Pekerja rumah tangga (PRT) merupakan salah satu jenis pekerjaan yang banyak dijalankan oleh masyarakat, termasuk di Indonesia. Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) bahkan memproyeksikan peningkatan jumlah PRT seiring waktu. Namun hingga saat ini, negara belum mengakui pekerjaan rumah tangga sebagai jenis pekerjaan yang layak memperoleh perlindungan dan jaminan sosial. Kondisi ini tercermin dari berbagai pemberitaan mengenai kasus yang menimpa para PRT, khususnya perempuan, yang masih rentan mengalami kekerasan fisik, verbal, hingga kekerasan seksual akibat belum adanya regulasi yang memberikan jaminan dan perlindungan memadai.
Data ILO (2021) menunjukkan bahwa secara global terdapat 75,6 juta pekerja rumah tangga (domestic workers), dimana kawasan Asia dan Pasifik menyumbang 50,6 persen pekerja rumah tangga dunia. Di Indonesia, ILO Jakarta (2018) memperkirakan sekitar 4,2 juta orang bekerja sebagai PRT.
Kontribusi PRT terhadap perekonomian tampak secara langsung maupun tidak langsung. Di ranah migrasi, pekerja migran Indonesia menyumbang devisa Rp253,3 triliun pada 2024, dan 51,2 persen penempatannya bekerja sebagai PRT (Kompas 2025). Sementara di dalam negeri, kerja domestik PRT merupakan layanan esensial yang memungkinkan pekerja sektor publik menjalankan aktivitas produktif secara optimal, sehingga menopang keberlangsungan ekonomi secara tidak langsung (Naben 2023). Namun sebagian besar pekerja rumah tangga diperkirakan tidak memperoleh perlindungan jaminan sosial. Tingkat perlindungannya masih jauh lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor lain. Ketiadaan perlindungan tersebut, ditambah dengan upah yang minim, keamanan kerja yang tidak pasti, serta kondisi kerja yang buruk, menimbulkan konsekuensi serius bagi pekerja rumah tangga, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Situasi ini membuat banyak PRT tidak mendapat perlindungan sosial ketika menghadapi risiko seperti kehamilan, kecelakaan kerja, pengangguran, atau memasuki usia tua, yang membuat PRT beserta keluarganya menjadi rentan.
Di Indonesia, belum ada regulasi spesifik mengenai PRT sehingga menempatkan PRT di area abu-abu. Regulasi mengenai ketenagakerjaan yang ada mengkategorisasikan PRT secara berbeda dan beragam. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PRT sebenarnya dapat dikategorikan sebagai pekerja/buruh. Namun, ketentuan tersebut belum mampu memberikan kepastian hukum maupun perlindungan yang memadai bagi PRT. Hal ini disebabkan oleh posisi PRT sebagai bagian dari sektor kerja informal, sehingga UU Ketenagakerjaan tidak dapat sepenuhnya dijadikan dasar perlindungan bagi mereka (Pranoto 2022). Hingga saat ini, satu-satunya aturan yang secara khusus mengatur PRT adalah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Namun, kekuatan regulasi ini relatif lemah dibandingkan undang-undang dan belum menjadi UU khusus PRT. Akibatnya, pemenuhan hak-hak dasar PRT kerap bergantung pada kesepakatan antara PRT dan pemberi kerja. Dalam praktiknya, posisi tawar PRT yang lemah membuat kesepakatan, yang sering bersifat lisan, tidak selalu seimbang dan cenderung merugikan PRT. Regulasi ini juga lebih banyak mengatur tata kelola lembaga penyalur PRT daripada menjamin hak-hak PRT itu sendiri (Prasetyo dan Azizah 2024).
Oleh karena itu, negara perlu secara tegas menjamin pemenuhan hak-hak PRT melalui pemberian perlindungan hukum bagi seluruh tenaga kerja tanpa memandang bentuk pekerjaan yang dilakukan. Pelayanan negara melalui program jaminan sosial menjadi bentuk perlindungan dasar yang penting untuk memberikan rasa aman dan kepastian bagi PRT dalam menghadapi berbagai risiko sosial dan ekonomi, sekaligus mengakui kontribusi mereka terhadap kehidupan masyarakat secara luas (Irfan 2024; Dhewy 2017).
Sejatinya, dorongan agar PRT diatur melalui undang-undang sudah diinisiasi oleh Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dengan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sejak 2004. RUU tersebut dirancang untuk menempatkan PRT sebagai pekerja yang memiliki hak setara dengan pekerja di sektor lain, mencakup hak atas cuti, upah layak, pengaturan hubungan kerja yang jelas, hingga perlindungan melalui skema jaminan sosial. Kehadiran RUU ini diharapkan menjadi dasar hukum yang komprehensif untuk memastikan standar perlindungan kerja bagi PRT yang selama ini belum diatur secara memadai. Namun setelah dua dekade berlalu, pembahasan RUU PPRT masih belum menunjukkan kemajuan berarti. Ketidakpastian ini membuat jutaan PRT terus bekerja tanpa kerangka hukum yang dapat menjamin keamanan, kepastian, dan perlindungan atas hak-hak dasar mereka.
Di tengah ketidakpastian legislasi tersebut, diperlukan langkah alternatif agar PRT tetap memperoleh perlindungan dasar sebagai tenaga kerja. Tanpa mekanisme yang jelas, PRT rentan terhadap eksploitasi dan tidak memiliki akses pada jaminan sosial yang semestinya menjadi hak setiap pekerja. Karena itu, intervensi kebijakan sementara penting untuk mengisi kekosongan regulasi melalui optimalisasi skema jaminan sosial yang sudah tersedia, penguatan peran lembaga terkait, atau tata kelola baru yang menjamin perlindungan minimum sambil menunggu pengesahan RUU PPRT.
BPJS Ketenagakerjaan sesungguhnya memiliki posisi strategis untuk menawarkan alternatif solusi dalam merespons kekosongan perlindungan hukum tersebut. Sebagai badan penyelenggara jaminan sosial, BPJS memiliki pengalaman administratif, kapasitas sistem, serta instrumen perlindungan yang dapat dioptimalkan untuk menjangkau kelompok pekerja rentan, termasuk PRT, melalui skema yang telah tersedia. Kehadiran BPJS membuka peluang perluasan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi PRT sembari menunggu disahkannya regulasi khusus yang mengatur hubungan kerja dan kewajiban pemberi kerja secara lebih tegas.
Namun, tanpa dasar hukum yang secara eksplisit menetapkan kewajiban pemberi kerja rumah tangga dan mengatur hubungan kerja PRT, ruang gerak BPJS tetap terbatas. BPJS tidak memiliki kewenangan penegakan kepatuhan ataupun instrumen pengawasan untuk memastikan bahwa PRT didaftarkan sebagai peserta program jaminan sosial. Dalam kerangka regulasi yang berlaku saat ini, PRT hanya dapat mengakses perlindungan melalui skema Bukan Penerima Upah (BPU), atau melalui skema Pekerja Migran Indonesia (PMI) bagi mereka yang bekerja di luar negeri. Kedua skema ini bersifat sukarela dan menempatkan beban pendaftaran serta pembayaran iuran sepenuhnya pada PRT, padahal sebagian besar berada dalam posisi sosial-ekonomi yang tidak memungkinkan mereka menanggung iuran secara mandiri.
BPJS Ketenagakerjaan melaporkan bahwa hingga Agustus 2025 terdapat sekitar 301 ribu PRT yang menjadi peserta aktif program BPU. Capaian ini menunjukkan adanya ruang kontribusi BPJS dalam menjangkau pekerja domestik, namun jumlah tersebut masih jauh dibandingkan dengan estimasi PRT nasional yang mencapai 4,2 juta orang. Situasi ini kian menegaskan pentingnya ekosistem regulasi yang lebih mendukung, sehingga BPJS dapat menjalankan mandat perlindungan tenaga kerja secara optimal, memperluas kepesertaan, dan memastikan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi PRT di Indonesia.
BPJS Ketenagakerjaan dapat memperluas perlindungan bagi PRT melalui pengembangan mekanisme yang secara aktif melibatkan pemberi kerja sebagai pihak utama dalam pendaftaran dan pembayaran iuran. First, BPJS dapat mengajukan pembentukan mandatory reporting mechanism bagi rumah tangga pemberi kerja, sehingga setiap pemberi kerja didorong untuk mendaftarkan PRT sebagai peserta JKK, JKM, dan JHT melalui proses yang sederhana dan terstandar. Second, untuk mempermudah kepatuhan, BPJS dapat menawarkan skema iuran sederhana dan terjangkau bagi rumah tangga, lengkap dengan opsi pembayaran otomatis (autodebit) sehingga kepesertaan tidak terputus. Bagi PRT yang direkrut melalui agen penyalur resmi, BPJS dapat bekerja sama dengan penyalur untuk menetapkan mekanisme pra-pendaftaran, sehingga PRT telah tercatat dalam sistem BPJS sejak sebelum ditempatkan dan pemberi kerja hanya perlu mengaktifkan kepesertaan pada hari pertama bekerja.
Third, dengan memanfaatkan data kependudukan dan layanan administrasi tingkat lokal, BPJS dapat mengintegrasikan sistem autodebit dan notifikasi berbasis data rumah tangga, sehingga calon pemberi kerja menerima pengingat otomatis untuk melakukan pendaftaran dan pembayaran iuran. Rangkaian mekanisme ini memberikan landasan operasional yang memadai bagi BPJS untuk mengisi kekosongan regulasi, sekaligus mendorong pemberi kerja menjalankan tanggung jawab perlindungan PRT secara lebih sistematis dan mudah diakses. Ketiadaan perlindungan jaminan sosial bagi PRT bukan semata persoalan administratif, melainkan cerminan dari kegagalan negara dalam menjamin hak dasar jutaan pekerja yang menopang kehidupan domestik sehari-hari. Selama RUU PPRT belum disahkan, PRT akan terus berada dalam situasi kerja yang rentan dan tidak terlindungi dari berbagai risiko sosial ekonomi. Dalam konteks ini, peran BPJS Ketenagakerjaan menjadi krusial sebagai aktor kebijakan yang dapat mengisi kekosongan regulasi melalui mekanisme perlindungan yang lebih inklusif dan mudah diakses. Namun, upaya tersebut tidak boleh berhenti pada solusi sementara. Penguatan peran BPJS harus berjalan beriringan dengan komitmen politik untuk segera mengesahkan RUU PPRT, agar PRT diakui sepenuhnya sebagai pekerja dan memperoleh perlindungan hukum serta jaminan sosial yang adil dan berkelanjutan.