″ (hal. 27).

Di Kisah Sedih Kontemporer (IX), pembaca hanya menemukan chat, atau mungkin SMS, lengkap dengan sejumlah emoticon dan tanggal pengiriman, antara penyair dan mantan pacarnya. Isinya dimulai dengan serangkaian puisi yang dikirimkan seorang penyair bernama Fredrik kepada mantan pacarnya, Shalani, pada 19 Oktober 2011. Pesan itu baru mendapat balasan dari Shalani pada 23 Oktober 2011. Inti pesannya: menawarkan seorang perempuan untuk menjadi kekasih Fredrik. Namun, lelaki itu menolaknya, dan tetap memilih jadi penyair, dengan konsekuensi tidak bisa balikan dengan mantan pacarnya itu. Dari 2011, pembaca kemudian diajak ke percakapan pada 2013. Di sini, mantan pacar penyair itu meminta dukungan vote untuk sebuah kontes bayi. Tampaknya, Dea hendak menyampaikan bahwa perempuan itu sudah mempunyai anak, dan tidak memberikan kabar apapun, termasuk pernikahannya, sejak terakhir berkomunikasi pada 2011. Agak pahit, memang.

Dalam menyusun sebuah kalimat, juga paragraf, Dea juga keluar dari pola-pola yang lazim. Dalam Kisah Sedih Kontemporer (XXIV), misalnya, ia menuliskan begini: “Ia menulis cerita-cerita bagus yang ringkas seperti Lydia Davis. Ia menulis cerita-cerita bagus yang ringkas seperti Lydia Davis dan mengejutkan seperti Danevi. Ia menulis cerita-cerita bagus yang ringkas seperti Lydia Davis dan mengejutkan seperti Danevi dan lucu seperti Vonnegut. Ia menulis cerita-cerita bagus yang ringkas seperti Lydia Davis dan mengejutkan seperti Danevi dan lucu seperti Vonnegut dan filosofis seperti Borges. Ia menulis cerita-cerita bagus yang ringkas seperti Lydia Davis dan mengejutkan seperti Danevi dan lucu seperti Vonnegut dan filosofis seperti Borges dan sinis seperti Maupassant. Ia menulis cerita-cerita bagus yang ringkas seperti Lydia Davis dan mengejutkan seperti Danevi dan lucu seperti Vonnegut dan filosofis seperti Borges…. dan mengharukan seperti Hemingway dan cerewet seperti Bolano” (hal. 64-65). Menambah anak kalimat dari satu kalimat, mengulangnya dan menambah lagi, dan begitu seterusnya, sangatlah tidak lumrah dalam aturan main penulisan.

Tampaknya, bagi Dea, menulis puluhan cerpen yang mengikuti standar umum tidaklah terlalu sulit. Sebab, dari kumpulan cerpen ini, pembaca bisa mendapati bahwa ia memiliki wawasan tentang penulis kelas dunia. Juga, diksi-diksi yang digunakannya kaya. Namun, ia justru memilih cara lain dengan menghadirkan karya yang berbeda. Ketika toko buku dipenuhi kiat-kiat menjadi kaya raya dan tenar dalam waktu singkat, ketika para penulis lain menggunakan gaya penulisan dan teknik penceritaan yang itu-itu saja, menolak sama bisa saja merupakan jurus untuk menarik perhatian pembaca.

Bagikan Postingan:

Ikuti Info Rana Pustaka

Terbaru

Copyright @ Populi Center
id_IDIndonesian