Argumen bahwa memperjuangkan kepentingan perempuan dalam kebijakan publik harus dimulai dengan kehadiran perempuan dalam jabatan publik menunjukkan betapa pentingnya eksistensi politik kaum perempuan. Hal ini diiringi dengan peningkatan kesadaran tentang pengarusutamaan gender. Di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kesempatan kaum perempuan untuk masuk dan berpartisipasi ke dalam posisi-posisi politik. Upaya-upaya tersebut di antaranya adalah ratifikasi Konvensi Hak-Hak Politik Perempuan (Convention on the Political Rights of Women) menjadi Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 dan pengesahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan kedudukan dan kesempatan yang setara dalam berpartisipasi dalam bidang sosial dan politik.
Penegasan persamaan hak dan kesempatan kaum perempuan dalam politik kemudian ditekankan kembali melalui kebijakan afirmatif (affirmative action), sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemilihan umum dan partai politik. Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, misalnya, bahwa setiap partai politik harus memiliki keterwakilan perempuan sebesar 30% dalam struktur kepengurusannya, baik di tingkat nasional hingga tingkat daerah. Kebijakan afirmatif kemudian diterapkan pada penyelenggaraan pemilihan umum, di mana setiap partai politik peserta pemilihan umum diwajibkan untuk memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% pada daftar bakal calon legislatif, baik di tingkat nasional hingga daerah, sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Kebijakan afirmatif memberikan peluang, kesempatan, dan dorongan bagi kaum perempuan untuk menunjukkan eksistensinya di dunia politik. Potensi yang dimiliki oleh perempuan dapat dimaksimalkan dengan kesadarannya untuk berpartisipasi dalam politik praktis sehingga berdampak pada proses pengambilan keputusan dan pembentukan kebijakan yang tidak bias gender.
Partai politik, sebagai salah satu lembaga yang mewadahi pengetahuan dan pengkaderan politik, memiliki peran penting dalam mendorong dan merekrut kaum perempuan menjadi kader potensial untuk berpartisipasi dalam politik praktis. Namun, meskipun kebijakan afirmatif telah ditetapkan, tantangan terbesarnya adalah memastikan pelaksanaan kebijakan ini berjalan di struktur kepemimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Rendahnya tingkat sosialisasi politik kepada perempuan menyebabkan minimnya keterlibatan mereka sebagai kader aktif. Selain itu, partai politik cenderung mengabaikan agenda perempuan dalam program-programnya, serta lebih memilih menominasikan kandidat laki-laki karena dianggap lebih potensial memenangkan pemilu. Proses seleksi kandidat pun kerap tidak transparan, dengan kecenderungan memilih perempuan yang memiliki kedekatan dengan elit kekuasaan, yang menghambat peluang perempuan lain untuk tampil sebagai pemimpin. Tantangan lainnya mencakup tingginya biaya politik dalam kontestasi elektoral yang tidak sebanding dengan akses finansial yang dimiliki perempuan. Partai politik pun jarang memberikan dukungan dalam hal penggalangan dana. Di sisi lain, lemahnya solidaritas dan mobilisasi di antara perempuan juga memperburuk posisi mereka dalam memperjuangkan hak politiknya. Akibat dari berbagai hambatan tersebut, perempuan jarang ditempatkan dalam posisi strategis atau pengambilan keputusan di dalam partai politik, dan masih dipandang sebagai pelengkap, bukan sebagai aktor utama dalam dinamika organisasi partai.
Perempuan dalam Politik: Perspektif Teoritis
Akademisi ilmu politik, Hanna Pitkin, dalam bukunya yang berjudul The Concept of Representation (1967), mendefinisikan konsep representasi sebagai keadaan di mana seseorang bertindak mewakili orang lain. Menurutnya, representasi merupakan aktivitas di mana seseorang atau kelompok bertindak atas nama pihak lain, dengan mempertimbangkan kepentingan dan aspirasi dari pihak yang diwakili. Pitkin menekankan pentingnya konteks dalam pemahaman representasi, serta bagaimana berbagai teori dan pandangan dapat memberikan wawasan yang berbeda tentang makna dan praktik representasi dalam kehidupan politik. Dengan demikian, representasi menjadi sebuah jembatan antara individu dan institusi, yang mencerminkan interaksi antara kekuasaan, identitas, dan partisipasi dalam masyarakat.
Menurut Pitkin, representasi yang substansif adalah representasi yang nyata, oleh karenanya ukuran keberhasilan representasi bukan pada apakah pemimpin itu dipilih, melainkan seberapa baik dia bertindak untuk mencapai tujuan dari kelompok yang diwakili olehnya. Dalam tipologi representasi substansif ini, Pitkin berpandangan bahwa seorang wakil harus bertindak sesuai dengan keinginan, kebutuhan, atau kepentingan orang yang diwakili olehnya dan bahwa dia harus menempatkan dirinya di posisi mereka, membela mereka, dan bertindak seperti yang akan mereka lakukan.
Kajian mengenai representasi politik kemudian semakin berkembang seiring berjalannya waktu. Sebagaimana diungkapkan oleh Anne Phillips, di dalam bukunya yang berjudul The Politics of Presence (1995), bahwa demokrasi perwakilan yang berkembang saat ini mengubah fokus dari “siapa” politisi itu menjadi “apa” yang mereka wakili, sehingga indikator akuntabilitas menjadi indikator utama para pemilih. Meskipun demikian, argumen mengenai akuntabilitas tidak cukup menangani masalah ekslusi politik (political exclusion) yang dirasakan oleh kelompok-kelompok berdasarkan gender, etnisitas, atau ras. Tuntutan demokrasi berkembang hingga pada tuntutan “kehadiran politik (politics of presence),” yakni di antaranya mengenai kesetaraan representasi antara perempuan dan laki-laki; keseimbangan yang adil antara kelompok etnis dalam masyarakat; sampai inklusi politik bagi kelompok yang merasa terpinggirkan, dibungkam, atau dikecualikan.
Representasi dan Dinamika Peran Perempuan di Partai Politik
Keterlibatan perempuan dalam dunia politik dewasa ini tidak lagi dianggap sebagai hal yang tabu, melainkan telah menjadi representasi penting dalam upaya untuk memperjuangkan hak-hak politik perempuan. Kehadiran perempuan dalam partai politik mencerminkan bentuk konkret dari perjuangan atas kesetaraan gender, sekaligus membuka ruang bagi perempuan untuk berkontribusi dan mengembangkan kapasitas diri maupun organisasi politik tempat mereka bernaung. Representasi ini menjadi indikator bahwa perempuan memiliki hak dan peluang yang setara dengan laki-laki di dalam ranah politik dan organisasi kepartaian. Meski masih terdapat berbagai tantangan dalam mengimplementasikannya, keterlibatan perempuan dalam politik praktis tetap menjadi hal yang esensial. Kehadiran perempuan dalam ruang-ruang pengambilan keputusan tidak hanya memungkinkan artikulasi kepentingan gender secara lebih adil melalui partai politik, tetapi juga memperkuat representasi perempuan dalam lembaga-lembaga perwakilan seperti parlemen.
Meski angka keterwakilan perempuan di dalam kepengurusan beberapa partai politik sudah mencapai angka minimum 30% sebagaimana dimandatkan kebijakan afirmatif, capaian formal tersebut belum sepenuhnya mencerminkan keterwakilan secara substansif, mengingat sebagian besar kader perempuan yang tergabung dalam struktur hanya menempati posisi sebagai anggota tanpa peran strategis dalam proses pengambilan keputusan. Dengan kata lain, kehadiran perempuan dalam struktur kepengurusan partai belum sepenuhnya diiringi dengan peningkatan pengaruh dan partisipasi aktif dalam ranah substantif organisasi.
Peningkatan representasi substansif ini masih menghadapi berbagai kendala, salah satunya adalah pengaruh budaya patriarki yang masih kuat, terutama dalam ranah politik. Budaya ini menempatkan laki-laki sebagai pihak yang lebih dominan, sehingga kerap menimbulkan keraguan atau keengganan di kalangan perempuan untuk terlibat secara aktif dalam politik. Meskipun secara struktur formal, sudah menunjukkan upaya dalam memberdayakan kaum perempuan, secara kultural masih terdapat stereotipe yang membedakan peran dan kapasitas perempuan, yang pada akhirnya menghambat partisipasi mereka secara optimal dalam politik. Budaya patriarki yang masih mengakar dalam struktur sosial masyarakat juga terbukti menjadi hambatan utama dalam upaya memperkuat peran perempuan dalam politik. Meskipun secara kelembagaan partai telah membuka ruang partisipasi, dukungan dari lingkungan sosial serta perubahan perspektif kultural masih menjadi prasyarat penting agar representasi perempuan tidak hanya berhenti di atas kertas.