Darurat SDM Kesehatan dan Tantangan Pemerataan Layanan di 3T

Pemerataan layanan kesehatan bermutu adalah mandat konstitusi. Namun, penyelenggaraan Rumah Sakit Pratama, terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), masih menghadapi banyak kendala. Meski infrastruktur dibangun secara masif, banyak RS Pratama belum dapat beroperasi optimal, bahkan sebagian belum berfungsi sama sekali.

Temuan Ombudsman RI dan Kementerian Kesehatan (2025) menunjukkan adanya kesenjangan besar antara target kebijakan dan kondisi di lapangan, terutama terkait pemenuhan SDM dan kesiapan akreditasi. Gambaran masalah ini juga tercermin pada 66 RSUD yang menjadi sasaran Program Hasil Terbaik Cepat (Quick Win) Presiden Prabowo untuk peningkatan kapasitas dan kualitas layanan. Sebanyak 73 persen belum memiliki tujuh dokter spesialis dasar, dengan total kekurangan 171 dokter spesialis. Kekurangan juga terjadi pada dokter umum yang seharusnya menjadi ujung tombak layanan. Minimnya insentif dan rendahnya daya tarik penugasan dokter di daerah 3T membuat banyak fasilitas, termasuk RS Pratama, beroperasi sangat terbatas sehingga tidak mampu buka 24 jam atau hanya melayani rawat jalan.

Secara regulatif, akreditasi sebenarnya memberi ruang bagi rumah sakit baru. Permenkes 30/2019 yang diperkuat Kepmenkes 1094/2024 menyatakan akreditasi harus diajukan paling lama dua tahun setelah izin operasional, dan RS Pratama dapat mengikuti akreditasi kapan saja setelah memenuhi persyaratan dasar. Namun, di wilayah 3T ketentuan ini sulit dipercepat karena hambatan berlapis, mulai dari kekurangan tenaga kesehatan, keterbatasan alat medis, hingga belum terpenuhinya sarana pelayanan dasar. Akibatnya, banyak RS Pratama belum siap mengikuti akreditasi segera setelah mulai beroperasi.

Keterlambatan akreditasi berdampak langsung pada kemampuan RS Pratama menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan karena status akreditasi kerap menjadi syarat administratif. Dampaknya, rumah sakit yang sudah dibangun dan mulai beroperasi di daerah terpencil berjalan dengan pendanaan terbatas dan sulit mengembangkan layanan. Situasi ini memperlebar kesenjangan antara pembangunan fisik rumah sakit dan kemampuan menghadirkan layanan dasar yang aman serta terstandar.

Selain SDM dan akreditasi, pengawasan pemerintah daerah perlu diperkuat. Temuan Ombudsman menunjukkan banyak RS Pratama tidak memperoleh pendampingan dan supervisi yang memadai, sehingga identifikasi masalah dan perbaikan layanan berjalan lambat. Padahal, di wilayah 3T keberhasilan RS Pratama sangat bergantung pada dukungan aktif pemerintah daerah dan dinas kesehatan.

Untuk mempercepat kesiapan akreditasi, pemerintah daerah perlu rutin melakukan sidak dan monitoring terhadap layanan, pemenuhan SDM, ketersediaan alat kesehatan, serta pelaksanaan SOP. Sidak pra akreditasi membantu menilai kesiapan nyata rumah sakit sekaligus menutup celah kepatuhan. Pengawasan harus berlanjut pasca akreditasi agar standar benar benar diterapkan dalam praktik sehari hari. Dengan pengawasan berkelanjutan, mutu layanan lebih terjaga, sistem rujukan berjalan lebih efektif, dan hambatan operasional terdeteksi lebih cepat sehingga masyarakat 3T memperoleh layanan yang aman dan layak.

Dalam konteks tantangan ini, penting meninjau kembali kerangka regulasi yang mengatur penyelenggaraan RS Pratama, meliputi penempatan SDM, mekanisme penugasan di 3T, serta tata cara akreditasi dan perizinan. Regulasi sebenarnya menyediakan dasar normatif untuk pemerataan tenaga kesehatan dan peningkatan mutu, tetapi implementasinya masih jauh dari optimal.

UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 menjadi dasar utama. Pasal 202 dan 228 menegaskan kewajiban pemerintah pusat dan daerah memenuhi kebutuhan tenaga medis dan tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pasal 231 sampai 237 mengatur mekanisme penempatan tenaga kesehatan, seperti pengangkatan ASN, penugasan khusus, pemanfaatan lulusan pendidikan, perpindahan antar daerah, hingga pemberian insentif bagi penugasan di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (DTPK). Meski kerangka ini cukup lengkap, kenyataannya banyak RS Pratama tetap mengalami kekurangan SDM.

Kebijakan tersebut diperjelas melalui Perpres RI Nomor 81 Tahun 2025 tentang tunjangan khusus bagi dokter spesialis, dokter subspesialis, dokter gigi, dan dokter gigi subspesialis yang ditugaskan di DTPK. Peraturan ini dirancang untuk mengatasi ketimpangan kebutuhan tenaga medis spesialis dan meningkatkan daya tarik penempatan di DTPK.

Pada aspek mutu, ketentuan untuk RS Pratama juga diperkuat melalui Kepmenkes HK.01.07/MENKES/1094/2024 yang menyederhanakan standar akreditasi agar lebih mudah diterapkan. Permenkes 11 Tahun 2025 mengatur persyaratan minimal terkait sarana prasarana, struktur organisasi, SDM, layanan, dan dokumen administratif. Namun, pedoman yang jelas ini tetap menghadapi keterbatasan implementasi di wilayah 3T.

Secara keseluruhan, pembangunan RS Pratama menunjukkan komitmen negara memperluas layanan kesehatan hingga wilayah terpencil. Namun, temuan lapangan menegaskan bahwa bangunan saja tidak cukup. Kekurangan tenaga kesehatan, lambatnya proses akreditasi, minimnya pendampingan pemerintah daerah, dan dukungan operasional yang terbatas membuat banyak RS Pratama belum mampu memberikan layanan yang aman dan bermutu. Masalah utama bukan pada ketiadaan regulasi, melainkan implementasi yang belum konsisten dan lemahnya tata kelola di tingkat daerah.

Ke depan, pemerintah perlu mengalihkan fokus dari pembangunan fisik menuju penguatan ekosistem operasional RS Pratama. Pemenuhan SDM di wilayah 3T harus dijamin melalui skema penugasan dan insentif yang benar benar efektif, termasuk kepastian tunjangan dan jalur karier yang menarik. Proses akreditasi perlu dibuat lebih fleksibel dan bertahap, disertai pendampingan langsung dari Kementerian Kesehatan agar RS Pratama dapat memenuhi standar tanpa menghambat kerja sama dengan BPJS. Pada saat yang sama, pemerintah daerah harus memperkuat sidak dan monitoring sebelum maupun sesudah akreditasi untuk memastikan layanan berjalan sesuai standar dan masalah cepat diatasi. Dengan pengawasan yang kuat, pendanaan yang jelas, dan koordinasi pusat daerah yang solid, RS Pratama dapat berfungsi sebagai garda terdepan layanan kesehatan di wilayah 3T sebagai wujud kehadiran negara dalam memenuhi kebutuhan dasar warganya.

Penulis

  1. Muhammad Haidar Allam, Peneliti Populi Center
  2.  Adhisti Dara Narda, Internship Populi Center

en_USEnglish