Hasil Sensus Penduduk Tahun 2020 oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia saat ini sebanyak 270 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 70 persen lebih di antaranya ialah penduduk usia produktif, yakni 16-64 tahun. Temuan sensus tersebut kemudian meramaikan kembali diskursus bonus demografi Indonesia.
Bila ditelusuri, wacana bonus demografi paling tidak telah dimulai sejak dua dekade sebelumnya, yaitu oleh Sri Moertiningsih Setyo Adioetomo (2005), yang menjelaskan tren menurunnya pertumbuhan penduduk sebagai ‘peluang’ bagi pembangunan ekonomi nasional. Dalam buku saku “Siapa Mau Bonus? Peluang Demografi Indonesia” yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi Dan Informatika (2014) menjelaskan, bahwa bonus demografi (demographic dividend) merupakan sebuah kondisi dimana rasio ketergantungan atau perbandingan antara jumlah penduduk berusia produktif (15-64 tahun) dan usia nonproduktif (kurang dari 15 tahun dan lebih dari 64 tahun) di bawah angka 50. Menurut Kominfo saat itu, Indonesia sendiri disebut telah menikmati bonus demografi sejak medio 2012, dengan rasio ketergantungan di angka 47. Artinya, 100 orang berusia produktif menanggung 47 orang nonproduktif (penduduk yang belum masuk usia kerja dan yang sudah tidak bekerja/pensiun). Angka rasio ini semakin menurun setelah publikasi sensus BPS 2020, di mana rasio ketergantungan ialah 41,1 (BPS, 2023), yang berarti saat ini Indonesia memiliki penduduk usia produktif yang lebih banyak dibanding nonproduktif. Penduduk usia produktif inilah yang menjadi mesin penggerak ekonomi sebagai kelas pekerja dengan tingkat konsumsi yang tinggi. Sutikno, (2020) memprediksi bonus demografi akan mencapai puncaknya pada tahun 2035.
Sejalan dengan itu, Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional merumuskan Visi Indonesia Emas 2045. Dengan memanfaatkan bonus demografi yang sedang berlangsung, Presiden mencanangkan Satu Abad Indonesia kelak sebagai ‘Negara Nusantara, Berdaulat, Maju dan Berkelanjutan’ dengan kekuatan ekonomi (GDP) terbesar ke lima dunia (Bappenas, 2018).
Sejak itu pula, perhatian publik terhadap kelompok masyarakat berusia produktif menjadi semakin besar, terutama kepada generasi z (lahir 1997-2012) dan milenial (lahir 1981-1996). Hal ini wajar mengingat nasib bangsa akan ditentukan oleh dua generasi tersebut. Isu mengenai ini juga tak luput dari perhatian calon pasangan presiden dan wakil presiden pada pemilu 2024 lalu. Masing-masing pasangan calon menyiapkan rencana atau skema untuk gen z dan milenial. Dibalik niat baik yang tercantum dalam visi-misi tiap pasangan capres-cawapres, tentu saja sasaran utamanya ialah meraih dukungan dari pemilih di dua generasi tersebut yang jumlahnya mendominasi struktur demografi pemilih nasional. Janji pasangan capres dan cawapres terpilih ini yang kelak perlu diwujudkan sebagai landasan menuju Visi Indonesia Emas 204
Jika generasi z dan milenial adalah komponen utama kelas pekerja yang akan berkontribusi signifikan terhadap pembangunan, lantas bagaimana mereka memandang masalah pekerjaan hari ini? Temuan survei nasional Populi Center bulan April 2023 menunjukkan, dari 720 responden gen z dan milenial yang diwawancari, mayoritas merasa cukup puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo dalam menciptakan lapangan pekerjaan.
Sebanyak 65,3 persen merasa sangat puas dan puas terkait upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan, sementara yang menjawab tidak puas dan sangat tidak puas sebesar 32,7 persen. Penilaian kepuasan ini terlihat cukup merata di dua generasi tersebut, di mana gen z yang puas sebesar 67 persen, dan generasi milenial sebesar 64,7 persen.
Meski demikian, generasi milenial dan gen z merasa masih adanya perbedaan kesempatan dalam mendapat pekerjaan, terutama berdasarkan jenis kelamin. Sebanyak 63,6 persen di antara mereka merasa bahwa laki-laki lebih mudah mendapatkan pekerjaan ketimbang perempuan. Pandangan tersebut diamini baik oleh gen z maupun generasi milenial dengan proporsi relatif sama besar. Temuan lain dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengungkapkan kaum perempuan lebih sulit mengakses pekerjaan secara global (Media Indonesia, 2023). Hal ini mengingatkan kita dengan kisah pilu yang dijalani oleh Sopyah Supriatin, gadis berusia 23 tahun asal Majalengka yang menyamar sebagai laki-laki agar dapat bekerja sebagai kuli bangunan untuk menghidupi keluarganya (Tribunews, 2024).
Ketimpangan akses pekerjaan berdasarkan gender tidak serta merta diikuti dengan ketimpangan upah antara laki-laki dan perempuan. Walaupun terdapat 51,6 persen gen z dan milenial yang berpendapat pekerja laki-laki memiliki gaji/upah yang lebih tinggi dibanding pekerja perempuan, namun jumlah yang tidak sependapat terkait anggapan adanya ketimpangan gaji pekerja berdasarkan gender juga cukup besar, yaitu 45,4 persen.
Sementara itu, baik gen Z maupun milenial merasa pemerintah perlu membatasi investasi dan pekerja tenaga asing. Berdasarkan generasi, kelompok responden gen z menjadi yang paling banyak (67 persen) menyuarakan pendapat demikian. Untuk kalangan milenial, jumlahnya sebesar 57,2 persen. Sebaliknya, responden dari kalangan milenial lebih banyak yang tidak setuju apabila pemerintah membatasi investasi dan tenaga kerja asing. Kemungkinan, hal ini disebabkan generasi milenial memiliki pengalaman yang lebih banyak di dunia kerja dibanding di kalangan responden gen z.
Tetap perlu dicatat, bahwa baik gen z dan milenial secara umum sama-sama merasa keberadaan tenaga kerja asing sebagai sebuah ancaman. Sebesar 71,4 persen gen Z, dan 70,9 persen responden milenial, setuju terhadap ancaman tenaga kerja asing, dan sisanya menjawab tidak setuju serta netral. Kemungkinan pekerja Indonesia merasa terancam dengan hadirnya tenaga kerja asing, menurut Abduh (2020) terdapat beberapa alasan mengapa pekerja Indonesia terancam, antara lain persaingan tidak sehat, pembatasan lapangan pekerjaan, perbedaan upah, dan masih tingginya angka pengangguran di kalangan pekerja Indonesia.
Sejumlah catatan di atas perlu untuk menjadi perhatian bersama, utamanya oleh pemerintahan baru yang akan datang. Diperlukan adanya rekayasa regulasi agar akses terhadap pekerjaan serta pengupahan/gaji antara pekerja laki-laki dan perempuan tidak lagi timpang. Kemudian, peningkatan kualitas dan daya saing tenaga kerja dalam negeri juga harus terus ditingkatkan. Sebab, dinamika perekonomian Indonesia tidak akan bisa terlepas dari interaksinya dengan negara lain. Apalagi, pasar ekonomi kawasan bertajuk Masyarakat Ekonomi ASEAN telah berjalan sejak 2016, di mana investasi asing dibutuhkan untuk menopang lapangan pekerjaan, serta pekerja luar yang berasal dari negara-negara anggota dapat bekerja di Indonesia dan juga sebaliknya. Jangan sampai Indonesia hanya menjadi penonton dalam pasar lapangan pekerjaan nasional dan regional. Lebih jauh lagi, jangan sampai Indonesia gagal memanfaatkan bonus demografi, yang hanya terjadi satu kali dalam setiap beberapa generasi. Jika itu terjadi maka Indonesia akan menghadapi situasi pelik dalam masalah lapangan pekerjaan dimana bonus demografi malah menjadi jurang bagi pekerja Indonesia.
Referensi:
Abduh, R. (2020). Dampak Sosial Tenagakerja Asing (TKA) Di Indonesia. Sosek:Jurnal Sosial Dan Ekonomi, 1(1), 25–28.
Bappenas, 2018. “Menteri Bambang Brodjonegoro: PDB Indonesia Terbesar Kelima Dunia di Tahun 2045”, https://www.bappenas.go.id/berita/menteri-bambang-brodjonegoro-pdb-indonesia-terbesar-kelima-dunia-di-tahun-2045
Kominfo, 2014. Siapa Mau Bonus? Peluang Demografi Indonesia. Diunduh dari https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/12/FA_Buku_Siapa_Mau_Bonus_Final_Web.pdf
Media Indonesia. (2023). Kaum Perempuan Semakin Terpinggirkan dalam Dunia Kerja. https://mediaindonesia.com/internasional/563269/kaum-perempuan-semakin-terpinggirkan-dalam-dunia-kerja
Sri Moertiningsih Setyo Adioetomo, 2005. Bonus Demografi: Menjelaskan Hubungan Antara Pertumbuhan Penduduk Dengan Pertumbuhan Ekonomi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Statistik, B. P. (2023). Bonus Demografi dan Visi Indonesia Emas 2045. Jakarta: BPS.
Sutikno, A. N. (2020). Bonus Demografi Di indonesia. VISIONER: Jurnal Pemerintahan Daerah Di Indonesia, 12(2), 421-439.
TribunTravel.com, 2024. “Viral Seorang Gadis Menyamar Jadi Laki-laki Agar Bisa Kerja Jadi Kuli, Rambutnya Dipangkas Pendek”, https://travel.tribunnews.com/2024/05/21/viral-seorang-gadis-menyamar-jadi-laki-laki-agar-bisa-kerja-jadi-kuli-rambutnya-dipangkas-pendek.