Car-Centric dan Lemahnya Political Will Transportasi Publik

Dalam beberapa waktu terakhir, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) meresmikan sejumlah rute baru Transjabodetabek untuk memperluas jangkauan layanan transportasi publik hingga ke daerah-daerah penyangga. Kehadiran rute baru ini diharapkan dapat mengurai kemacetan sekaligus mendorong masyarakat, khususnya para komuter dari luar Jakarta, beralih ke moda transportasi umum yang lebih ramah lingkungan. Langkah ini menuai apresiasi, namun juga memunculkan kritik, terutama kepada pemerintah daerah penyangga yang dinilai seakan hanya menerima fasilitas transportasi secara cuma-cuma dari Jakarta tanpa kontribusi sepadan.

Bahkan, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, mengungkapkan urgensi untuk memberikan subsidi untuk transportasi umum masih belum tinggi. Sementara itu, Wakil Gubernur Banten Dimyati Natakusumah, berharap Transjakarta juga dapat menjangkau hingga ke Kota Serang, Banten. Sebagai tambahan informasi, Transjakarta membuka rute Transjabodetabek baru yang melayani Kota Bekasi, Kota Tangerang Selatan (Alam Sutera), dan Kabupaten Tangerang (PIK 2). Kondisi ini memperlihatkan satu masalah mendasar, yakni minimnya koordinasi dan komitmen pendanaan antar-pemerintah daerah dalam menyediakan transportasi publik yang terintegrasi. Tanpa kolaborasi lintas wilayah, beban operasional hanya akan ditanggung satu pihak, sementara manfaatnya dinikmati secara luas. Akibatnya, pengembangan transportasi publik kerap berjalan setengah hati, kalah prioritas dibanding proyek infrastruktur jalan yang lebih mudah dipamerkan.

Ketidakterpaduan ini semakin kontras jika dibandingkan dengan besarnya prioritas yang diberikan pada pembangunan infrastruktur untuk kendaraan pribadi. Jalan tol, flyover, dan pelebaran jalan kerap menjadi prioritas utama, sementara moda transportasi umum masih harus berjuang mencari dukungan politik dan anggaran. Padahal, berbagai studi menunjukkan fenomena induced demand, yakni semakin banyak kapasitas jalan dibangun, semakin cepat jalan itu kembali macet karena orang terdorong membeli dan menggunakan kendaraan pribadi.

Fakta demikian dapat ditemukan nyata di beberapa ruas jalan di Jabodetabek. Tol dalam kota hingga tol layang MBZ menjadi contoh bagaimana pelebaran maupun pembangunan ruas baru yang dimaksudkan untuk melancarkan arus kendaraan justru berujung pada kemacetan yang sama parahnya, hanya dengan volume kendaraan yang lebih banyak. Fenomena ini memperlihatkan paradoks klasik: solusi yang ditawarkan pemerintah untuk mengurangi kemacetan pada akhirnya menciptakan masalah baru yang sama, bahkan lebih besar. Alih-alih mengubah pola mobilitas masyarakat ke arah penggunaan transportasi publik, strategi tersebut justru memperkuat ketergantungan pada mobil pribadi.

Fenomena ini tidak lepas dari logika politik. Infrastruktur jalan tol dan jembatan adalah “prestasi” yang mudah difoto dan cepat dipamerkan. Pola ini menunjukkan bahwa dan memberi kepuasan instan bagi pengguna mobil, basis suara yang cukup signifikan. Sebaliknya, membangun transportasi publik yang terintegrasi membutuhkan waktu panjang, koordinasi lintas lembaga, dan hasilnya tidak langsung terasa. Tidak heran, political will untuk transportasi publik sering kalah prioritas. Transportasi publik yang seharusnya menjadi urat nadi mobilitas regional terhambat oleh fragmentasi kebijakan.kebijakan transportasi bukan hanya soal teknis perencanaan, tetapi juga erat terkait kepentingan ekonomi-politik yang membentuk prioritas pembangunan. Industri otomotif menjadi penyumbang besar penerimaan negara, baik dari pajak kendaraan bermotor, bahan bakar, maupun industri pendukung seperti suku cadang dan asuransi. Pemerintah pusat dan daerah kerap memberi karpet merah bagi proyek-proyek infrastruktur jalan yang menguntungkan produsen kendaraan, pengembang kawasan permukiman baru yang bergantung pada akses tol, serta kontraktor konstruksi yang mengerjakan proyek besar. Secara politik, pembangunan jalan juga mudah dijadikan modal elektoral menjelang pemilu.

Dampaknya tidak hanya pada kemacetan. Ketergantungan pada kendaraan pribadi memperlebar ketimpangan akses mobilitas, mereka yang tidak mampu memiliki kendaraan terjebak pada pilihan transportasi yang minim, sementara yang punya mobil terbebani biaya bahan bakar, perawatan, dan waktu perjalanan yang semakin panjang. Di sisi lain, sektor transportasi menjadi penyumbang signifikan emisi gas rumah kaca dan polusi udara, yang berkontribusi pada krisis kesehatan masyarakat dan perubahan iklim.

Berdasarkan publikasi Statistik Komuter Jabodetabek tahun 2023 yang dirilis oleh BPS, sebanyak 4.414.974 orang atau 14,9% dari penduduk Jabodetabek merupakan masyarakat komuter. Dari angka tersebut, sebanyak 19,5% orang menggunakan transportasi umum dan 79,0% menggunakan kendaraan pribadi untuk pergi ke tempat kegiatan utama. Data ini menjadi gambaran nyata bahwa ketergantungan pada kendaraan pribadi masih mendominasi, dan tanpa perubahan arah kebijakan, kondisi ini akan sulit diubah. Kondisi ini menegaskan bahwa pergeseran menuju transportasi publik yang andal dan terjangkau bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Mewujudkannya memerlukan pembaruan menyeluruh di seluruh aspek yang terkait dengan layanan ini. Dengan mempertimbangkan dinamika makro, khususnya dampak globalisasi, transportasi harus dipandang sebagai kebutuhan dasar dan sarana aksesibilitas yang menjadi tanggung jawab negara (Aminah 2007). Secara nyata, perkembangan kehidupan manusia dan kemajuan teknologi transportasi telah mendorong perubahan sosial serta ekonomi di tingkat regional. Dalam hal ini, pemerintah memiliki peran sentral dalam merancang dan melaksanakan kebijakan transportasi publik. Setiap kebijakan yang berkaitan dengan persoalan transportasi perlu diselaraskan agar dapat berjalan beriringan. Selain itu, integrasi antara sistem transportasi dan perencanaan tata guna lahan juga menjadi aspek penting yang harus diperkuat.

Salah satu langkah strategis yang dapat ditempuh adalah mempercepat pembangunan Transit Oriented Development (TOD) di wilayah-wilayah strategis. Pendekatan ini memungkinkan integrasi antarmoda transportasi publik, mempermudah perpindahan penumpang, serta memaksimalkan pemanfaatan lahan di sekitar titik transit (Hasibuan dan Mulyani 2022). Selain itu, pengembangan infrastruktur pendukung seperti halte, stasiun, jalur pejalan kaki, dan fasilitas ramah pesepeda harus menjadi prioritas agar transportasi publik benar-benar nyaman dan mudah diakses. Pemerintah juga perlu memastikan standar layanan yang konsisten di seluruh wilayah, sehingga kualitas transportasi publik tidak bergantung pada kebijakan atau kapasitas keuangan masing-masing daerah. Dengan kombinasi perencanaan tata ruang yang tepat, investasi infrastruktur yang terarah, dan koordinasi lintas daerah yang kuat, transportasi publik dapat menjadi tulang punggung mobilitas yang inklusif, efisien, dan berkelanjutan (Devi, dkk. 2025).

Selain membangun dan mengintegrasikan infrastruktur, pemerintah juga perlu gencar mempromosikan penggunaan transportasi umum. Edukasi publik, kampanye kesadaran lingkungan, hingga insentif tarif bagi pengguna angkutan umum dapat menjadi strategi efektif untuk mengubah perilaku masyarakat. Di saat yang sama, kebijakan yang terlalu memanjakan pengguna kendaraan pribadi harus mulai dikurangi secara bertahap, misalnya melalui pembatasan parkir murah, pengetatan aturan lalu lintas di pusat kota, atau penerapan tarif kemacetan (congestion charge).

Peningkatan kualitas layanan oleh operator transportasi publik juga menjadi kunci. Peremajaan armada untuk memastikan moda yang nyaman dan ramah lingkungan, integrasi tarif lintas moda agar perjalanan lebih praktis, serta pengaturan headway yang konsisten sesuai kebutuhan penumpang akan membuat transportasi umum semakin dapat diandalkan. Standar pelayanan ini perlu diterapkan secara merata di semua wilayah, bukan hanya di kota-kota besar, agar akses transportasi yang layak benar-benar dirasakan seluruh lapisan masyarakat.

Langkah-langkah ini bukan untuk membatasi mobilitas, melainkan untuk menciptakan keseimbangan, sehingga pilihan transportasi publik menjadi lebih menarik dan kompetitif dibanding kendaraan pribadi. Dengan kombinasi pembangunan Transit Oriented Development, peningkatan infrastruktur pendukung, promosi aktif penggunaan transportasi umum, reformasi kualitas layanan operator, dan pembatasan insentif bagi kendaraan pribadi, Indonesia dapat keluar dari jebakan car-centric dan bergerak menuju sistem mobilitas yang adil, efisien, dan berkelanjutan bagi semua warganya.

id_IDIndonesian