Penulis : Iwan Simatupang
Penerbit : Pustaka Jaya
Tahun Terbit : 2013
Sebenci-bencinya engkau kepada ayah sendiri, akankah engkau membunuhnya? Sedendam-dendamnya engkau kepada ayah kandung, apakah engkau menghabisi nyawanya? Tokoh kita sudah mantap dengan pilihannya. Tanpa ragu, ia tikamkan belati ke dada ayahnya berkali-kali. Ada rasa puas di dadanya. Ada seyum lebar di wajahnya.
Mayoritas orang kemungkinan besar tidak memilih jalan itu. Namun, hal itu tidak berlaku dengan tokoh kita, seorang anak muda, dalam Tegak Lurus dengan Langit. Bagi tokoh kita, ayahnya adalah penyebab utama kesengsaraan dalam hidupnya: kepergian sang ayah tanpa kabar, perselingkungan dan kematian ibunya, dan hukuman seumur hidup bagi kedua abangnya akibat melakukan pembunuhan.
Dalam cerpen karya Iwan Simatupang itu, lepas dari nilai-nilai moralitas, kita bisa menemukan tokoh kita yang bertindak menurut kehendaknya sendiri, bahkan secara bertanggung jawab, dengan menuntaskan dendamnya kepada ayahnya. “Nanti, setelah matahari terbit, ia akan pulang ke rumah, mandi, bersalin pakaian, sarapan pagi. Sesudah itu ia akan pergi ke kantor polisi,” tulis pengagum Chairil Anwar itu.
Kisah itu masih memiliki relevansi dengan Kooong: Kisah tentang Seekor Perkutut. Pak Sastro, tokoh utama dalam novel itu, mengambil langkah yang tidak biasa. Ia putuskan untuk tidak menghiraukan saran orang-orang di desanya, meninggalkan desa yang dibangunnya, dan menitipkan harta bendanya kepada lurah untuk digunakan penduduk desa. Semua itu ia lakukan hanya untuk mencari seekor burung perkutut yang lepas dari sangkarnya.
Burung itu tidaklah spesial. Sebab, ia sama sekali tidak punya kooong. Namun, bagi Pak Sastro, perkutut gule tersebut merupakan pelipur lara setelah ditinggal mati istri dan anaknya. Sekalipun orang-orang menawarkan beragam perkutut sebagai pengganti, ia menolaknya. Ia juga enggan untuk membeli pertutut baru. Itulah sebabnya, sekali lagi, ia mengayunkan langkah kakinya meninggalkan desa itu untuk mencari burung miliknya itu.
Tersiarlah kabar ke seluruh pelosok bahwa seorang laki-laki tua, agak gendut, keliling mencari perkututnya yang hilang. Selama di perjalanan, ketika bertanya kepada orang-orang, lelaki tua itu tidak bisa mendeskripsikan perkututnya. Ia pun disebut dengan si manusia perkutut, dan tidak jarang pula dipanggil si sinting. Ia dipanggil manusia perkutut karena mencari seekor perkutut ke sana-sini. Ia disebut si sinting karena ia tidak bisa menjelaskan ciri-ciri perkutut yang sedang dicarinya.
Walaupun mendapat caci maki dari orang-orang, Pak Sastro tetap mencari burung perkututnya. Yang jadi persoalan, kepergian lelaki tua tersebut ternyata telah menghadirkan bencana di desa yang dibangunnya. Di sini, penduduk desa hidup berfoya-foya dari harta benda Pak Sastro, dan kemudian saling tuduh, juga baku hantam, perihal siapa yang harus bertanggung jawab atas penyalahgunaan harta benda tersebut. Karena tidak mendapati titik terang, Pak Lurah pun memutuskan untuk mencari Pak Sastro, dan berencana membawanya kembali ke desa. Kepergian itu ternyata disusul dengan kepergian sebagian besar lelaki di desa itu. Seperti Pak Lurah, tujuan mereka ialah mengembalikan Pak Sastro ke desa.
Dari situ, kita tahu bahwa ada kisah saling cari-mencari, Pak Sastro mencari burung perkututnya, dan Pak Luruh serta penduduk desa mencari Pak Sastro. Di lembar penghabisan Kooong: Kisah tentang Seekor Perkutut, penduduk desa, termasuk Pak Lurah, akhirnya bertemu dengan Pak Sastro. Namun, seperti kisah Tegak Lurus dengan Langit, Iwan Simatupang menghadirkan akhir yang mengejutkan: Pak Sastro sudah tidak memiliki keinginan untuk kembali ke desa yang dibangunnya. “Aku mau terus begini dulu. Katakanlah, mengembara. Katakanlah aku dipesona secara dahsyat oleh alam kebebasan dan kemerdekaan…,” ucap Pak Sastro (hal. 99).
Seperti Pak Sastro, perkutut miliknya juga pergi dari sangkar untuk mencari kebebasan. Yang menarik, Iwan Simatupang mengisahkan keputusan perkutut guleitu meninggalkan Pak Sastro dari sudut pandang burung itu sendiri. Bagi burung tersebut, perlakuan Pak Sastro kepadanya sangat istimewa, bahkan ia sudah disejajarkan oleh Pak Sastro seperti manusia. Sekalipun berat, ia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Pak Sastro. Lagi, di babak penghabisan, kita mendapati bahwa Pak Sastro merelakan burung itu hidup bebas. “Juga dia boleh meneruskan penghayatannya akan kebebasan dan kemerdekaannya…,” ujar Pak Sastro (hal. 99).
Sebagaimana halnya tokoh kita dalam Tegak Lurus dengan Langit, Pak Sastro mengambil tindakan berdasarkan kehendaknya sendiri. Kita memang bukan tokoh kita yang tanpa ragu membunuh ayahnya. Kita juga bukan Pak Sastro yang meninggalkan desa yang dibangunnya dan harta benda yang dimilikinya. Namun, dari Pak Sastro, kita setidaknya belajar bagaimana kita menentukan kita sendiri.