Indonesia, Tatanan Multipolar, dan Tarif 19%

Dalam beberapa dekade terakhir, sistem internasional mengalami perubahan fundamental. Amerika Serikat (AS) yang sejak berakhirnya Perang Dingin tampil sebagai satu-satunya negara adidaya, kini menghadapi tantangan dari kekuatan-kekuatan baru. Pertumbuhan ekonomi China yang sangat pesat, kebangkitan India dengan pasar domestik yang besar, serta keterlibatan Rusia dalam berbagai isu keamanan internasional menandai bergesernya pola distribusi kekuatan. Dunia tidak lagi ditentukan hanya oleh satu kekuatan dominan (unipolar) atau dua kutub utama (bipolar), tetapi oleh interaksi lebih dari dua pemain besar dalam konteks multipolar.

Pemikiran Kenneth Waltz (1979: 129) relevan untuk membaca situasi ini. Menurutnya, jumlah kutub dalam sistem internasional diukur dari seberapa banyak negara yang memiliki kekuatan berarti, baik dalam aspek ekonomi, politik, maupun militer. Multipolaritas dengan demikian mencerminkan realitas distribusi kekuatan yang lebih tersebar. Tidak ada satu negara pun yang mampu mendikte arah politik internasional secara mutlak, karena setiap isu dipengaruhi oleh lebih dari satu aktor. Situasi ini terlihat jelas dalam hubungan AS dengan China, India, Rusia, Uni Eropa, dan Brasil, yang membentuk interaksi kompleks berisi persaingan sekaligus kerja sama (Shah, 2024).

Multipolaritas dan Dinamika BRICS

Pertumbuhan kekuatan ekonomi baru memberi dampak signifikan terhadap arus perdagangan dan investasi global. China kini menjadi salah satu motor utama perekonomian dunia, India terus memperkuat kapasitas industrinya, sementara Rusia memainkan peran melalui sumber daya energi dan keterlibatan militer. Kemunculan BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, yang kini meluas dengan tambahan anggota baru) mempertegas tantangan terhadap tatanan ekonomi lama yang selama ini dikendalikan oleh AS dan Eropa. BRICS bukan sekadar forum ekonomi, melainkan simbol pergeseran kekuatan global menuju Selatan Global.

Multipolaritas juga menghadirkan ketegangan laten. Asia menjadi episentrum kompetisi geopolitik, di mana AS dan China saling berebut pengaruh. Kawasan ini sangat penting karena perannya dalam rantai pasok global dan perdagangan internasional. Menurut laporan Credendo (2024), persaingan di Asia akan terus menjadi salah satu faktor utama yang menentukan arah politik dan ekonomi dunia. Dalam konteks ini, negara-negara yang memiliki posisi strategis di Asia akan semakin diperhitungkan, termasuk Indonesia.

Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan populasi keempat terbesar di dunia, Indonesia bukan hanya aktor regional tetapi juga mitra strategis dalam percaturan global. Keanggotaan Indonesia di BRICS memperkuat citra sebagai representasi Global South yang mampu menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang. Bagi Indonesia, masuknya ke dalam BRICS membawa peluang baru untuk memperluas jaringan perdagangan, investasi, dan inovasi teknologi lintas kawasan (Sari, 2025). Dengan diplomasi bebas-aktif yang menjadi ciri khas, Indonesia dapat memanfaatkan forum ini untuk memperjuangkan kepentingan nasional sekaligus memperkuat solidaritas Selatan Global.

Tantangan Tarif 19 Persen dan Strategi Indonesia

Namun, di balik peluang tersebut, posisi tawar Indonesia masih menghadapi tantangan. Salah satu contohnya adalah persoalan tarif dagang dengan AS. Dalam hasil negosiasi terbaru, AS menetapkan tarif 19% untuk produk ekspor Indonesia, sementara produk AS justru masuk ke pasar Indonesia dengan tarif 0%. Kebijakan ini mencerminkan ketidakseimbangan yang merugikan Indonesia. Penerimaan terhadap skema ini menunjukkan bahwa Indonesia masih menempatkan AS sebagai mitra dagang utama, bahkan ketika dunia telah memasuki era multipolar dengan lebih banyak opsi kerja sama.

Kondisi tersebut menggambarkan dua hal penting. Pertama, Indonesia belum sepenuhnya menyadari potensi strategis yang dimiliki sebagai anggota BRICS dan sebagai kekuatan ekonomi Asia Tenggara. Kedua, Indonesia cenderung terjebak dalam pola perdagangan tradisional yang sangat bergantung pada pasar AS, padahal multipolaritas menawarkan kesempatan untuk mendiversifikasi mitra dagang. Jika pola ini berlanjut, Indonesia berisiko dianggap tidak memiliki kemandirian dalam menentukan kebijakan perdagangan internasional.

Sementara itu, multipolaritas global terus berkembang. Ekspansi BRICS dari lima menjadi sebelas anggota sejak Januari menegaskan meningkatnya solidaritas Selatan Global. Perdagangan dan pinjaman antarnegara berkembang semakin meningkat, menandai terbentuknya jaringan ekonomi alternatif di luar orbit Barat. Di sisi lain, sanksi terhadap Rusia justru memperkuat perdagangan Rusia dengan India dan China. Rusia kini menjadi pemasok minyak utama India, sementara China telah menggantikan Uni Eropa sebagai mitra dagang terbesar Rusia (Credendo, 2024). Fragmentasi ini menunjukkan bahwa tatanan dunia tidak lagi berpusat pada satu kekuatan, tetapi pada interaksi jaringan yang lebih luas.

Bagi Indonesia, kondisi ini membuka ruang manuver yang lebih besar. Sebagai negara yang kaya sumber daya, memiliki populasi besar, dan ekonomi yang terus tumbuh, Indonesia dapat memperkuat perannya dalam jaringan multipolar. Posisi di BRICS harus dimanfaatkan untuk memperluas akses pasar, menarik investasi, dan memperjuangkan sistem perdagangan yang lebih adil. Jika tidak, Indonesia akan kehilangan kesempatan menjadi salah satu motor penggerak dalam tata kelola global baru.

Oleh karena itu, Indonesia perlu merumuskan strategi perdagangan yang lebih visioner. Pertama, Indonesia harus mendorong perumusan mekanisme kerja sama perdagangan multilateral yang lebih solid di dalam BRICS. Mekanisme ini dapat memperkuat daya tawar negara-negara anggota sekaligus melindungi kepentingan mereka dari dominasi pasar tradisional. Kedua, Indonesia perlu aktif mengarahkan kerja sama BRICS agar menjadi motor penggerak lahirnya tatanan global baru yang lebih seimbang, terutama dalam mengurangi ketergantungan terhadap AS. Ketiga, Indonesia harus mengedepankan prinsip perdagangan yang adil, sehingga tercipta iklim perdagangan yang saling menguntungkan. Keempat, Indonesia wajib memanfaatkan momentum multipolaritas global untuk memperluas jaringan kerja sama di luar pasar Barat.

Langkah-langkah ini penting agar Indonesia tidak hanya menjadi penonton dalam transisi global menuju multipolaritas, tetapi juga tampil sebagai aktor yang diperhitungkan. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat meningkatkan posisi tawarnya, memanfaatkan peluang BRICS, dan menghindari jebakan ketergantungan terhadap satu mitra dagang. Multipolaritas pada akhirnya bukan hanya soal distribusi kekuatan global, melainkan juga tentang bagaimana negara-negara seperti Indonesia mampu menavigasi dinamika tersebut untuk kepentingan nasional.

Reference

Anwar, Laraswati Aradne (2025) “Apa yang Diperoleh Indonesia dengan bergabung BRICS,” diakses melalui https://www.kompas.id/artikel/apa-yang-diperoleh-indonesia-dengan-bergabung-dengan-brics

BRICS (2020) “Strategy For BRICS Economic Partnership 2025,” November.

Credendo (2024) “World: A New Multipolar Order  in the Making with A Broad Impact,” diakses melalui https://credendo.com/en/knowledge-hub/world-new-multipolar-order-making-broad-impact#:~:text=Tatanan%20dunia%20baru%20yang%20bersifat%20multipolar%20dan%20tidak%20stabil&text=Adalah%20fakta%20bahwa%20tatanan%20dunia,dagang%20terbesar%20Rusia%2C%20menggantikan%20UE.

Ermaya (2024) “Geopolitik Indonesia Dalam Era Multipolar,” diakses melalui https://nasional.kompas.com/read/2024/04/30/09475081/geopolitik-indonesia-dalam-era-multipolar?page=all#:~:text=Seiring%20dengan%20evolusi%20zaman%2C%20geopolitik%20global%20telah,antara%20beberapa%20kekuatan%20besar%20yang%20saling%20bersaing.

Glauben, Thomas (2024) “BRICS: World Heavyweight in Agricultural Trade,” Intereconomics, Volume 59, Number 3, pp. 160-166

Sari, Putri Purnama (2025) “Mengenal BRICS dan Manfaatnya bagi Indonesia sebagai Anggota Baru,” diakses melalui https://www.metrotvnews.com/read/N0BC9ovG-mengenal-brics-dan-manfaatnya-bagi-indonesia-sebagai-anggota-baru#:~:text=Jakarta:%20Seiring%20dengan%20dinamika%20geopolitik%20global%20yang,negara%20berkembang%20seperti%20BRICS%20menjadi%20semakin%20penting.

Shah, T. (2024) “The Emerging International Order: Debating Polarity in Global Politics: An Interview with Michael A Peters.” PESA Agorahttps://pesaagora.com/columns/the-emerging-international-order-debating-polarity-in-global-politics/

Waltz, K. (1979) Theory of international politics, Reading, MA: Addison-Wesley.

en_USEnglish