Banjir Sumatera: Kegagalan Negara Dalam Memahami Keamanan Manusia Dan Lingkungan?

Pemberian izin penebangan hutan untuk konsesi industri kayu di Indonesia, yang diatur dalam kerangka perizinan berusaha pemanfaatan hutan, memberikan dampak positif terutama dari sisi ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam yang legal dan terkelola.

Di Indonesia,  industri perkayuan berkontribusi signifikan sebagai salah satu penyumbang devisa negara melalui ekspor produk kayu olahan, seperti pulp, kertas, dan mebel. Namun, faktanya, penggundulan hutan dan izin penebangan hutan di Indonesia sudah berlangsung sejak lama, meningkat pesat pada era Orde Baru sekitar tahun 1970an seiring pemberian konsesi besar-besaran untuk industri kayu, dan terus berlanjut dengan penyebab baru seperti perkebunan kelapa sawit (sejak 2000-an) serta penebangan ilegal.

Akibatnya, akhir November 2025, musibah ekologis yang menghantam Sumatera menjadi musibah berskala besar bagi kehidupan masyarakat, khususnya di Sumatera, yang mencerminkan relasi manusia dengan alam yang rusak akibat eksploitasi. Musibah berupa banjir bandang dan tanah longsor yang menghantam dan merusak tiga provinsi di Sumatera, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat berdampak ratusan korban meninggal dan kerusakan material yang besar.

Secara nasional, izin konsesi, khususnya dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI), bertujuan untuk memastikan pasokan bahan baku kayu yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan industri hasil hutan dalam negeri. Bahkan, operasional konsesi dan industri pengolahan kayu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat lokal dan tenaga kerja terampil di berbagai daerah, terutama di sekitar area hutan produksi.

Sistem perizinan pemanfaatan hutan saat ini mendorong penerapan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari. Hal ini mencakup penanaman kembali (reboisasi), pemeliharaan, dan penjarangan pohon secara selektif untuk memastikan keberlanjutan produksi di masa mendatang. Faktanya, penebangan hutan ilegal (pembalakan liar) di Indonesia merupakan masalah serius dengan dampak ekologis, ekonomi, dan sosial yang besar. Meskipun angka deforestasi cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas ilegal masih menjadi ancaman signifikan. 

Kerusakan hutan di Indonesia akibat pembalakan liar mencapai lebih dari 2 juta hektar per tahun. Kerugian finansial akibat penebangan liar dan kerusakan ekologis terkait diperkirakan mencapai ratusan triliun rupiah. Di sisi lain, sejak tahun 1990an, laju deforestasi sangat tinggi, mencapai sekitar 3,5 juta hektar per tahun (periode 1996-2000), didorong oleh eksploitasi HPH dan kebakaran hutan. Pada tahun 2000an, industri kelapa sawit menjadi pendorong deforestasi terbesar, menyebabkan hilangnya hutan lebih dari 40% dalam setengah abad terakhir, di samping penebangan ilegal. Pasca demokratisasi, lahan kosong akibat penebangan semakin meluas, namun ada upaya penegakan hukum dan regulasi baru, meskipun masalah tetap ada.

Saat ini, laju deforestasi menurun signifikan, namun isu perizinan dan penebangan ilegal masih terjadi, dengan penegakan hukum terus dilakukan. Tidak adanya pengelolaan sumber daya, terutama konsesi industri kayu dan meluasnya penebangan kayu di hutan secara ilegal justru semakin berkembang di Indonesia.

Secara internasional, perluasan konsep keamanan yang mencakup sektor non-militer, seperti lingkungan, mulai muncul pada akhir Perang Dingin (sekitar akhir 1980an dan awal 1990an. Publikasi laporan Our Common Future (Laporan Brundtland) oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan PBB sering dianggap sebagai titik awal konsep keamanan lingkungan.

Gagasan “keamanan manusia” (human security) muncul dan dipopulerkan oleh UNDP Human Development Report tahun 1994 memperluas definisi keamanan dari hanya berfokus pada perlindungan negara dari ancaman militer menjadi perlindungan individu dari berbagai ancaman kronis, termasuk masalah lingkungan. Hal ini penting untuk dijadikan pembahasan sekaligus rujukan, terutama bagi negara-negara seperti Indonesia yang memiliki banyak hutan dan tindakan-tindakan pengrusakan lingkungan yang dapat berakibat fatal. Jika tidak ditangani, maka deforestasi dan pengrusakan lingkungan akan menjadi bisnis yang menggiurkan bagi para perusahaan, meski merugikan dan berdampak besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia.

Indonesia telah melakukan pencegahan deforestasi melalui upaya nasional seperti moratorium izin baru (sawit, hutan primer), penegakan hukum ketat, reboisasi/restorasi gambut, sistem tata kelola berkelanjutan (tebang pilih/tanam), serta komitmen internasional lewat REDD+ dan target iklim (FOLU Net Sink 2030), dengan melibatkan kerja sama pemerintah, swasta (perusahaan), dan masyarakat untuk mencapai pengelolaan hutan lestari untuk mengatasi perubahan iklim global dan menjaga keanekaragaman hayati.

Di level internasional, Indonesia sebetulnya secara aktif berpartisipasi dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP) dan forum PBB lainnya, di mana negara ini mempresentasikan keberhasilan penurunan laju deforestasi secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, dalam Deklarasi Pemimpin Glasgow tentang Hutan dan Penggunaan Lahan, Indonesia, bersama dengan lebih dari 100 negara lainnya, telah menandatangani deklarasi ini, yang bertujuan untuk menghentikan dan membalikkan deforestasi serta degradasi lahan pada tahun 2030.

Kemitraan yang dibangun Indonesia juga menghasilkan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Indonesia adalah pelopor dalam mengimplementasikan skema REDD+ yang didukung oleh berbagai organisasi dan negara internasional. Program ini bertujuan untuk memberikan insentif finansial berbasis hasil atas upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Pemerintah Indonesia juga mendorong dan berkolaborasi dengan inisiatif sektor swasta global (misalnya, melalui kebijakan No Deforestation, No Peat, No Exploitation/NDPE) untuk memastikan rantai pasokan yang bebas deforestasi, terutama di sektor kelapa sawit.

Di level nasional, Indonesia berupaya mencegah pembalakan liar meliputi penegakan hukum tegas dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan, yang mengatur sanksi pidana dan perdata bagi pelaku. Prakteknya, Indonesia juga melakukan peningkatan patroli dan pengawasan lapangan oleh Polisi Kehutanan, sosialisasi bahaya illegal logging, penerapan sistem tebang pilih dan tebang-tanam, reboisasi, serta koordinasi lintas instansi dan peran aktif masyarakat. Pemerintah juga membentuk lembaga khusus untuk pencegahan dan pemberantasan kejahatan kehutanan.

Namun, pemerintah Indonesia belum secara serius menangani persoalan keamanan lingkungan. Pemerintah justru belum memandang hutan sebagai bagian dari sektor keamanan lingkungan. Seharusnya, kebijakan dalam melindungi hutan harus diserta dengan hubungan antara aktivitas manusia dan biosfer planet yang menopang kehidupan manusia. Diperlukan kebijakan yang mendorong terciptanya keamanan lingkungan sebagai sistem ekologis dan kebutuhan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.

Dengan izin penebangan hutan untuk konsesi industri kayu di Indonesia, meningkanya penebangan liar, industri kelapa sawit yang terus meningkat, maka kerusakan dan deforestasi hutan semakin meningkat. Saat ini, Kementerian Perhutanan telah melakukan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Ini adalah upaya langsung reboisasi (penanaman kembali di dalam kawasan hutan) dan penghijauan (penanaman di luar kawasan hutan). Selama periode 2015-2024, Indonesia telah merehabilitasi lebih dari 2 juta hektar hutan dan lahan. Pada tahun 2024 saja, RHL dilaksanakan seluas 217,9 ribu hektar.

Faktanya, berbagai kebijakan tersebut tidak menyelesaikan persoalan penggundulan hutan, sehingga Banjir Sumatera tetap terjadi. Saatnya Indonesia harus berkaca bahwa kebijakan negara saat ini belum menjadi solusi keamanan lingkungan yang harus menjamin fungsi hutan sebagai penopang kehidupan, bukan wilayah eksploitasi dan berpotensi bencana.

Diperlukan kebijakan keamanan lingkungan yang berorientasi pada struktur keamanan manusia dan lingkungan yang berorientasi pada prioritas tindakan pencegahan. Jika Indonesia gagal dalam memahami keamanan manusia dna lingkungan maka bencana banjir seperti di  Sumatera akan terus berulang dan kita tidak akan ada untuk memperbaiki kegagalan negara dalam menjaga ekosistem dan hubungan manusia dengan alam, serta pembiaran ancaman ekistensial dari kerusakan alam.

Memahami bencana alam merupakan bentuk pemahaman terhadap keamanan manusia dan lingkungan mengingat eksploitasi lingkungan melampaui daya dukung ekosistem yang lebih kecil, akan mengganggu basis ekonomi dan tatanan sosial, dan menimbulkan korban jiwa. Tidak cukup bagi Indonesia untuk hadir dalam forum internasional, mencitrakan diri sebagai negara yang memiliki komitmen kuat, namun secara nasional, gagal dalam memahami pentingnya keamanan manusia dan lingkungan untuk keberlangsungan hidup bangsa, negara dan masyarakat Indonesia itu sendiri.

en_USEnglish