Pendahuluan
Pemilu Presiden 2024 di Indonesia menjadi tonggak penting tidak hanya bagi transisi kepemimpinan nasional, tetapi juga bagi keterlibatan Generasi Z (Gen Z) sebagai kelompok pemilih dominan. Gen Z, yang lahir antara 1997–2012, kini berjumlah signifikan dalam demografi pemilih Indonesia. Survei Populi Center (2024) menunjukkan Gen Z mencakup sekitar 21 persen dari total populasi pemilih nasional. Jumlah besar ini dapat memberi dampak nyata terhadap arah politik dan masa depan demokrasi Indonesia.
Berbeda dari generasi sebelumnya, Gen Z dikenal sebagai digital natives—generasi yang tumbuh bersama teknologi, media sosial, dan arus informasi terbuka. Mereka cenderung independen, kritis, sekaligus cair dalam afiliasi politik. Fenomena ini menjadikan perilaku politik Gen Z menarik untuk dikaji: apakah benar mereka lebih rasional, atau justru rentan terpengaruh narasi populis dan media sosial? Ulasan ini berusaha memetakan preferensi politik Gen Z pada Pemilu 2024, faktor-faktor yang memengaruhi pilihan mereka, serta implikasinya terhadap konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Perilaku Memilih
Kajian perilaku memilih (voting behavior) menjadi pintu masuk untuk memahami preferensi politik Gen Z. Literatur klasik seperti The American Voter (Campbell dkk., 1960) membagi faktor penentu pilihan politik ke dalam tiga pendekatan utama yang mempengaruhi tindakan memilih, yaitu pendekatan Sosiologis (menekankan latar belakang sosial, kelas, agama, dan komunitas seseorang), Psikologis (menekankan ikatan emosional dengan partai atau kandidat), dan Pilihan Rasional (kalkulasi keuntungan dan kerugian berdasarkan isu, visi-misi, dan program kandidat).
Anthony Downs (1957) melalui rational choice theory menekankan bahwa pemilih bertindak kalkulatif, memilih kandidat yang dianggap memberi manfaat terbesar. Sementara Dalton (2013) mengembangkan konsep issue voting dan candidate image, di mana pemilih—terutama generasi muda—menentukan pilihan berdasarkan isu yang relevan dan citra kandidat, bukan lagi ikatan ideologis tradisional. Dalam konteks Gen Z, teori-teori ini sangat relevan. Generasi ini cenderung independen, melek digital, dan menilai kandidat berdasarkan isu-isu konkret, meskipun faktor emosional dan gaya kepemimpinan juga tetap berperan.
Preferensi Gen Z
Sebelum membahas preferensi memilih Gen Z, ada baiknya kita melihat sejenak bagaimana evaluasi kelompok ini dalam memandang jalannya demokrasi di Indonesia. Sebanyak 75,4 persen Gen Z menilai demokrasi di Indonesia dalam kategori “baik”, sementara hanya 24,6 persen yang menganggapnya “buruk”. Angka ini mencerminkan optimisme tinggi, baik terhadap sistem demokrasi yang telah dipilih Indonesia, maupun kepercayaan mereka terhadap proses politik yang sedang berlangsung, sekaligus menunjukkan semangat mereka untuk menjadi bagian dari proses demokrasi. Di tengah banyaknya tantangan politik dan sosial, persepsi ini menjadi sinyal kuat bahwa Gen Z melihat demokrasi bukan hanya sebagai sistem pemerintahan, tetapi juga sebagai ruang partisipasi dan keterlibatan aktif di ruang-ruang publik.
Penilaian kelompok Gen Z yang cukup positif terhadap demokrasi secara umum, selaras dengan ekspresi politik mereka. Hal ini terlihat dari kecenderungan pemilih Gen Z untuk mendukung pasangan calon yang berkomitmen melanjutkan program Presiden Joko Widodo. Survei Populi Center menunjukkan 75,5 persen Gen Z mendukung paslon yang melanjutkan program Jokowi, sementara 18,7 persen menolak, 5 persen tidak tahu, dan 0,8 persen menolak menjawab. Dukungan ini menggambarkan pragmatisme Gen Z yang cenderung melihat manfaat langsung dari program pembangunan infrastruktur, hilirisasi industri, dan bantuan sosial era Jokowi.
Media sosial berperan sentral dalam membentuk preferensi politik Gen Z. Temuan menunjukkan platform yang paling banyak diakses untuk informasi pemilu antara lain yaitu TikTok (33,3 persen), Instagram (25,5 persen), Facebook (20,3 persen), YouTube (10,4 persen). Fenomena ini menggeser pola konsumsi informasi dari media arus utama ke konten digital yang singkat, visual, dan interaktif.
Dengan mempertimbangkan kecenderungan-kecenderungan di atas, tidak mengherankan jika pilihan mayoritas Gen Z jatuh pada pasangan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka, dengan dukungan 72 persen. Sebagian kecil lainnya mendukung pasangan Anies Baswedan–Muhaimin Iskandar (9,9 persen), dan pasangan Ganjar Pranowo–Mahfud MD (15,4 persen). Kehadiran Gibran sebagai representasi generasi muda semakin memperkuat daya tarik pasangan ini di mata Gen Z, karena dianggap mampu menjembatani kesinambungan program Jokowi dengan aspirasi anak muda.
Massifnya atensi Gen Z dalam mengkses media sosial, dalam hal ini TikTok, sebagai sumber informasi politik sejalan dengan tren kampanye politik yang semakin mengandalkan konten visual singkat, algoritma yang adaptif, dan strategi komunikasi berbasis tren. TikTok, sebagai platform dengan pengguna muda yang dominan, menjadi kanal yang sangat efektif dalam menyampaikan pesan politik secara ringan namun menjangkau luas. Di sinilah pasangan Prabowo-Gibran berhasil mengambil ceruk besar pemilih Gen Z. Ini sejalan dengan publikasi riset Drone Emprit menunjukkan pasangan Prabowo-Gibran di TikTok mendapatkan jumlah interaksi tertinggi dibanding pasangan lain (Farisa, 2024).
Pemilih Rentan
Sayangnya, dibalik rasionalitas pemilih Gen Z, data survei menunjukkan bahwa kelompok ini rentan terhadap godaan politik uang. Sebanyak 39,4 persen persen menyatakan politik uang tidak berpengaruh terhadap pilihan mereka dalam pemilu, yang menandakan telah tumbuhnya kesadaran kritis di kalangan pemilih Gen Z. Faktor ini didorong oleh akses terhadap informasi, meningkatnya partisipasi anak muda yang lebih melek digital dan politik, serta peran media dan edukasi pemilu yang makin aktif menyuarakan pentingnya memilih berdasarkan kualitas calon, bukan imbalan materi. Namun di sisi lain, terdapat 52,3 persen yang menyatakan politik uang berpengaruh terhadap pilihan mereka dalam pemilu. Ini artinya, sekitar separuh Gen Z masih rentan terhadap godaan politik uang.
Tentu saja ini hanya temuan sementara. Sebab, sikap permisif mereka terhadap politik uang belum tentu jauh berbeda dengan ‘kakak-kakak dan orang tua’ mereka di generasi atasnya. Berkaitan dengan ini, Nugroho (et.al, 2025) menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang bisa menjelaskan mengapa politik transaksional ini masih memiliki daya tarik di tengah masyarakat. Pertama, kondisi ekonomi menjadi faktor dominan. Di banyak wilayah, terutama di daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, bantuan langsung berupa uang atau sembako dapat menjadi insentif nyata dan langsung terasa manfaatnya, sehingga berpotensi mempengaruhi preferensi politik pemilih.
Kedua, tingkat pendidikan dan literasi politik juga memainkan peran penting. Di kalangan masyarakat dengan pemahaman politik yang masih terbatas, proses pemilu sering kali dianggap sebagai ajang transaksional, bukan sebagai proses penentuan arah kebijakan negara. Akibatnya, mereka lebih rentan tergoda oleh janji atau pemberian yang bersifat sesaat, ketimbang menilai visi, misi, dan rekam jejak calon secara rasional. Ketiga, budaya politik lokal juga turut berpengaruh. Di beberapa komunitas, praktik pemberian “amplop” atau sembako dianggap sebagai bagian dari tradisi atau bentuk “balas jasa” biasa dalam masa kampanye, tanpa disadari bahwa hal tersebut bisa mengarah pada pelanggaran etika demokrasi.
Dengan kata lain, kelompok pemilih Gen Z yang menyatakan adanya pengaruh politik uang terhadap pilihan mereka diperkirakan karena didorong oleh faktor ekonomi. Kemudian, kalaupun terdapat perbedaan sikap antar generasi, pemilih Gen Z adalah kelompok yang masih dalam proses belajar dan berkembang dalam memahami esensi demokrasi secara utuh. Mereka adalah generasi yang terbuka terhadap informasi dan reflektif terhadap pengalaman politiknya, dua modal penting dalam membentuk pemilih yang dewasa secara politik. Optimisme yang tinggi terhadap demokrasi tetap membuka ruang besar bagi mereka untuk melakukan transformasi yang positif.
Implikasi Partisipasi Memilih Gen Z terhadap Masa Depan Demokrasi
Keterlibatan Gen Z dalam Pemilu 2024 menjadi sinyal penting bagi konsolidasi demokrasi Indonesia. Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif warga negara, dan Gen Z di Indonesia telah menunjukkan potensi tersebut. Namun, demokrasi masa depan juga harus mampu beradaptasi dengan pola komunikasi digital dan pola pikir generasi baru. Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan literasi politik dan digital agar Gen Z dapat menjadi pemilih yang cerdas dan rasional. Perilaku memilih Gen Z pada Pemilu Presiden 2024 mencerminkan perubahan arah politik yang lebih kritis, berbasis isu, dan dipengaruhi oleh teknologi digital. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi demokrasi Indonesia. Jika dikelola dengan baik, Gen Z bisa menjadi kekuatan progresif yang mendorong demokrasi lebih inklusif dan substansial. Namun jika diabaikan, mereka justru bisa menjadi generasi yang apatis dan skeptis terhadap sistem politik. Masa depan demokrasi Indonesia sangat tergantung pada bagaimana kita mendengar, melibatkan, dan memberdayakan generasi ini.
Temuan di atas menunjukkan, meskipun sebagian pemilih Gen Z mulai kritis, masih ada kelompok yang tetap rentan terhadap pendekatan populis transaksional, baik karena alasan ekonomi maupun rendahnya literasi politik. Ini menandakan bahwa masa depan demokrasi akan sangat bergantung pada pemerataan akses informasi dan pendidikan politik yang berkelanjutan. Negara, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil perlu membangun ruang dialog politik yang sehat agar partisipasi anak muda tidak bersifat sesaat, tetapi terlembaga secara konsisten. Tanpa itu, partisipasi demokratis akan tetap timpang dan mudah dimanipulasi oleh elite politik yang memanfaatkan celah sosial dan ekonomi.
Dengan proyeksi bahwa Gen Z akan menjadi basis pemilih terbesar dalam satu hingga dua dekade mendatang, arah demokrasi Indonesia sangat ditentukan oleh bagaimana generasi ini mampu memahami politik secara substansial. masif, dan dilibatkan secara konstruktif. Jika kecenderungan kritis dan partisipatif mereka terus dipupuk, maka demokrasi Indonesia berpotensi tumbuh menjadi lebih matang, representatif, dan inklusif. Namun jika dibiarkan tanpa pendampingan dan edukasi politik yang kuat, ada risiko bahwa demokrasi justru akan stagnan atau bahkan mundur akibat kelelahan politik dan apatisme. Oleh karena itu, Gen Z bukan hanya masa depan demokrasi mereka adalah penentu wajah demokrasi Indonesia mulai dari sekarang.
Namun alih-alih dilihat sebagai kelemahan, hal ini justru menunjukkan bahwa Gen Z adalah kelompok yang masih dalam proses belajar dan berkembang dalam memahami esensi demokrasi secara utuh. Mereka adalah generasi yang terbuka terhadap informasi dan reflektif terhadap pengalaman politiknya dua modal penting dalam membentuk pemilih yang dewasa secara politik. Optimisme tinggi terhadap demokrasi membuka ruang besar bagi transformasi positif. Dengan dukungan literasi politik yang lebih baik, akses informasi yang luas, dan partisipasi dalam diskusi-diskusi kritis, Gen Z memiliki potensi besar untuk menjadi motor penggerak demokrasi yang lebih sehat, transparan, dan berkeadilan. Mereka bukan hanya penerus bangsa, tapi juga aktor penting dalam memastikan bahwa nilai-nilai demokrasi tumbuh dan mengakar kuat di masa depan Indonesia.
Referensi
Afrimadona. 2022. Memaknai Kebijakan Berorientasi Manusia. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indoneisa. Populi Center
Campbell, A., Converse, P. E., Miller, W. E., & Stokes, D. E. (1960). *The American Voter*. University of Chicago Press.
Dalton, R. J. (2013). *Citizen Politics: Public Opinion and Political Parties in Advanced Industrial Democracies* (6th ed.). CQ Press.
DECKMAN, M. (2024). The Politics of Gen Z: How the Youngest Voters Will Shape Our Democracy. Columbia University Press. http://www.jstor.org/stable/10.7312/deck21388
Downs, A. (1957). *An Economic Theory of Democracy*. Harper & Row.
Farisa, F. C. (2024, January 23). Drone Emprit: Prabowo-Gibran Mendominasi di TikTok, Dulang Interaksi Tertinggi. KOMPAS.com. https://nasional.kompas.com/read/2024/01/23/11462131/drone-emprit-prabowo-gibran-mendominasi-di-tiktok-dulang-interaksi-tertinggi
Peters, B. Guy. 2019. Institutional Theory in Political Science. Edward Elgar Publishing
Populix. 2024. Survei Pilpres Populix terkait Pemilih Muda Gen Z & Milenial. [online] diakses [pada] https://info.populix.co/articles/survei-pilpres-populix-terkait-pemilih-muda/.
Putricia, N. D., Febriyanti, A. I., Puteri, N. D., Syukriya, A. R., & Puspita, A. M. I. (2024). Studi Literatur: Pengaruh Media Sosial terhadap Partisipasi Politik Gen Z (Zoomers). Retorika: Jurnal Komunikasi, Sosial dan Ilmu Politik, 1(2), 74-82.
Nugroho, Kris et all. 2024. Generasi Z dan Dinasti Politik. Airlangga University Press
PRRI Generation Z Fact Sheet – PRRI. (2025, June 4). PRRI. https://www.prri.org/spotlight/prri-generation-z-fact-sheet/
Ramadhan, Dimas et all. 2024. Inklusivitas Dalam Pemilu. Jakarta. Bawaslu
Ramadhan, Gilang. 2020. ‘Pilkada Bekasi Dalam Dilema Patron Klien: Antara Sosiologi Politik Dan Pemilih Rasional’. Journal of Social Politics and Governance (JSPG) 2(1): 18–31. doi:10.24076/JSPG.2020v2i1.176.
Rekker, Roderick. 2022. Young Trendsetters: How Young Voters Fuel Electoral Volatility ? Electoral Studies.
Ramlan Surbakti. 1992. Memahami ilmu Politik, Jakarta : Gramedia
Rush; Michael; Althoff, Phillip. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Rajawali Press, 1986.
Setiawan, Heru. 2023. Partisipasi Politik Pemilih Muda Dalam Pelaksanaan Demokrasi di Pemilu 2024. https://journal.unas.ac.id/populis/article/view/2877
Survei nasional: Road to 2024 Elections: Peluang Pemilu satu putaran – Populicenter.org. (2024, February 7). https://populicenter.org/2024/02/07/survei-nasional-road-to-2024-elections-peluang-pemilu-satu-putaran/
Sidanius, Jim; Jost, John T (2004). Political Psychology : Key Reading in Social Psychology, New York, Psychology Press.
Sevi, Semra.2021.Do Young Voters Vor for Young Leaders ? Electoral Studies, 69 February.
Stockemer, Doniel. 2022. Young Adults’ Under-representation in Election in the U.S House of Reorientation. Electoral Studies.