92% masyarakat sangat mengkhawatirkan persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak, tetapi 72% merasa Negara telah menghadirkan rasa aman. Kekerasan, … tanggung jawab personal?
Kekhawatiran Sebagai Bentuk Fear of Crime
Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia merupakan persoalan yang sangat mengkhawatirkan. Kasus demi kasus kekerasan makin mudah disorot media menjadi konsumsi harian massa. Tidak ayal, jika Komnas Perempuan (2023) masih mencatat angka kekerasan berbasis gender (KBG) yang tinggi, yakni sebesar 339.782 pengaduan sepanjang tahun 2022. Sementara itu, kasus kekerasan terhadap anak sepanjang tahun 2023 juga tercatat di atas 800 kasus perbulannya. Bahkan, hampir menyentuh angka 1.200 kasus di bulan Mei lalu, berdasarkan laporan Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri.
Laporan akan frekuensi kekerasan yang disebutkan di atas tentu memiliki konsekuensi atas persepsi komunitas menilai persoalan ini. Ribuan angka tersebut tentunya masih relatif dan terbuka untuk didiskusikan, namun pengalaman subjektif dan objektif yang dirasakan komunitas menuju titik kulminasinya sendiri, dengan melihat persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai persoalan yang mengkhawatirkan. Hasil olah survei yang dilakukan Populi Center mengonfirmasi adanya kekhawatiran ini.
Survei yang dilakukan pada bulan Juni 2023 memperlihatkan secara total 92% responden setuju (41% Sangat Setuju dan 51% Setuju) bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat mengkhawatirkan. Baik kelompok laki-laki maupun perempuan juga memiliki perhatian yang hampir sama terhadap persoalan ini, masing-masing 90% dan 92%. Secara khusus, 43% kelompok perempuan, atau lebih besar 4% dari kelompok laki-laki, menilai persoalan kekerasan sangat mengkhawatirkan.
Kekhawatiran yang lebih tinggi oleh perempuan ini merupakan sebuah rasionalitas yang dibentuk berdasarkan pengalaman objektif maupun subjektif. Pengalaman objektif bersumber dari pengalaman sebagai korban kejahatan kekerasan. Sementara pengalaman subjektif merupakan interseksi atas berbagai aspek. Dalam bahasan Viktimologi (Walklate, 2007), ketakutan atas kejahatan (fear of crime) dibentuk oleh 3 aspek. Pertama, persepsi risiko (risk) dalam hal pertimbangan karakteristik individu (dalam hal ini gender). Kekerasan berbasis gender menempatkan perempuan menjadi kelompok yang rentan dan berisiko terhadap kekerasan. Kedua, persepsi keamanan (security) berkaitan dengan ketersediaan fasilitas dan sistem yang menjamin keamanan. Terakhir, ketakutan dapat dibentuk akibat kecemasan (anxiety) terhadap fenomena kekerasan yang difabrikasi menjadi sebuah fenomena metaforis. Dalam hasil survei di atas, ketiga hal ini sulit untuk diperlihatkan karena semata-mata bukanlah survey viktimisasi kriminal. Akan tetapi, dapat menjadi penjelasan teoritis untuk menjawab tingkat kekhawatiran yang tinggi tersebut.
Kekhawatiran tinggi yang ditunjukkan oleh komunitas tampaknya menjadi persoalan yang dianggap personal. Hal ini dikarenakan mayoritas individu di komunitas (72%) merasa negara telah menghadirkan rasa aman bagi perempuan dan anak. Dengan margin hanya 1%, kelompok laki-laki lebih tinggi menyetujui pernyataan ini dengan 73% suara, dan kelompok perempuan lebih rendah menyetujui pernyataan ini dengan 71% suara.
Temuan ini merupakan sebuah anomali karena bertentangan dengan aspek persepsi atas keamanan yang menjadi bagian dari ketakutan akan kejahatan (fear of crime). Hal ini dapat dijelaskan ketika kita dapat mengamati sifat viktimisasi dari kekerasan itu sendiri. Kekerasan terhadap perempuan dan anak kerap terjadi di ruang-ruang personal dan dilakukan oleh orang-orang terdekat dari korban. Data dari Komnas Perempuan dan Lembaga Pengadalayanan Korban Kejahatan telah menunjukkan sifat viktimisasi yang demikian.
Komnas Perempuan mencatat pengaduan kekerasan terhadap perempuan di ruang personal sebanyak 2.098 aduan atau 61% dari total. Sementara itu, Lembaga Layanan mencatatkan jumlah yang hampir empat kali lebih besar dengan 8.172 aduan atau 83%. Dengan pengalaman kekerasan yang mengambil tempat di ruang-ruang personal, maka dapat diasumsikan bahwa banyak individu dari komunitas yang kemudian melihat persoalan kekerasan adalah persoalan personal. Individu kemudian secara tidak sadar terpengaruhi oleh ilusi viktimisasi kekerasan sehingga memisahkan peran negara maupun institusi untuk mencegah kekerasan terjadi.
Kemudian, sifat viktimisasi dari kekerasan terhadap perempuan juga berkaitan dengan kecenderungan untuk menyalahkan korban (victim blaming). Sikap ini secara kultural sudah tertanam dalam berbagai komunitas yang mengakar padanya nilai-nilai patriarki dan seksisme. Kekerasan seksual yang mendominasi kekerasan di ruang publik (versi catatan Komnas Perempuan) sendiri merupakan bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi. Oleh Ellis (1991, dalam Clevenger et al., 2018), kekerasan seksual merupakan sebuah gejala dari ketidakadilan gender yang terjadi secara sistemik akibat sistem patriarki yang mengopresi.
Persepsi publik kemudian dapat menyamarkan suara korban maupun mempengaruhi proses penegakan hukum itu sendiri. Di poin inilah, seharusnya peran negara diuji, karena harus menunjukkan bagaimana sistem dan fasilitas negara konsisten dalam memberikan perlindungan dan rasa aman bagi perempuan maupun anak.
UU TPKS dan Agenda Ke Depan
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah disahkan sejak 9 Mei 2022. Hal ini menjadi preseden yang paling dinanti dan telah membuktikan peran negara untuk menjamin hak asasi bagi perempuan. Sebagai sebuah instrumen, UU TPKS mungkin menjadi alasan persepsi publik yang menilai negara telah memberikan rasa aman, seperti hasil survei sebelumnya.
Namun demikian, sifat viktimisasi dari kekerasan terhadap perempuan tidak terjadi saat peristiwa kekerasan mengambil ruang dan waktunya. Viktimisasi kekerasan yang diterima oleh perempuan masih dapat terus terjadi hingga proses penegakan hukum dan peradilan, sebagai bagian dari viktimisasi sekunder. Viktimisasi sekunder terjadi ketika pihak penegak hukum memberikan perlakuan yang bias kepada korban kejahatan. Kepolisian dan Jaksa seringkali menjadi silencing agent yang membuat korban kekerasan semakin sulit mendapat keadilan, dengan melihat masalah yang dihadapi korban sebagai persoalan personal semata. Praktik-praktik bias yang berujung pada penyalahan pada korban inilah yang masih terus menjadi tantangan terjaminnya rasa aman bagi perempuan.
Reference:
Survei Nasional Populi Center. (Juni, 2023).
Clevenger et al. (2018). Understanding Victimology: An Active-Learning Approach. New York: Routledge
Komnas Perempuan. (2023). Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023: Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Publik dan Negara: Minimnya Pelindungan dan Pemulihan. https://komnasperempuan.go.id/download-file/949
Pusiknas Bareksrim Polri. (2023). Data Kekerasan Pada Anak Januari – Juli 2023. https://pusiknas.polri.go.id/infografis
Walklate, S. (2007). Imagining the Victim of Crime. Berkshire: McGraw-Hill Education