Viktimologi Visual: Melihat Penderitaan dalam Foto dan Gambar

Penggunaan materi visual, seperti gambar atau foto menjadi sebuah metode analisis yang sedari awal sudah digunakan dalam studi kriminologi. Bahkan, metode pengumpulan foto dan analisis sistematis menjadi cara utama Lombroso untuk mengidentifikasi pelaku kriminal dari ciri fisik yang dapat diamati, yakni dengan mengambil foto, membuat gambar dan diagram yang dapat menunjukkan hubungan tersebut (Wheeldon, 2022, p. 32). Akan tetapi, pada perkembangannya, gambar mengenai kejahatan semakin tersebar luas, mudah direproduksi, dan memantik narasi-narasi yang mungkin berbahaya bagi persepsi publik. Gambar-gambar tentang kejahatan, kekerasan, dan trauma menjadi fitur dan wajah dari kultur media kontemporer. Untuk itu, menjadi sebuah urgensi agar kriminologi dapat terlibat dalam kekuatan-kekuatan yang diberikan oleh sirkulasi representasi visual dalam masyarakat (Brown & Carrabine, 2017, p. 1).

Kriminologi visual pun berkembang menempati posisi puncak dalam studi media, kekerasan, dan relevansinya. Dalam melihat sebuah materi visual, maka pencarian makna yang dibagikan (shared meaning) dalam sebuah representasi itu diperlukan (Walklate, 2017, p. 168). Sebuah representasi dapat menginformasikan realitas terhadap kejahatan maupun kontrol kekuasaan yang pada gilirannya dapat memengaruhi tindakan sosial dan formulasi kebijakan kriminal (Brown & Carrabine, 2017, p. 2). Realitas itu tidak hanya ditangkap dari apa yang ditampilkan atau siapa yang menampilkan sebuah materi visual, tetapi juga didapat dengan menghubungkan konteks sosial yang bersinggungan (Walklate, 2017, p. 168).  Dengan kata lain, kriminologi visual menekankan makna dan kontekstualitas dari sebuah gambar.

Representasi Penderitaan dalam Gambar

Sebagai sebuah metode dan teknik analisis, kriminologi visual mendorong perlunya inkorporasi dengan berbagai perspektif dan teori-teori dalam kriminologi. Viktimologi, kemudian menjadi salah satu perspektif yang turut mengembangkan penggunaan visual. Kehadiran visualisasi dapat memberikan artikulasi yang kuat bagaimana konsep tentang korban (victimhood) dikontstruksi, dipahami, dan ditanggapi. Sandra Walklate (2017), dalam Mediated Suffering pada buku Routledge International Handbook of Visual Criminology, menguraikan manifestasi perspektif viktimologi dalam melihat gambar-gambar korban kejahatan. Dalam tulisannya, Ia mengonseptualisasikan tiga dimensi utama yang menjadi perhatian dalam viktimologi mengenai korban (victimhood), yakni dimensi rasa sakit (pain), kengerian (horror), dan resiliensi (resiliency).

Ketiga dimensi ini dilihat dari tiga foto berbeda dari tiga kejadian yang berbeda pula. Pada dimensi rasa sakit (pain), Walklate menggunakan foto seorang perempuan muda, Helen Fisher, yang membawa seikat kecil bunga berlari menuju iring-iringan pemakaman di Royal Wootton Bassett (Gambar 1). Dalam iring-iringan tersebut terdapat jenazah sepupunya yang berusia 20 tahun sebagai korban perang di Afghanistan. Foto ini memperlihatkan rasa sakit dan kepedihan yang dialami oleh Helen, sebagai sebuah duka personal. Akan tetapi, konteks peristiwa di dalam foto tersebut menginformasikan pula bahwa momen tersebut adalah momen kolektif, kedukaan yang dibagikan akibat pengorbanan-pengorbanan atas perang. (Walklate, 2017, p. 169)

 

Gambar 1. Helen Fisher, Wootton Bassett Repatriation, 4 Juli 2010

Sumber: Matt Cardy/Getty Images.

 

Pada dimensi kengerian (horror), Walklate menggunakan foto Sissel Wilsgaard, seorang perempuan dewasa yang wajah dan lengannya berlumuran darah, sambil menatap ke kejauhan (Gambar 2). Foto ini terekam saat kejadian penyerangan dan pemboman oleh Anders Breivik pada 22 Juli 2011 di Norwegia. Kondisi yang dialami oleh Wilsgaard ini telah menunjukkan sendiri penderitaan fisik maupun psikis dan kehororan peristiwa pemboman itu. Tidak hanya itu, Breivik sebagai pelaku yang tidak umum dari wacana teroris, dan berasal dari masyarakat kaya yang terkenal dengan nobel perdamaiannya. Hal ini memberikan kebingungan dan menambah kengerian dari peristiwa dalam foto tersebut (Walklate, 2017, p. 172).

 

Gambar 2. Sissel Wilsgaard, 22 Juli 2011

Sumber: Allover Norway/Rex.

 

Terakhir, pada dimensi resiliensi, Walklate menggunakan foto dari demonstrasi dan pawai di Paris pada bulan Januari 2015 pasca peristiwa-peristiwa penyerangan dan pembunuhan terhadap kartunis majalah satir, Charlie Hebdo. Dalam gambar tersebut (Gambar 3), Walklate menyoroti pembentukan resiliensi atau ketangguhan yang dibentuk berdasarkan solidaritas bersama. Hal ini bisa dilihat dari penggunaan pernyataan “Not Afraid (Tidak Takut)” yang dapat menunjukkan keyakinan utama di jantung Republik Prancis; kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan persaudaraan (fraternity). Keyakinan ini yang ditentang oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya. Dengan demikian, respon kolektif yang terekam dalam gambar ini menunjukkan respon budaya yang tertanam kuat, terhadap apa yang dikonstruksikan sebagai viktimisasi kolektif (Walklate, 2017, p. 173).

 

Gambar 3. Demonstrasi di Paris, 11 Janurai 2015

Sumber: European Photopress.

 

Menjadi Saksi atas Penderitaan Korban

Mengamati visual dari penderitaan yang dialami korban dan viktimisasi menjadi tanggung jawab yang harus dipikul oleh ilmuwan sosial dan kriminologi yang tertarik pada bahaya dan viktimisasi. Terdapat tuntutan etis terhadap mereka untuk menjadi saksi dalam menyoroti bahaya, ketidakadilan, dan penderitaan. Analisis visual menjadi salah satu upaya untuk memberi ruang dan suara bagi isu-isu yang dibungkam. Selain itu, secara teoritis, analisis visual ini tidak hanya menampilkan korban, tetapi juga mendorong pembentukan kembali, komodifikasi, dan pengemasan sebuah penderitaan korban kepada publik.

Mengingat kembali dengan perkembangan media dan postmodernism, maka analisis visual akan menjadi sangat kritis untuk mengonstruksikan, memediasi, dan mendekonstruksikan makna representasi visual yang ada, yang merupakan respon sosial, kultural, dan politis dari sebuah konteks kejahatan, viktimisasi, dan penderitaan korban. Berbagai visual mungkin mengerikan atau tidak layak dimediasi, tetapi pengabaian terhadap visualisasi dari sebuah fenomena yang ada dapat berisiko pula absen dari penglihatan dan pikiran (Walkate, 2017, p.175).

 

Referensi:

Brown, M., & Carrabine, E. (Eds.). (2017). Routledge International Handbook of Visual Criminology. Routledge, Taylor & Francis Group.

Walklate, S. (2017). Mediated Suffering. In M. Brown & E. Carrabine (Eds.), Routledge International Handbook of Visual Criminology (pp. 166-176). Routledge, Taylor & Francis Group.

Wheeldon, J. (Ed.). (2021). Visual criminology: From history and methods to critique and policy translation. Routledge.

id_IDIndonesian