Keadilan gender merupakan kesamaan kondisi bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia secara adil agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Beberapa instrumen nasional dan internasional untuk keadilan gender sudah disusun untuk memenuhi hak asasi perempuan dan kesetaraan gender, seperti Undang-Undang Dasar (UUD), Instruksi Presiden (Inpres), Peraturan Pemerintah (Permen), Konvensi CEDAW, Deklarasi PBB, hingga Pembangunan Milenium (MDGs) yang kini dikenal sebagai Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Hingga hari ini, kesenjangan upah gender (gender pay gap) merupakan salah bentuk masalah ketidakadilan gender dan masuk menjadi salah satu fokus SDGs dalam menjamin laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama terhadap sumber daya ekonomi. Menurut International Labour Organization (ILO), banyak faktor yang dapat menjadi penyebab kesenjangan upah gender, termasuk perbedaan tingkat pendidikan, segregasi pekerjaan, atau diskriminasi dalam hal upah dan akses ke jenis pekerjaan tertentu.
Di Indonesia sendiri salah satu upaya yang sudah dilakukan pemerintah untuk mengatasi kesenjangan upah gender adalah dengan membuat aturan tentang upah dan ketenagakerjaan. Peraturan seperti Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 (Cipta Kerja), serta Peraturan Pemerintah (PP) terkait pengupahan, perjanjian kerja. Di dalam peraturan tersebut sudah ada pengaturan mengenai perlindungan hak-hak pekerja perempuan seperti cuti haid, cuti hamil, hingga perlindungan upah yang menjelaskan pekerja perempuan berhak mendapatkan upah yang sama dengan laki-laki dalam pekerjaan yang sama.
Lantas bagaimana persepsi ketimpangan akses pekerjaan dan upah antara pekerja perempuan dan laki-laki saat ini? Dalam Survei Nasional Populi Center April 2023 menunjukkan, sebanyak 57,7 persen responden laki-laki merasa setuju dengan anggapan yang menyebut bahwa pekerja laki-laki memiliki gaji/upah lebih besar dibandingkan pekerja perempuan, 39,2 persen tidak setuju, dan 3,1 persen memilih untuk tidak menjawab. Sebaliknya, di antara responden perempuan, jumlah yang tidak setuju lebih besar (51,2 persen) dibanding dengan yang menjawab setuju (45,5 persen), sisanya tidak menjawab (3,3 persen). Temuan di atas menjadi angin segar dalam melihat kondisi pekerja perempuan, meskipun secara umum laki-laki masih merasa setuju bahwa laki-laki memiliki gaji/upah lebih besar dibandingkan pekerja perempuan.
Jika persepsi terhadap upah menunjukkan pergeseran ke arah lebih sensitif gender, pandangan tentang akses pekerjaan justru masih memperlihatkan ketimpangan. Dari 100 persen responden laki-laki, 66,7 persen menjawab setuju ketika dengan anggapan bahwa laki-laki memiliki peluang lebih besar dibandingkan perempuan dalam mengakses pekerjaan. Hanya 30 persen yang menyatakan tidak setuju, dan 3,3 persen tidak menjawab. Sedangkan bagi responden perempuan, sebesar 55,2 persen menjawab setuju, dan 40,5 persen menjawab tidak setuju, sementara sisanya 4,3 persen tidak menjawab jika laki-laki memiliki peluang mendapatkan pekerjaan lebih besar dari perempuan.
Temuan ini dapat mengindikasikan bahwa persepsi tentang ketimpangan akses pekerjaan masih diterima sebagai konstruksi sosial. Baik laki-laki dan perempuan masih memandang bahwa akses pekerjaan menjadi ruang untuk laki-laki. Beauvoir dalam bukunya The Second Sex: Fakta dan Mitos menyatakan walaupun hak perempuan sudah diakui secara legal, kebiasaan yang sudah lama berlaku menghambat ekspresi penuh mereka dalam adat istiadat, kondisi ini pun dinilai tak jauh berbeda di dunia ekonomi (Beauvoir, 2003).
Hal ini memperlihatkan pandangan tentang akses kerja dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti nilai agama, adat, budaya yang terinternalisasi dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Nilai tersebut membentuk pola pikir patriarkal yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah utama. Pandangan patriarkal ini pun tidak hanya hidup di dalam praktik sosial di ranah privat, tetapi juga dilegitimasi oleh regulasi negara. Misalnya dalam Undang-undang No. 1 Tahun Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang secara eksplisit membagi peran gender dalam rumah tangga:
Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga [Pasal 31 Ayat (3)], suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya [Pasal 34 Ayat (1)], istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya [Pasal 34 Ayat (2)].
Regulasi ini memperkuat pembagian peran tradisional antara laki-laki dan perempuan sekaligus melanggengkan norma patriarkal dalam ruang domestik. Ketika peran gender ini dilembagakan oleh hukum, dampaknya meluas hingga sektor publik seperti dunia kerja. Sehingga masyarakat umumnya memiliki pandangan perempuan kerap dipandang tidak memiliki kompetensi ketika terjun di ranah publik. Pandangan ini juga terefleksikan melalui data dari Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2023, berdasarkan Tingkat Partisipasi Angkatan Pekerja Menurut Jenis Kelamin menunjukkan ketimpangan. Dari 100 persen, 84,26 persen laki-laki berpartisipasi aktif, sedangkan perempuan hanya 54,52 persen.
Implementasi Kebijakan di Lingkungan Kerja: Kritik Feminis Marxis atas Kebijakan Hak Pekerja Perempuan
Banyak polemik yang terjadi dalam implementasi kebijakan tentang hak pekerja perempuan. Aturan tentang cuti haid dan cuti hamil di tahun 2020 lalu melalui kemunculan Perppu Ciptaker sempat hilang. Namun ternyata cuti haid dan cuti hamil tidak hilang karena mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang masih memuat tentang perlindungan hak pekerja perempuan. Tapi masalah lain muncul melalui laporan yang dikutip dari Deutsche Welle Indonesia yang mewawancarai sejumlah perempuan bekerja di Indonesia. Beberapa di antara pekerja perempuan masih merasa malu untuk mengambil cuti haid karena khawatir mendapat stigma negatif dari rekan kerjanya. Laporan tersebut juga mengungkapkan masih banyak perusahaan yang tidak menerapkan cuti haid untuk perempuan.
Selain itu, polemik juga muncul pada UU No. 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak ketika akan mengadakan wacana cuti melahirkan yang akan diperpanjang menjadi enam bulan. Dikutip dari BBC Indonesia, Federasi Serikat Buruh Perempuan Indonesia (FSBPI) mengungkapkan banyak kasus buruh perempuan berstatus kontrak akhirnya diberhentikan oleh perusahaan demi menghindari kewajiban membayar upah cuti melahirkan. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga menjelaskan peraturan ini justru membuat khawatir perusahaan enggan merekrut tenaga kerja perempuan.
Hak perempuan mendapatkan upah dan kesejahteraan yang sama dengan laki-laki tanpa diskriminasi sudah menjadi salah satu fokus yang diperjuangkan oleh seorang tokoh feminis liberal, Betty Friedan pada tahun 1960-an di Amerika. Betty Friedan dari organisasi perempuan pertama National Organization for Women (NOW) menentang diskriminasi di bidang sosial, politik, ekonomi, dan personal. Selain upah, dia juga menuntut pemerintah untuk memastikan hak-hak perempuan terjamin bila perempuan kembali bekerja setelah cuti melahirkan, juga pembayaran gaji cuti melahirkan dalam bentuk kesejahteraan/keuntungan karyawan (Arivia, 2018).
Namun jika melihat dari pandangan feminis Marxis berbeda halnya dengan para feminis liberal dengan menganggap konsep hukum dan aturan sensitif gender dapat mengatasi bentuk diskriminasi gender. Menurut para feminis Marxis, persoalan utama diskriminasi gender terjadi terletak pada masalah kelas yang menyebabkan perbedaan fungsi dan status perempuan. Mereka tidak percaya dengan konsep hukum dan kebijaksanaan sensitif gender yang selama ini diyakini oleh kalangan feminis liberal. Menurut mereka, penindasan perempuan terjadi melalui produk politik, sosial dan struktur ekonomi yang berkaitan erat dengan apa yang disebut sebagai sistem kapitalisme. Dalam perspektif ini, kalangan perempuan pada umumnya masih menduduki peringkat gaji dan posisi yang rendah di dalam masyarakat (Arivia, 2018).
Perbedaan kelas, fungsi, dan status perempuan menurut feminis Marxis juga tak terlepas kaitannya dengan salah satu bentuk ketidakadilan gender yaitu beban ganda. Beban ganda sebetulnya istilah yang sudah pernah diungkapkan oleh Friedan sebelumnya. Friedan melalui bukunya The Second Stage (dalam Tong, 1998) merangkul beberapa masalah ekonomi dan perempuan pekerja, ia berharap ibu-ibu pekerja bisa terbebas dari beban ganda. Friedan mencoba merefleksikan suatu masyarakat di dalamnya ketika laki-laki dan perempuan mengambil beban yang setara dan memperoleh keuntungan yang setara baik di dunia publik maupun dunia privat. Namun Friedan gagal mempertanyakan apakah kapital dapat mengembangkan kondisi kerja dan keluarga ideal untuk semua orang. Kritik dalam buku tersebut melihat bahwa aturan tentang cuti orangtua (untuk ibu/ayah), waktu kerja fleksibel pada akhirnya hanya dapat dinikmati oleh mereka para masyarakat kelas atas atau mereka yang memiliki pendapatan tinggi.
Margaret Benston, salah seorang tokoh feminis Marxis, menyatakan bahwa (dalam Tong, 1998) sesungguhnya kelas perempuan dalam kapital adalah kelas manusia yang bertanggung jawab atas produksi nilai guna sederhana dalam kegiatan yang diasosiasikan dengan rumah dan keluarga. Benston menekankan setiap waktu pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab perempuan. Ketika mereka bekerja di luar rumah, dengan cara apa pun mereka harus mengatur untuk dapat mengerjakan pekerjaan di luar rumah maupun di dalam rumah. Perempuan, terutama perempuan yang sudah menikah dan mempunyai anak, yang bekerja di luar rumah, pada dasarnya melakukan dua pekerjaan. Gambaran ini yang sering menjadi fokus bagaimana kapital sebetulnya telah mengeksploitasi perempuan.
Adanya ekspektasi masyarakat terhadap perempuan yang selalu dikaitkan dengan pengasuhan dan tugas rumah tangga, ketidakhadiran mereka dari pekerjaan seringkali dikaitkan dengan peran gender mereka. Berbagai aturan yang dinilai sudah responsif gender justru melanggengkan asumsi bahwa perempuan tidak layak bekerja dan dengan demikian membenarkan diskriminasi gender (Levitt B, 2020). Oleh karena itu, perempuan mungkin dalam keadaan terpaksa seringkali memilih untuk tidak menggunakan cuti haid dan tidak mendukung cuti melahirkan yang panjang, karena khawatir akan kehilangan akses pekerjaan mereka.
Akibat perempuan sering diasosiasikan dengan ranah privat, segregasi pekerjaan oleh pekerja perempuan juga masih sering terjadi di lingkungan kerja hal ini yang disebut juga sebagai gendered division labor di mana juga menjadi salah satu faktor terjadinya ketimpangan akses pekerjaan dan kesenjangan upah gender (gender pay gap). Perempuan cenderung ditempatkan pada pekerjaan yang bersifat feminin seperti administrasi, pelayanan, atau pekerjaan rumah tangga, yang secara struktural memiliki bayaran lebih rendah. Ditambah lagi, sektor informal yang banyak diisi perempuan seperti pedagang kaki lima, pekerja rumahan, atau buruh lepas, sering kali tidak memiliki akses terhadap perlindungan kebijakan ketenagakerjaan, yang semakin memperlebar kesenjangan ekonomi berbasis gender.
Oleh karena itu, perspektif feminis Marxis ini menjadi relevan ketika perempuan pekerja selalu dikaitkan dengan fungsi dan perannya sebagai ibu atau tugas domestik yang ada di ranah privat dan secara tak langsung telah dieksploitasi oleh kapital. Pandangan feminis Marxis menyoroti bahwa akar permasalahan terletak lebih dalam, yaitu pada struktur ekonomi kapitalis dan beban ganda yang memengaruhi bagaimana kapital memandang dan menempatkan perempuan dalam dunia kerja. Kalangan feminis Marxis percaya bahwa kekuatan ekonomi dan posisi ekonomi yang baik bagi perempuan merupakan jawaban untuk mengakhiri penindasan terhadap perempuan (Arivia, 2018).
Dari tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa efektivitas kebijakan yang sensitif gender perlu ditinjau lebih kritis. Meskipun Indonesia telah memiliki berbagai aturan untuk melindungi hak pekerja perempuan, implementasinya masih menghadapi tantangan. Perangkat hukum yang saat ini berlaku belum mampu mengangkat pekerja perempuan menjadi setara dengan pekerja laki-laki. Di saat yang bersamaan, pekerja perempuan juga masih terus diasosiasikan sebagai kelas masyarakat yang hanya bertanggung jawab pada tugas-tugas domestik.
Hadirnya Undang-undang No. 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak juga menjadi harapan dan peluang untuk mendorong terciptanya kesetaraan hak antara pekerja laki-laki dan perempuan. Undang-undang ini diharapkan tidak hanya memosisikan ibu sebagai ‘objek yang harus dilindungi’ tetapi juga dapat memperkuat peran perempuan dalam menjamin kesejahteraan reproduktif dan produktif yang menuju ke arah kesetaraan.
References:
Arivia, Gadis. (2018). Filsafat Berperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan.
Beauvoir, Simone. (2003). The Second Sex: Fakta & Mitos. Pustaka Promethea.
Tong, Rosemarie Putnam. (1998). Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. JALASUTRA.
Levitt, R. B. & Barnack-Tavlaris, J. L. (2020). Addressing menstruation in the workplace: the menstrual leave debate. In The Palgrave Handbook of Critical Menstruation Studies. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK565643/
International Labour Organization (ILO). (2017). The gender gap in employment: What’s holding women back?. https://webapps.ilo.org/infostories/en-gb/stories/employment/barriers-women#intro
International Labour Organization (ILO). (2024). The gender pay gap. https://www.ilo.org/resource/other/gender-pay-gap
Deutsche Welle. (2023). Cuti Haid: Hak Pekerja Perempuan yang Seolah Ada dan Tiada. https://www.dw.com/id/cuti-haid-hak-pekerja-perempuan-yang-seolah-ada-dan-tiada/a-64443863
BBC News Indonesia. (2024). Cuti melahirkan selama enam bulan, menguntungkan atau merugikan ibu pekerja di Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cw44p9ekwexo
Badan Pusat Statistik. (2023). Tingkat Partisipasi Angkatan Pekerja Menurut Jenis Kelamin.https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MjIwMCMy/tingkat-partisipasi-angkatan-kerja-menurut-jenis-kelamin.html