Trump dan Era “Great Disruption”

Introduction

Kembalinya Donald Trump ke pemerintahan AS mengguncangkan dunia. Jika presidensi pertama Trump atau yang dikenal dengan Trump 1.0 telah mengejutkan dunia dengan sejumlah gebrakan kebijakan luar negerinya (misalnya, perang dagang dengan Cina dan memindahkan Kedubes AS di Israel ke wilayah Gaza), maka gebrakan Trump 2.0 kali ini jauh lebih ekstrem dan disruptif. Lihat saja beberapa contoh mengejutkannya: Hanya beberapa saat setelah Trump dilantik, dia mengeluarkan eksekutif order agar AS keluar dari lembaga-lembaga internasional seperti WHO, Paris Agreement dan sebagainya. Dia juga membekukan bantuan-bantuan luar negeri AS dan bahkan membekukan USAID yang selama ini banyak menopang kebijakan luar negeri AS, terutama di negara-negara berkembang. Dia juga mengancam sejumlah mitra utama, baik itu mitra dagang maupun mitra militer. Tidak ada yang merasa aman di bawah pemerintahan Trump. Bahkan saat ini, Trump juga mulai merecoki lembaga akademik. Namun, tentu saja yang paling disruptif adalah deklarasi perang dagang dalam bentuk tariff terhadap sejumlah negara terutama rival utamanya, Cina.

Pertanyaan pertama yang muncul adalah mengapa Trump bisa sedistruptif ini pada periode kedua ini? Jawabannya adalah karena kali ini Trump mendapat dukungan politik domestik yang lebih besar. Dibandingkan Pemilu 2016, Trump kali ini menang baik dalam popular votes maupun electoral votes. Dukungan Republikan di Kongres relatif kuat dan solid. Kalau dulu Trump sering bertengkar dengan para legislatornya sendiri di Kongres, kali ini Trump relatif mendapatkan dukungan. Secara elektoral, Trump juga bahkan mendapatkan dukungan yang meningkat dari kelompok minoritas, baik Afro-American, Latino dan bahkan pemilih muslim. Dengan modal elektoral seperti itu pantas saja Trump lebih percaya diri dalam mewujudkan janji kampanyenya.

Paradox superpower

Pertanyaan berikutnya yang perlu dijawab adalah mengapa kebijakan Trump dianggap distruptif? Jawaban singkatnya adalah karena AS kembali menjadi “negara normal”. Dengan sumber daya yang masih powerful (GDP terbesar di dunia, penyerap lebih dari 13% produksi global, kekuatan militer terbesar di dunia, dan penguasa berbagai organisasi internasional), AS seharusnya memikul tanggung jawab global yang juga besar. Karena itu, ia tidak bisa berprilaku sebagaimana negara “biasa”. Sejarah mengajarkan jika great power tidak bertindak secara bertanggung jawab, maka kehancuran global adalah konsekwensinya. Perang Dunia I dan II adalah dua contoh dari bagaimana ketidakbertanggungjawaban ini memiliki konsekwensi yang buruk.

Kita beruntung, pasca PD II AS sebagai kekuatan ekonomi, politik dan militer mau memikul tanggung jawab global dengan memperkuat kultur multilateralisme. AS bertindak sebagai benign hegemon demi menjaga multilateralisme dan stabilitas ekonomi politik global. AS berupaya menyediakan public goods dan membiarkan negara lain menjadi free rider dalam tata Kelola ekonomi politik global yang dipimpinnya.  

Namun, sebagaimana diprediksi oleh Robert Gilpin, seorang pakar ekonomi politik internasional dari Princeton, beban berat menjadi hegemon pada akhirnya akan membuat kekuatan ekonomi hegemon mengalami pelemahan dan sebaliknya membuka peluang penguatan kekuatan baru sebagai penantang. Di sinilah transisi kekuasaan (power shift) akan terjadi. Prediksi Gilpin mengenai siklus hegemoni ini menjadi kenyataan. Selama lebih dari ¾ abad kepemimpinan AS dalam tatanan liberal global (global liberal order) Cina adalah salah satu kekuatan ekonomi baru yang paling diuntungkan. Masuknya Cina dalam tatanan ekonomi liberal pimpinan AS telah membuat kekuatan ekonomi Cina melompat tinggi hingga menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia berdasarkan GDP nominal. Ramalan IMF untuk tahun 2025 bahkan menempatkan Cina sebagai perekonomian terbesar di dunia diukur dari GDP berbasis PPP dengan prediksi GDP PPP sekitar 39 triliun USD sementara AS dengan GDP PPP sekitar 30 triliun USD. Tentu saja, sebagaimana argument Fareed Zakaria, kekuatan ekonomi cepat atau lambat akan menjadi kekuatan politik dan militer.

Trump menyadari kondisi ini dan berupaya untuk mengembalikan “hak” AS sebagai negara “normal”. Karena itu, yang pertama ia lakukan adalah melepaskan tanggung jawab global ini dan mulai memikirkan diri sendiri. Permasalahannya tentu saja karena interdependensi AS dan the rest of the world sudah sangat tinggi mengingat tatanan liberal global yang dibentuk ini sudah established. Karena itu, Upaya untuk menarik diri tentu akan mengguncangkan tatanan yang sudah terbentuk ini. Inilah yang menciptakan shock global.

Respons global dan potensi keseimbangan baru

Respons dunia sejauh ini mixed. Negara sekutu terdekat seperti Inggris dan Israel tentu masih sangat kooperatif dengan AS. Namun, sekutu penting di Uni Eropa, Kanada dan sejumlah negara lainnya mulai melakukan retaliasi. Retaliasi paling keras tentu datang dari Cina yang dianggap AS sebagai rival serius baik secara geopolitik maupun geoekonomi. Sebagian negara lain berupaya untuk bernegosiasi dan mencoba bertahan dengan harapan akan ada perubahan politik domestic baik pada pemilu sela 2026 maupun pemilu presiden 2028 nanti.

Namun, ada juga potensi akan terbentuknya keseimbangan baru dalam tatanan ekonomi politik global. Tatanan baru ini terbentuk tidak hanya dari segi peralihan dan penciptaan perdagangan baru (trade creation and trade diversion), namun juga pada kekosongan dalam kepemimpinan global. Upaya normalisasi peran dan status Amerika Serikat oleh Donald Trump justru akan memberikan peluang untuk munculnya kepemimpinan global baru selain AS dalam tatanan global. Dengan demikian, alih-alih menyelamatkan hegemoni AS, kebijakan unilateralisme dan isolasionisme AS (dengan keluar dari berbagai kesepakatan multilateral) justru mempercepat perubahan keseimbangan dan transisi kekuasaan baru.

Perubahan peta politik domestik

Sebagai sebuah negara demokrasi, Nasib Trump dan semua kebijakannya pada akhirnya akan ditentukan oleh pemilih AS baik dalam pemilu presiden setiap empat tahun sekali maupun dalam pemilu sela setiap dua tahun sekali. Pada pemilu sela tahun depan, pemilih AS memiliki kesempatan untuk mengubah komposisi kekuatan politik di the House of Representatives (DPR AS) dan sepertiga kekuatan politik di Senate. Dengan demikian, pemilu sela bisa menjadi sinyal tekanan atau pun dukungan pada pemerintahan Trump. Meminjam istilah Stephen Walt, tekanan pemilih bisa jadi salah satu cara untuk menaklukan American power. Ini merupakan salah satu cara untuk menaklukan American power from within.

            Dalam system politik pemerintahan AS, ​Kongres Amerika Serikat memiliki peran krusial dalam sistem checks and balances untuk mengawasi kekuasaan eksekutif. Namun, efektivitas Kongres dalam membatasi ambisi kebijakan presiden sangat tergantung pada sejumlah factor seperti dinamika partai, penggunaan kekuasaan eksekutif oleh president, dan respons internal Kongres sendiri. Di antara berbagai factor ini, yang menurut saya paling penting dan berpengaruh adalah komposisi Kongres di dua kamar Kongres: Ketika mayoritas salah satu (semi-divided government) atau kedua kamar Kongres (divided government) dikuasai partai presiden berkuasa, maka efektifitas checks and balances menjadi berkurang. Ini disebabkan oleh meningkatnya polarisasi dan partisanship dalam politik AS. Jika dulu kedua partai di Kongres (Republikan dan Demokrat) masih sering bekerjasama dalam mengontrol kekuasaan eksekutif, dalam era polarisasi yang meningkat, legislator dari partai presiden akan cendrung mendukung kebijakan-kebijakan presiden atau paling tidak, melindungi presiden sementara partai oposisi akan cendrung menjatuhkan presiden.

Sebagai contoh, pada awal masa jabatannya, Trump menikmati dukungan mayoritas dari Partai Republik di kedua kamar Kongres (House dan Senate). Hal ini memudahkan pengesahan kebijakan-kebijakan seperti pemotongan pajak besar-besaran dan deregulasi sektor-sektor tertentu. Namun, setelah Partai Demokrat menguasai the House pada 2019, terjadi peningkatan pengawasan terhadap kebijakan eksekutif, termasuk proses pemakzulan terkait skandal Ukraina. Meskipun demikian, Senat yang masih dikuasai Partai Republik menggagalkan upaya pemakzulan tersebut.​

Kemampuan Kongres AS dalam mengekang ambisi kebijakan Donald Trump pada akhirnya sangat terbatas, terutama ketika menghadapi presiden yang bersedia menguji batas-batas kekuasaan eksekutif dan memanfaatkan dukungan partai untuk melindungi kebijakannya. Meskipun terdapat upaya pengawasan dan legislasi untuk membatasi kekuasaan presiden, efektivitasnya sering kali terhambat oleh polarisasi politik dan tentu saja kerumitan dalam proses legislasi di tubuh Kongres sendiri di mana suatu rencana kebijakan (RUU) hanya bisa menjadi kebijakan (UU) jika mendapatkan persetujuan di kedua kamar Kongres.

Karena itu, meskipun electoral cycle bisa menjadi peluang untuk mengubah kebijakan luar negeri AS, terlalu berharap pada perubahan dinamika politik domestic sepertinya juga bukan strategi yang bisa diandalkan. Ini dikarenakan rumitnya policymaking process di AS dan dinamika politik electoral yang juga belum pasti (peluang perubahan komposisi Kongress pada pemilu sela dan peluang kemenangan/kekalahan Trump dan koalisinya dalam pemilu presiden). Namun, yang tak kalah rumitnya tentu adalah efek ramifikasi dari kebijakan unilateralisme Trump itu sendiri, terutama tarif. Seperti yang diungkapkan oleh dua pakar ekonomi ternama, Richard Wolf dan Paul Krugman, tarif ibarat deklarasi perang, sekali ia dikumandangkan, kita tidak akan tahu bagaimana kesudahannya. In fact, itulah barangkali mengapa kebijakan tarif yang tak masuk akal disebut perang dagang.

Closing

Kebijakan luar negeri Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump telah menimbulkan dinamika baru dalam tatanan politik internasional. Dengan pendekatan “America First”, Trump secara tegas memprioritaskan kepentingan domestik Amerika di atas komitmen-komitmen global. Hal ini tercermin dari sikap unilateralisme, penarikan diri dari perjanjian internasional, dan pengabaian terhadap lembaga-lembaga multilateral yang selama ini menjadi fondasi tata kelola global. Bagi banyak negara, terutama sekutu dan mitra dagang utama AS, kebijakan ini bukan sekadar penyimpangan temporer, melainkan sinyal pergeseran strategis yang memerlukan respons sistematis dan kolektif.

Dalam menghadapi situasi ini, negara-negara di dunia tidak bisa sekadar bereaksi secara sporadis atau bertahan secara pasif. Diperlukan strategi yang bersifat proaktif, adaptif, dan kooperatif dalam membangun kembali keseimbangan tatanan internasional tanpa sepenuhnya mengalienasi Amerika Serikat. Salah satu respons utama yang perlu dikembangkan adalah memperkuat kerja sama regional dan multilateral. Penarikan AS dari Perjanjian Paris, TPP, dan Dewan HAM PBB menunjukkan kecenderungan menjauhnya AS dari komitmen internasional. Untuk itu, negara-negara lain harus meningkatkan kapasitas kolektif mereka melalui organisasi seperti Uni Eropa, ASEAN, Uni Afrika, atau G20. Penguatan kerjasama antar-negara selatan (South-South Cooperation) juga menjadi alternatif penting untuk menciptakan poros kekuatan baru yang lebih setara dan tidak bergantung pada satu aktor hegemonik.

Di sisi lain, negara-negara juga perlu mendiversifikasi hubungan luar negeri mereka, baik secara ekonomi maupun strategis. Ketergantungan pada pasar Amerika atau pada sistem keuangan AS yang terhubung erat dengan sanksi dan tekanan politik harus mulai dikurangi. Contohnya adalah inisiatif Eropa dalam membentuk Instrument in Support of Trade Exchanges (INSTEX) untuk tetap melakukan perdagangan dengan Iran, meskipun AS menerapkan sanksi unilateral pasca keluarnya dari kesepakatan nuklir (JCPOA). Pendekatan semacam ini menunjukkan pentingnya pembangunan kapasitas institusional alternatif yang memungkinkan negara-negara tetap menjalankan agenda politik dan ekonominya secara berdaulat, tanpa selalu tunduk pada tekanan Washington.

Kebijakan luar negeri Trump juga menunjukkan penurunan komitmen AS terhadap keamanan kolektif, misalnya dengan kritik tajam terhadap NATO dan tekanan agar negara anggota membayar lebih besar. Hal ini seharusnya mendorong negara-negara untuk meningkatkan otonomi strategis mereka dalam bidang pertahanan dan keamanan. Di Eropa, misalnya, diskursus tentang European strategic autonomy semakin menguat. Negara-negara anggota menyadari bahwa mereka tidak bisa terus-menerus bergantung pada perlindungan militer AS, apalagi ketika Trump menyatakan bahwa komitmen pertahanan bisa menjadi hal yang negotiable, bukan prinsip.

Selain strategi kolektif, negara-negara perlu mengembangkan pendekatan diplomasi yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap gaya pemerintahan Trump yang personal, pragmatis, dan transaksional. Hubungan antarnegara di bawah Trump cenderung ditentukan oleh relasi antar-pemimpin, bukan institusi. Jepang di bawah Shinzo Abe, dan Israel di bawah Benjamin Netanyahu, berhasil mempertahankan kedekatan dengan AS berkat hubungan pribadi yang erat dengan Trump. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun norma multilateral dan institusional penting, pendekatan bilateral yang cermat dan diplomasi antar-elit juga menjadi faktor penentu dalam konteks pemerintahan Trump.

Namun demikian, fleksibilitas bukan berarti tunduk. Negara-negara perlu secara tegas menjaga prinsip-prinsip tatanan internasional yang berlandaskan pada hukum, kesetaraan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ketika AS mundur dari komitmen global dalam isu perubahan iklim, negara-negara lain justru harus memperkuat komitmen mereka, tidak hanya secara deklaratif tetapi juga dalam praktik. Begitu pula dalam isu HAM dan pengungsi, di mana kebijakan pembatasan imigrasi Trump banyak dikritik karena diskriminatif, negara lain perlu menunjukkan kepemimpinan moral dan solidaritas global.

Terakhir, negara-negara harus memperkuat ketahanan domestik terhadap dampak langsung dari kebijakan luar negeri AS. Dalam konteks perang dagang, misalnya, negara-negara perlu memperkuat ekonomi domestik dan rantai pasokan nasional agar tidak mudah terguncang oleh fluktuasi tarif atau embargo. Investasi dalam infrastruktur teknologi dan energi juga harus diarahkan untuk mengurangi ketergantungan pada korporasi AS, khususnya di sektor digital dan keamanan data. Demikian pula dalam bidang kesehatan global, pandemi COVID-19 menunjukkan pentingnya kesiapsiagaan bersama yang tidak bergantung pada satu negara adidaya.

Dengan semua dinamika tersebut, dapat disimpulkan bahwa strategi respons global terhadap kebijakan luar negeri Donald Trump tidak cukup hanya dengan mengkritik atau menunggu perubahan pemimpin AS. Dunia internasional harus secara kolektif dan cerdas membangun sistem baru yang lebih adil, inklusif, dan tangguh terhadap gejolak geopolitik. AS tetap akan menjadi aktor penting dalam politik global, tetapi kekuatan global lainnya harus siap untuk memainkan peran yang lebih besar—bukan untuk menyaingi, melainkan untuk menyeimbangkan dan menjaga stabilitas internasional secara bersama.

Reference

Gilpin, R. (1981) War and Change in World Politics. Cambridge: Cambridge University Press.

Walt, S.M. (2005) Taming American Power: The Global Response to U.S. Primacy. New York: W.W. Norton & Company.

Stephen M. Walt, The Hell of Good Intentions: America’s Foreign Policy Elite and the Decline of U.S. Primacy (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2018), 186.

Haass, R.N. (2021) ‘Donald Trump’s Costly Legacy’, Project Syndicate, 11 January. Available at: https://www.project-syndicate.org/commentary/donald-trump-costly-legacy-three-failures-by-richard-haass-2021-01 (Accessed: 18 April 2025).

Federal Foreign Office (2020) INSTEX successfully concludes first transaction. 31 March. Available at: https://www.auswaertiges-amt.de/en/newsroom/news/instex-transaction/2329744 (Accessed: 18 April 2025).​

Wright, T. (2017) ‘Trump remains a NATO skeptic’, Brookings Institution, 1 June. Available at: https://www.brookings.edu/articles/trump-remains-a-nato-skeptic/ (Accessed: 18 April 2025).

Bergmann, M. (2025) ‘The Transatlantic Alliance in the Age of Trump: The Coming Collisions’, Center for Strategic and International Studies (CSIS), 18 February. Available at: https://www.csis.org/analysis/transatlantic-alliance-age-trump-coming-collisions (Accessed: 18 April 2025).

Sheila A. Smith, Japan Rearmed: The Politics of Military Power (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2019), 241.

Afrimadona adalah pengajar Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta dan Direktur Eksekutif Populi Center.

en_USEnglish