Beberapa kondisi kebencanaan yang terjadi menunjukkan bahwa peran pemerintah pusat juga masih vital dalam mempercepat proses resilience dari setiap keadaan darurat dari bencana hingga pandemi yang terjadi seperti saat ini. Hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah dalam kondisi kedaruratan, otonomi daerah justru menjadi boomerang bagi proses penanganan dan pemulihan? Kondisi apa saja dalam otonomi daerah yang menghambat penanganan pandemi?
Untuk mengupas persoalan tersebut, Forum Populi mengangkat tema “Otonomi Daerah Dan Pelayanan Publik Saat Pandemi” pada hari Kamis, 4 November 2021 dengan narasumber Cheka Virgowansyah (Direktur FKKPD Dirjen Otda Kemendagri RI), Panji Anugrah Permana, S.IP., M.Si., Dr. phil (Dosen Ilmu Politik, UI), Armand Suparman (Komite Pengawas Penyelenggaraan Otonomi Daerah/KPPOD). Diskusi dipandu oleh Dimas Ramadhan (Peneliti, Populi Center) dan dilaksanakan secara daring melalui aplikasi zoom.
Pada awal diskusi, Armand Suparman menyoroti dampak pelayanan publik dalam masa pandemi COVID- 19 khususnya bagi pemerintah daerah. “Ada tiga dampak utama bagi daerah akibat pandemi ini yaitu perekonomian menurun, angka kemiskinan meningkat, dan rendahnya kapasitas fiskal daerah”. Meskipun pemerintah telah merespons cepat persoalan ini melalui beberapa peraturan dan program, namun kebijakan tersebut justru memunculkan banyak persoalan di daerah.
Armand melanjutkan, tantangan pelayanan publik saat ini dan ke depan ada pada tiga persoalan besar yakni regulasi, birokrasi dan digitalisasi. “Regulasi yang masih tumpang tindih, mental birokrasi yang mengedepankan ego sektoral, dan kemampuan digitalisasi yang berhadapan dengan kapasitas dan integrasi layanan, masih menjadi persoalan utama pelayanan publik khususnya pada masa pandemi”. ujarnya.
Armand menyampaikan perlunya birokrasi yang adaptif dan inovatif agar melahirkan pelayanan yang berkualitas, akuntabel efektif dan efisien sehingga negara hadir melalui pelayanan publik yang prima. Lebih lanjut Armand menjelaskan, “Kata kunci jika kita berbicara reformasi birokrasi adalah pembenahan dari hulu”. Regulasi yang tidak jelas memunculkan banyak celah tafsir dan peluang bagi penyimpangan beberapa oknum pelayanan publik. Mengutip laporan Ombudsman Indonesia, KKPOD menyoroti bagaimana tingginya sentimen negatif masyarakat terhadap pelayanan publik, khususnya dimasa pandemi seperti saat ini.
Pelayanan publik yang berfokus pada kesejahteraan rakyat menjadi tujuan utama (ultimate goal), sebuah tujuan yang akan tercapai jika prasyarat yang meliputi kerangka kebijakan, kepemimpinan politik, hubungan pusat – daerah, dan kapasitas pemerintah daerah yang baik. Selain itu, Arman juga menyampaikan perlunya desentralisasi yang baik, paling tidak dalam tiga hal yakni desentralisasi fiskal, desentralisasi politik, dan desentralisasi administrasi. Hal yang tidak kalah penting ada pada pentingnya membangun hubungan stakeholder yang baik antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat.
Narasumber kedua, Cheka Virgowansyah, Direktur FKKPD Dirjen Otda Kemendagri RI menyampaikan prinsip penyelenggaraan pelayanan publik dalam wabah pandemi COVID-19 adalah mengutamakan keselamatan masyarakat. Perubahan cara kerja ASN harus dalam hal ini harus lebih adaptif terhadap situasi dan kondisi saat ini.
Lebih lanjut, Cheka menyampaikan beberapa tantangan pelayanan publik pada kondisi pandemi ini, diantaranya kesadaran masyarakat dan ketaatan terhadap pelaksanaan protokol Kesehatan (prokes), adanya kesenjangan kapasitas aparatur, optimalisasi pelayanan satu pintu, keterbatasan anggaran, digitalisasi dan integrasi kebijakan atau layanan berbasis aplikasi. Terkait dengan tantangan terakhir ini, Cheka menyadari saat ini masih banyak aplikasi layanan publik yang tumpang tindih. Untuk itu, saat ini Kementerian Dalam Negeri sedang mengupayakan satu layanan yang terintegrasi dengan semua layanan publik.
Panji Anugrah Permana, Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia pada awal pemaparannya menilai kegagapan pemerintah pada awal pandemi adalah hal yang wajar dan dialami banyak negara lainnya. Panji mencontohkan seperti kebijakan pemerintah di awal pandemi yang berorientasi keselamatan masyarakat, namun pelaksanaannya justru lebih banyak berorientasi pada penyelamatan ekonomi. “Kondisi yang jika kita sebut sebagai kegagapan pemerintah di awal pandemi ini adalah hal yang wajar tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain, karena ini adalah kondisi wabah”. ungkapnya. Senada dengan pembicara sebelumnya, Panji sependapat bahwa terdapat banyak persoalan kebijakan pelayanan publik yang tumpang tindih, khususnya dimasa pandemi. “Carut-marut ini terjadi karena kebijakan yang masih ambigu dan besarnya ego sektoral di daerah’’.
Panji menyadari persoalan pelayanan publik di masa pandemi adalah masalah kemampuan daerah yang berbeda-beda termasuk soal kapasitas sumber daya ekonomi dan manusia. Menurutnya perlu adanya formula yang baik sebelum mengeluarkan kebijakan agar menemukan pendekatan yang lebih tepat. “Bisa dilakukan engagement dengan akademisi misalnya, sebelum mengeluarkan kebijakan, ini sangat baik dilakukan agar kebijakan yang keluar berdasarkan kebutuhan masyarakat”. Menurut panji cara ini dapat menjadi bagian dari partisipasi aktif publik.
Pada sesi penutup diskusi, Panji menekankan pentingnya pembenahan dari hulu seperti pada proses memilih pemimpin melalui politik elektoral. Hal yang tidak kalah penting adalah perlunya sinkronisasi kebijakan melalui peraturan dan segala turunannya sehingga memunculkan pemahaman yang sama. Senada dengan Panji, Cheka menyampaikan pembenahan harus terus dilakukan secara terus menerus sehingga pelayanan publik khususnya di masa pandemi lebih adaptif dan optimal. Adapun Armand menyampaikan bahwa dalam hal pelayanan publik yang prima, penting untuk melalukan penguatan otonomi daerah, mengingat kemajuan Indonesia berawal dari kemajuan daerah.
Contact Person
Ade Ghozaly / 0821-1469-6876
@ Populi Center 2021