Bagaimana Indonesia Dapat Menghindari Risiko Persaingan Geopolitik AS-Tiongkok

Indonesia belum secara resmi menyetujui pembelian jet tempur Chengdu J-10C dari Tiongkok sebanyak 42 unit. Namun, langkah itu menjelaskan bahwa Indonesia sudah  memulai langkah diversifikasi pemasok alutsista Indonesia yang selama ini didominasi oleh Amerika Serikat (AS), Eropa, dan sekutunya. Hal ini menimbulkan risiko geopolitik di tengah persaingan AS-China, khususnya peningkatan pengaruh geopolitik Tiongkok di Asia Tenggara.

Rencana pembelian jet tempur itu didukung anggaran sekitar USD 9 miliar (sekitar Rp 148 triliun) ini juga dibarengi dengan pembelian pesawat tempur siluman KAAN dari Turki dan pesawat angkut Airbus A400M dari Spanyol yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan operasi udara Indonesia.

Modernisasi alutsista ini berisiko menimbulkan pertanyaan strategis dan membahayakan masa depan hubungan Indonesia-AS. Lebih buruk lagi, hal ini dapat memicu sanksi AS, mengingat negara itu memiliki Undang-Undang pemberian sanksi diatur dalam Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) terhadap Indonesia karena membeli alutsista dari negara pesaing AS.

Turki adalah salah satu negara yang dikenai sanksi CAATSA karena membeli sistem rudal S-400 dari Rusia, sementara Indonesia juga membeli peralatan militer dari Tiongkok, pesaing utama AS dalam kepentingan strategis dan persaingan global di Asia Tenggara. Tindakan Indonesia dapat menimbulkan risiko geopolitik yang merugikan, seperti sanksi atau bahkan pemutusan hubungan militer.

Modernisasi alutsista Indonesia bertujuan memperkuat armada tempur dan angkut strategis dengan mengakuisisi pesawat canggih dari berbagai negara untuk memenuhi kebutuhan Minimum Essential Force (MEF) Indonesia. Pembelian jet tempur itu merupakan upaya diversifikasi pemasok alutsista dan penguatan pertahanan udara nasional. Kebijakan diversifikasi sumber akuisisi ini bertujuan menghindari ketergantungan pada satu pemasok saja, seperti Amerika Serikat (AS) atau Eropa.

Pengalaman sebelumnya, seperti pembatalan rencana pembelian jet tempur Su-35 dari Rusia akibat potensi sanksi AS berdasarkan undang-undang CAATSA, memperkuat keinginan Indonesia untuk independen dari blok negara mana pun. Indonesia secara aktif mendiversifikasi pengadaan pertahanan untuk memperkuat kemandirian pertahanan dan menghindari tekanan geopolitik.

Diversifikasi menciptakan peluang pengembangan industri pertahanan dalam negeri yang mandiri. Melalui kolaborasi dan transfer teknologi dari berbagai negara mitra, industri lokal (seperti PTDI, PT PAL dan PT Pindad) dapat meningkatkan kapasitas produksi dan mengurangi ketergantungan jangka panjang pada impor. Menghindari ketergantungan pada satu blok menawarkan keuntungan strategis. Indonesia dapat terhindar dari kerentanan embargo atau sanksi politik yang dijatuhkan oleh satu negara pemasok. Indonesia pernah mengalami kejadian di masa lalu di mana alutsista tidak dapat beroperasi karena kekurangan suku cadang akibat embargo.

Diversifikasi ini mencerminkan pergeseran strategis yang tidak lagi bergantung sepenuhnya pada satu blok, tetapi juga dapat menyiratkan bahwa Indonesia semakin dekat dengan lingkup pengaruh geopolitik Tiongkok. Persaingan AS-Tiongkok di Asia Tenggara, melalui militer, merupakan bagian dari persaingan kedua negara yang lebih luas di Asia Tenggara. AS berupaya menstabilkan kawasan dan menyeimbangkan kekuatan Tiongkok, memastikan bahwa Tiongkok tidak dapat mencapai hegemoni regional.

AS fokus pada kemitraan keamanan, perdagangan, dan melawan ekspansi militer Tiongkok. Kedua negara mempengaruhi negara-negara di kawasan untuk menyelaraskan diri dengan tujuan strategis masing-masing, berdampak pada dinamika geopolitik kawasan.

Pembelian senjata Turki dari Rusia yang berujung pada sanksi, dan langkah Indonesia membeli jet tempur Tiongkok, telah membuka ruang bagi AS untuk menjatuhkan sanksi, mengingat tingginya tingkat persaingan AS-Tiongkok di kawasan tersebut, yang menimbulkan risiko signifikan bagi hubungan Indonesia-AS di masa mendatang.

Jika Indonesia jadi membeli pesawat jet tempur tersebut, maka Indonesia perlu memitigasi resiko itu, Indonesia harus mengintegrasikan kerja sama dan persaingan untuk mengelola ketidakpastian dan risiko (strategi hedging), sebagai perwujudan kebijakan Bebas-Aktif dalam diversifikasi pembelian alutsista. Menyeimbangkan ketergantungan dan membangun hubungan yang inklusif memberikan peluang bagi Indonesia untuk menjalin kemitraan dengan AS dan Tiongkok secara bersamaan.

Secara nasional, kebijakan Bebas Aktif diterapkan untuk menjaga kedaulatan, meminimalkan risiko konflik, dan memaksimalkan kerja sama tanpa bias. Mendorong kerja sama dalam persaingan AS-Tiongkok, memberikan Indonesia ruang kerjasama untuk bermanuver tanpa tekanan dari AS dan Tiongkok.

Di tingkat regional, Indonesia harus mempromosikan sentralitas ASEAN sebagai platform dialog dan kerja sama regional, sekaligus mengelola persaingan AS-Tiongkok di kawasan. Melalui forum-forum seperti ASEAN, kemitraan ekonomi dan keamanan strategis bertujuan untuk meningkatkan stabilitas regional.

Kebijakan Bebas dan Aktif harus diimplementasikan secara fleksibel sesuai kebutuhan untuk menghindari penguatan komitmen penuh terhadap satu blok, menekankan keterlibatan diplomatik Indonesia tanpa konfrontasi, dan bersikap pragmatis untuk menghindari manuver geopolitik yang merugikan. Dengan mengedepankan keseimbangan dan kerja sama tanpa terfokus hanya pada satu blok, pengelolaan risiko dan ketidakpastian dapat melindungi Indonesia dari risiko persaingan geopolitik AS-Tiongkok serta memastikan stabilitas dan manfaat bagi semua pihak.

en_USEnglish