Penulis : Yoko Ogawa
Penerbit : Gramedia Pustaka Utana
Tahun Terbit : 2020
***
Apa yang disuguhkan oleh Yoko Ogawa mengisyaratkan kekuasaan rezim opresif dalam menghilangkan kenangan. Hari-hari ini, kisah seperti itu setidaknya bisa kita temukan dalam realitas politik. Di Cina, misalnya, pemerintah berupaya menghapus tragedi Tiananmen dari memori kolektif rakyatnya guna mengukuhkan cakar-cakar kekuasaan. Pada akhirnya, suka atau tidak, rakyat di negeri itu cenderung tidak bisa mengelak dari tindakan tersebut.
Dunia boleh dikatakan masih jauh dari keruntuhan rezim demokrasi yang direalisasikan oleh banyak negara. Namun, ada sekurang-kurangnya dua fenomena yang perlu diperhatikan perihal praktik demokrasi di level global. Pertama, belakangan ini demagog anti-elite muncul di berbagai negara. Layaknya pahlawan, mereka menawarkan solusi terhadap beragam isu. Persoalannya, solusi yang diajukan terlampau sederhana dalam menjawab permasalahan yang demikian kompleks. Tentang ini, kita bisa sebutkan sejumlah nama, seperti Modi, Orban, dan Bolsonaro.
Kedua, sebagaimana disebutkan Roberto Stefan Foa dan Yascha Mounk (2016) dalam The Danger of Deconsolidation: The Democratic Disconnect, daya pikat demokrasi semakin berkurang di sejumlah negara yang mapan demokrasinya. Pasalnya, orang-orang berusia di atas 30 tahun lebih mengapresiasi demokrasi dibandingkan anak muda di bawah 30 tahun. Pengalaman pahit pasca Perang Dunia II merupakan penyebab orang-orang berumur di atas 30 tahun merasa bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang lebih baik dibandingkan sistem politik lainnya.
Pada akhirnya, seperti novel distopia lainnya, The Memory Police: Polisi Kenanganmemberi signal peringatan bahwa demokrasi selalu mengandung kerentanan di dalam dirinya sendiri. Jika kita sepakat bahwa demokrasi memberikan ruang kepada kelompok-kelompok yang secara ekstrem tidak sejalan dengan kita, mau tidak mau hak berekspresi dan berkumpul mereka sudah seharusnya dilindungi. Sekalipun kekuatan politik tersebut hendak menjungkirbalikkan demokrasi itu sendiri, selama itu dilakukan tanpa kekerasan, hak berekspresi dan berkumpul mereka terasa penting.
***
Dalam bagian berikutnya, Yoko Ogawa menuliskan bahwa situasi di pulau tidak bernama tersebut semakin lama semakin memburuk. Pasalnya, tindakan Polisi Kenangan justru semakin bringas. Kalau sebelumnya mereka menghilangkan benda-benda secara diam-diam, belakangan aksi mereka semakin terang-terangan.
Setelah benda-benda hilang, juga kenangan atas benda-benda itu lenyap, seluruh bagian tubuh penduduk pun satu per satu raib, dari kaki kiri hingga lengan kanan, dari telinga sampai tenggorokan, dari alis hingga tulang punggung.
“Tangan yang menulis cerita, mata yang dipenuhi air mata, dan pipi tempat air mata itu mengalir-semuanya menghilang, dan pada akhirnya, yang tersisa hanyalah suara” (hal. 290).
Sekalipun semua yang berwujud hilang, Yoko Ogawa menunjukkan bahwa Polisi Kenangan tidak bisa melenyapkan suara. Dengan berbagai cara, termasuk kekerasan, Polisi Kenangan berupaya menghilangkan segalanya. Namun, orang-orang di pulau itu ternyata tidaklah kalah seutuhnya. Sebab, suara-suara mereka masih melayang-layang di pulau tidak bernama tersebut.