Reformasi Kelembagaan DPD RI: Dari Representasi Daerah Menuju Keseimbangan Kekuasaan Legislatif

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) merupakan lembaga perwakilan di Indonesia yang lahir dari kebutuhan reformasi 1998 untuk memperkuat representasi daerah dalam parlemen. Secara konstitusional, dasar pembentukan DPD tercantum dalam Pasal 22C dan 22D UUD 1945 hasil amandemen ketiga pada 9 November 2001. Namun secara kelembagaan, DPD baru mulai bekerja pada 1 Oktober 2004 setelah anggotanya dipilih melalui pemilu 2004.

Sejak saat itu, sistem perwakilan di Indonesia menganut model dua kamar (bikameral), yakni DPR RI dan DPD RI. Perbedaan dari keduanya adalah DPR mewakili partai politik, sementara DPD mewakili kepentingan daerah secara langsung. Kehadiran DPD relevan dengan salah satu semangat reformasi yaitu desentralisasi, ketika daerah didorong untuk lebih mandiri dalam mengurus kepentingannya sehingga DPD diharapkan dapat menjadi penghubung antara daerah dan pusat. Menurut Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, DPD bersama DPR membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun, kedudukan DPD sering dianggap lebih lemah karena kewenangan yang dimilikinya terbatas. Pasal 22D UUD 1945 hanya memberi DPD wewenang untuk:

  1. Mengajukan RUU terkait otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pembentukan, pemekaran, penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan perimbangan keuangan pusat-daerah.
  2. Ikut membahas RUU serta memberi pertimbangan kepada DPR mengenai RUU APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
  3. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU terkait bidang-bidang tersebut dan menyampaikannya ke DPR.

Permasalahan muncul karena DPD tidak memiliki kewenangan menetapkan undang-undang, sehingga perannya dalam fungsi legislasi sangat terbatas. Fungsi pengawasan pun dinilai lemah karena hasilnya hanya menjadi bahan pertimbangan DPR. Karena keterbatasannya tersebut DPD disebut dengan soft bicameral. Pelemahan DPD terdapat pada UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), beserta perubahan-perubahannya yang semakin mengekang ruang gerak DPD.

Kini, memasuki usianya yang ke-21 pada 1 Oktober 2025, sudah saatnya DPD memperkuat kedudukan dan fungsinya dalam konteks strong bicameral. Sebagai representasi daerah, DPD seharusnya menjadi penyeimbang dominasi DPR. Penguatan fungsi legislasi dari DPD tidak perlu dilihat sebagai ancaman atau dapat mengganggu stabilitas politik (Toding, 2017). Guru Besar Hukum Tata Negara Saldi Isra mengatakan proses legislasi yang tidak efisien dari segi waktu pembahasan bukan semata karena banyaknya aktor sehingga mengganggu stabilitas politik yang ada, tetapi karena belum terintegrasinya mekanisme pembahasan di legislasi oleh DPR dengan baik (Isra, 2010). Ia mencontohkan dalam kasus Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang kerap dibawa oleh setiap fraksi dengan isi yang berbeda-beda. Hal itu menyebabkan eksekutif atau pemerintah perlu menghadapi sikap dari seluruh fraksi yang ada sehingga menyebabkan proses pembahasan menjadi berlarut-larut (Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014). Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa hal ini menunjukkan penguatan kewenangan DPD tidak otomatis memperlambat legislasi, selama mekanisme pembahasan dibuat lebih efisien.

Kasus yang Menegaskan Kelemahan

Selain itu, penguatan DPD juga dapat membantu hubungan antara pusat dan daerah. Dalam hal ini, contoh paling relevan dapat dilihat ketika terjadi gejolak demonstrasi oleh masyarakat Pati terhadap penolakan kenaikan Pajak Bumi Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2). Seharusnya momen tersebut dapat dilakukan oleh anggota DPD asal Jawa Tengah untuk melakukan mediasi antara masyarakat dan Bupati atau menyampaikan aspirasi masyarakat Pati ke pemerintah pusat misalnya ke Kemendagri atau Presiden langsung. Peran tersebut dapat dilakukan DPD agar prinsip negara kesatuan tetap sejalan dengan semangat otonomi daerah. Kedudukan DPD dan DPR yang tidak setara dari segi kewenangan ini dinilai oleh Mahkamah Konstitusi mengutip pandangan Stephen Sherlock sebagai sebuah kejanggalan dalam desain kelembagaan (Marzuki, 2008). DPD sebenarnya adalah lembaga dengan legitimasi kuat karena dipilih langsung oleh rakyat tanpa keterikatan pada partai politik. Tetapi realitas menunjukan kewenangan DPD kurang luas dibanding DPR.

Contoh lain juga dapat ditemui pada tahun 2023 saat DPR dan Presiden membahas RUU Kesehatan tahun 2023, Ketua DPD 2019-2024 AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengungkapkan lembaganya tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut. Salah satu akibatnya, UU Kesehatan tersebut banyak ditentang oleh berbagai kalangan karena dianggap terlalu terburu-terburu karena tidak mengakomodir partisipasi stakeholder terkait secara bermakna. Kasus itu berlanjut ke MK guna dilakukan judicial review, Ketua MK Suhartoyo lantas meminta beberapa pandangan ahli dari pakar otonomi daerah dan beberapa organisasi kesehatan.

Dalam teori politik, penguatan DPD (strong bicameralism) penting dilakukan, terutama untuk hal yang paling mendasar yaitu menyeimbangkan dalam praktik legislasi. Hal itu juga sejalan dengan pendapat Allen R. Ball dan B. Guy Peter (1988) yang mengatakan penguatan DPD akan mencegah konsentrasi kekuasaan di tangan satu lembaga dan memastikan hadirnya mekanisme check and balance, sehingga demokrasi menjadi lebih sehat karena kekuasaan legislatif tidak hanya terkonsentrasi pada satu lembaga saja.

Penutup

Bertambah usianya DPD dihadapkan dengan dua pilihan: tetap menjadi lembaga pelengkap dengan kewenangan terbatas, atau bertransformasi menjadi kamar parlemen yang sejajar dengan DPR. Bila memang ingin bertransformasi DPD juga perlu memperkuat anggotanya agar kapabilitasnya mampu menjalankan Tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) yang ikut bertambah. Tujuan semua ini bukan untuk menguntungkan satu kelompok saja, melainkan untuk memperjuangkan aspirasi lokal dan membantu kesejahteraan masyarakat Indonesia. Momentum 21 tahun seharusnya menjadi titik balik. DPD perlu diperkuat agar demokrasi Indonesia tidak timpang, dan agar suara rakyat dari Sabang sampai Merauke benar-benar hadir dalam setiap kebijakan nasional.

Daftar Pustaka

Marzuki, Masnur. (2008). Analisis Kontestasi Kelembagaan DPD dan Upaya Mengefektifkan Keberadaannya. Jurnal Hukum No 1, Vol 15, Januari 2008.

Isra, Saldi. (2010). Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Toding, Adventus. (2017). DPD dalam Struktur Parlemen Indonesia: Wacana Pemusnahan Versus Penguatan. Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 2, Juni 2017.

Putusan MK Nomor 79/PUU-XII/2014

id_IDIndonesian