Di penghujung November 2025, wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dilanda banjir bandang dan longsor ekstrem yang menghancurkan pemukiman dan infrastruktur vital. Hujan deras selama beberapa hari menyebabkan sungai meluap dan lereng perbukitan runtuh. Ratusan desa terendam, akses transportasi terputus, dan ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, per 2 Desember 2025, terdapat 604 korban jiwa, 464 orang hilang, dan lebih dari 570 ribu orang mengungsi.
Pemerintah buru-buru menyalahkan cuaca. Padahal hujan bukan penyebab, hanya pemantik dari kerusakan yang telah lama dipupuk oleh kebijakan pembangunan. Pelaku sebenarnya adalah model pembangunan yang membiarkan hutan ditebang, sungai dibendung untuk industri, dan pegunungan dibongkar untuk tambang. Ketika tanah tidak lagi memiliki akar untuk menahan air, yang runtuh bukan hanya lereng, tetapi rasa aman warga terhadap negara yang seharusnya melindungi mereka. Ini bukan sekadar bencana alam, melainkan bencana politik, yang dihasilkan dari keputusan yang dibuat secara sadar.
Model pembangunan yang mengandalkan ekspor bahan mentah (batu bara, nikel, sawit, pasir, dan mineral lainnya) dibungkus dengan narasi “pertumbuhan ekonomi.” Namun di balik itu, ada tubuh-tubuh yang menanggung ongkosnya. Warga kehilangan ruang hidup, petani kehilangan sumber air, dan perempuan dipaksa memikul beban domestik ketika alam tidak lagi menopang kehidupan. Logika ekstraktif ini bukan lahir dari kebetulan. Ia bertumpu pada cara pandang yang menempatkan alam dan kelompok tertentu, khususnya perempuan, sebagai entitas yang dapat dikontrol, digunakan, dan dikorbankan demi keuntungan segelintir pihak.
Kerusakan ini bukan hanya akibat dari kebijakan yang salah arah, tetapi dari cara berpikir yang menormalisasi penaklukan. Penaklukan atas tanah, atas tubuh, atas sumber kehidupan. Selama alam dipandang sebagai benda yang bisa diambil sesuka hati, maka kekerasan ekologis akan terus berulang. Perspektif ekofeminisme membantu kita membaca pola ini, bahwa eksploitasi alam memiliki akar yang sama dengan eksploitasi perempuan, yakni logika dominasi patriarkal yang menganggap sebagian kehidupan boleh dikorbankan demi kepentingan segelintir pihak.
Vandana Shiva, dalam bukunya Staying Alive: Women, Ecology, and Development (1988), melihat bahwa apa yang disebut sebagai pembangunan modern bukanlah proses netral. Ia menyebutnya sebagai perpanjangan dari kolonialisme, sebuah proyek yang mengubah alam menjadi komoditas dan menjadikan masyarakat lokal, terutama perempuan, sebagai pihak yang dapat disingkirkan atas nama kemajuan. Dalam logika ini, hutan hanya dihitung ketika ditebang, sungai dinilai bermanfaat ketika dibendung, dan tanah dianggap menghasilkan hanya ketika ditanami komoditas ekspor. Bagi Shiva, pembangunan semacam ini tidak menciptakan kesejahteraan, melainkan kemiskinan dan kehancuran ekologis, karena ia dibangun di atas eksploitasi alam dan perempuan.
Paradigma ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga merusak nilai tentang siapa dan apa yang dianggap penting. Shiva menunjukkan bahwa dalam logika patriarki modern, baik alam maupun perempuan dikonstruksi sebagai sesuatu yang “tidak bernilai”, sesuatu yang boleh diekstraksi, dikorbankan, atau dipinggirkan atas nama efisiensi, pertumbuhan, atau investasi. “Nature and women are seen as worthless and waste,” tulisnya.
Jika pemikiran Shiva membantu kita memahami akar ideologis kehancuran ekologis, maka perspektif feminist political ecology memberikan cara pandang untuk melihat bagaimana dampak dan resistensi muncul dalam ruang hidup yang sangat nyata, terutama bagi perempuan di wilayah pedesaan dan masyarakat adat. Rocheleau, Thomas-Slayter, dan Wangari (1996) menunjukkan bahwa krisis ekologis tidak berdampak secara merata, melainkan mengikuti garis ketidakadilan sosial, ekonomi, gender, dan ruang. Dalam hal ini, hubungan perempuan dengan tanah, air, dan hutan bukan sekadar sentimental atau simbolis, tapi juga material dan politis. Perempuan berada di garis depan yang terdampak karena mereka yang paling sering berurusan dengan pangan, air, kesehatan keluarga, dan kelangsungan hidup sehari-hari. Ketika alam dihancurkan, beban pertama dan terberat jatuh kepada mereka.
Dalam kerangka ini, bencana ekologis seperti banjir bandang, longsor, dan krisis air bukan hanya kegagalan teknis tata kelola lingkungan, tetapi juga bentuk kekerasan struktural yang memukul kelompok yang sudah terpinggirkan. Proyek pembangunan berbasis ekstraktif dalam pembangungan modern menciptakan “pemisahan paksa antara komunitas dengan sumber penghidupan mereka,” sebuah praktik yang melanggengkan ketidakadilan kolonial dalam bentuk baru.
Bencana di negeri ini menunjukkan masalah utamanya bukan pada alam, melainkan pada kebijakan dan sistem ekonomi yang mengeksploitasi serta menyingkirkan masyarakat adat dan komunitas lokal. Akibatnya, tragedi ekologis berulang dan selalu dibenarkan atas nama “kemajuan.”
Sejarah membuktikan paradigma ini bisa digoyahkan. Di berbagai tempat, perempuan dan komunitas akar rumput menunjukkan cara lain untuk hidup berdampingan dengan bumi dengan melindungi hutan, menolak tambang, pabrik semen, dan reklamasi, serta menuntut masa depan yang adil di tengah krisis iklim
Perempuan Chipko yang memeluk pepohonan di Himalaya, perempuan Kendeng (Jawa Tengah) yang mengecor kaki mereka menolak pabrik semen, masyarakat adat yang mempertahankan hutan dari konsesi tambang dan perkebunan, nelayan yang menolak reklamasi, hingga anak-anak muda yang menolak masa depan yang ditentukan oleh krisis iklim, mereka mengingatkan bahwa pembangunan bukan satu-satunya jalan, terutama jika harus merampas kehidupan.
Ekofeminisme mengingatkan kita bahwa masa depan tidak harus dibangun dari kekerasan ekologis, tetapi dari keberpihakan yang radikal terhadap bumi dan mereka yang hidup darinya. Jika negara tidak mengubah haluan, maka gerakan rakyatlah yang akan memaksanya. Karena yang dipertaruhkan bukan sekadar kebijakan, melainkan juga keberlangsungan hidup.