Sejak diperkenalkan pada 2023, Perisai Trisula Nusantara menjadi konsep pertahanan Indonesia dalam rencana strategis 25 tahun. Menteri Pertahanan Sjafrie menekankan pentingnya transformasi TNI melalui konsep ini. Sementara itu, KSAU Marsekal TNI Tonny Harjono menjelaskan Perisai Trisula Nusantara sebagai strategi untuk menghadapi ancaman dari dalam maupun luar negeri. Perisai Trisula Nusantara ini mengandung tiga pilar kekuatan utama, yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara yang bekerja sama layaknya seperti Trisula.
Dalam website resmi Kementerian Pertahanan dijelaskan bahwa modernisasi pertahanan seperti kapal fregat, helikopter, dan jenis kendaraan taktis lainnya, merupakan implementasi dari Perisai Trisula Nusantara. Hal serupa ditekankan dalam website TNI AU yang menyatakan bahwa kekompakan TNI merupakan kunci utama stabilitas nasional sebagai Perisai Trisula Nusantara.
Salah satu pilar konsep pertahanan tersebut adalah interoperabilitas atau sinergi matra darat, laut dan udara, yang memastikan respon cepat lintas matra dalam operasi gabungan. Interoperabilitas sebagai jantung strategi pertahanan menekankan pada integrasi tiga matra untuk saling beroperasi, berkomunikasi dan bekerjasama dengan didukung kemampuan alat utama sistem persenjataan (Alutsista), seperti kendaraan tempur. Lantas, apa saja yang perlu diperhatikan oleh pemerintahan Prabowo untuk mewujudkan interoperabilitas dalam Perisai Trisula Nusantara?
Interoperabilitas merupakan bagian dari pengembangan pertahanan network-centric, sebuah konsep pertahanan yang merespon era informasi dan mendorong pergeseran menuju doktrin gabungan untuk menghasilkan integrasi platform seperti kapal, pesawat, kendaraan lapis baja, dan drone dapat saling terhubung dalam sistem yang aman untuk berbagi data dan mengkoordinasikan tindakan. Konsep ini mengubah perang yang semula berfokus pada kekuatan platform (kapal, pesawat, tank) menjadi berfokus pada jaringan dan informasi. Interoperabilitas berarti kemampuan sistem atau satuan untuk saling terhubung, bertukar data, dan bekerja bersama secara efektif.
Amerika Serikat merupakan negara yang pertama kali mengembangkan kemampuan network-centric. Setelah itu, sejumlah negara lain menyusul dengan istilah dan pendekatan masing-masing: Swedia menggunakan istilah Network-Based Defense; Denmark, Norwegia, dan Belanda memakai istilah Network-Centric Warfare (NCW); Australia menyebutnya Network-Enabled Warfare; Inggris (UK) membangun Network-Enabled Capability; dan Singapura menggunakan istilah Knowledge-Based Command and Control.
Penggunaan kekuatan militer network centric pernah digunakan AS dalam operasi militer mengabungkan beberapa agensi atau joint operation penangkapan Osama bin Laden di Afganistan, dikomandoi Obama langsung dari Gedung Putih tahun 2011. AS juga pernah mengimplementasikan doktrin gabungan untuk pelaksaan operasi gabungan antar matra dalam mengalahkan Saddam Husein di Irak tahun 2003.
Dalam Joint Vision 2020, konsep operasi militer network-centric Amerika Serikat menegaskan bahwa inovasi militer bertumpu pada tiga hal, yaitu fleksibilitas doktrin, integrasi operasi gabungan, dan kemampuan beradaptasi terhadap kemajuan teknologi. Tiga hal ini menjadi prasyarat penting bagi interoperabilitas pasukan dan persenjataan, seiring perkembangan teknologi dan doktrin gabungan untuk merespons dinamika ancaman serta percepatan perubahan di era informasi.
Dalam konsep Perisai Trisula Nusantara Indonesia, sinergi antar matra dan modernisasi militer menjadi pilar utama untuk menghasilkan interoperabilitas atau memastikan ketiga matra dapat melaksanakan latihan dan operasi militer gabungan dengan lancar, mengkoordinasikan pergerakan, logistik, dan serangan di berbagai domain (darat, laut, dan udara). Saat ini, Indonesia memiliki Doktrin Gabungan TNI Catur Dharma Eka Karma, yang menekankan pada sinergi dan interoperabilitas antar matra yang harus mampu beroperasi secara terintegrasi dan saling mendukung, bukan berjalan sendiri-sendiri.
Implementasi doktrin gabungan ini telah dilaksanakan dalam latihan operasi militer gabungan, seperti Latihan Gabungan Dharma Yudha. Latihan ini melibatkan ribuan personel dari ketiga matra yang melaksanakan operasi tempur gabungan. Didukung pengerahan kapal perang, seperti KRI, untuk operasi amfibi dan penembakan rudal, Pendaratan pasukan Marinir di pantai, pengerahan tank amfibi dan tank kavaleri, serta penguasaan medan melalui lintas udara, dan dukungan udara melalui pesawat tempur F-16 untuk menghancurkan sasaran darat dan laut, serta helikopter untuk pengintaian dan evakuasi. Tujuannya ialah untuk meningkatkan sinergi, koordinasi, dan kemampuan tempur antarmatra.
Saat ini, industri pertahanan Indonesia terus mendorong pengembangan teknologi elektronika pertahanan di Indonesia, dengan produk-produk unggulan seperti Integrated Radio Communication System (IRCS), Communication Tactical Data Link System (CTDLS), radio taktikal, dan sistem komando serta kontrol untuk radar GCI (Ground Control Intercept). Selain itu, Indonesia memprioritaskan penguatan teknologi avionik dan sistem komunikasi dalam diversifikasi alutsista, terutama melalui pengadaan pesawat tempur dan kapal perang, agar keberagaman platform tetap dapat terintegrasi lewat konektivitas komunikasi dan pertukaran informasi yang andal.
Namun, diversifikasi bukan perkara mudah. Perbedaan kapabilitas antar sumber pengadaan dapat memunculkan variasi platform sekaligus ketimpangan teknologi. Karena itu, modernisasi alutsista perlu disertai klasifikasi dan standar teknologi yang berorientasi pada interoperabilitas, agar sinergi operasi antarmatra, serta antarpersenjataan dan kendaraan tempur, dapat terwujud melalui konektivitas dan integrasi yang saling mendukung.
Memastikan interoperabilitas antarkomponen dari sumber berbeda juga menjadi tantangan tersendiri. Diperlukan serangkaian uji kompatibilitas yang berulang dan terukur untuk memastikan integrasi benar-benar berjalan dalam kondisi latihan maupun operasi. Tanpa pengujian tersebut, interoperabilitas berisiko berhenti sebagai konsep, sehingga tujuan operasi dalam Perisai Trisula Nusantara tidak tercapai secara optimal.
Selain itu, Kementerian Pertahanan perlu memastikan pengembangan joint doctrine yang dapat diterapkan dalam joint operation antarmatra. Dengan dukungan sinergi persenjataan, doktrin ini diharapkan mampu menghasilkan effective linking mechanism pada berbagai level, mulai dari doktrin, matra, hingga platform seperti kendaraan tempur dan sistem persenjataan lainnya.
Pemerintahan Prabowo juga perlu segera membangun sistem komando informasi sebagai pusat kendali operasi gabungan yang mengintegrasikan pasukan dan alutsista, sehingga interoperabilitas terwujud di setiap lini operasi militer. Dengan langkah ini, Perisai Trisula Nusantara dapat berfungsi sebagai konsep pertahanan yang benar-benar terintegrasi dan tangguh.