Antara Partisipasi dan Kualitas Pemilih: Implikasi Pemisahan Pemilu Nasional–Daerah

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menjadi momentum penting dalam mengkoreksi ulang bentuk demokrasi elektoral di Indonesia. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) berikutnya, antara pemilu nasional (Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR RI, dan Anggota DPD RI) harus diberi jeda dua sampai dua setengah tahun dengan pemilu daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, Bupati dan Wakil Bupati, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota). Mahkamah Konstitusi setidaknya memberikan empat alasan yang mendasari putusan tersebut.

Pertama, tidak efisiennya kinerja lembaga penyelenggara pemilu—KPU dan Bawaslu—akibat beban kerja yang sangat berat dan tumpang tindih dalam tahun yang sama. Kedua, partai politik hanya diberikan waktu singkat untuk menyiapkan ribuanS kader yang akan berkompetisi pada semua jenjang pemilihan, sehingga menyebabkan partai politik terjebak dalam pragmatisme politik. Ketiga, pelaksanaan pemilu yang berdekatan menyebabkan minimnya waktu bagi rakyat menilai kinerja pemerintahan hasil pemilu serta tenggelamnya masalah pembangunan daerah di tengah isu nasional. Keempat, pemilu lima kotak menyebabkan kejenuhan bagi rakyat/pemilih akibat dari banyaknya calon yang harus dipilih dalam satu waktu. Tidak hanya itu, penghitungan suara yang rumit dan terbatasnya waktu menyebabkan banyak petugas KPPS pada pemilu 2019 dan 2024 menjadi korban, bahkan sampai meninggal dunia.

Langkah MK dalam upaya memisahkan keserentakan pelaksanaan pemilu di tingkat nasional dan daerah seakan memberikan ‘pecutan’ bagi lembaga legislatif untuk segera melakukan pembahasan revisi undang-undang pemilu dan pilkada. Revisi peraturan perundang-undangan ini diperlukan agar tidak timbul celah atau kekosongan hukum pasca-putusan MK tersebut. Selain itu, perlu dilakukan perbaikan sistem pemilu demi pelaksanaan pemilu yang efisien dan berpegang teguh pada prinsip kedaulatan rakyat.

Pengalaman di Negara Lain

Pengalaman negara lain sebagaimana dikaji Fabre (2010) menunjukkan bahwa pilihan untuk memisahkan atau menyatukan jadwal pemilu bukanlah isu teknis semata, melainkan berdampak langsung pada dinamika politik dan kualitas demokrasi. Studi tersebut memberikan gambaran komparatif yang relevan untuk menilai keputusan MK ini. Penelitian ini menemukan bahwa pelaksanaan pemilu nasional dan daerah secara bersamaan dapat berdampak signifikan pada hasil pemilu di tingkat daerah, dan setiap negara memiliki pendekatan berbeda terhadap keserentakan ini. Ada negara yang memiliki tingkat keserentakan vertikal tinggi, sementara yang lain memiliki keserentakan horizontal rendah. Negara dengan keserentakan vertikal tinggi cenderung memiliki sistem partai nasional dan daerah yang lebih simetris.

Penelitian tersebut juga menunjukkan perbedaan signifikan antara pemilu nasional dan daerah/provinsi di Kanada, Jerman, dan Italia. Kanada cenderung menerapkan jadwal pemilu tetap, Jerman menggunakan sistem pemilu campuran, sementara Italia menjalankan proses regionalisasi secara bertahap. Di Italia dan Spanyol, pemilu daerah dipengaruhi oleh faktor nasional, tetapi isu-isu  dan figur pemimpin daerah tetap berperan penting. Pemilu daerah di kedua negara ini juga cenderung diwarnai partisipasi pemilih yang lebih rendah serta penurunan kinerja partai yang sedang berkuasa, sementara partai-partai berhaluan otonomi daerah justru meningkatkan perolehan suara. Di Inggris, pemilu di wilayah otonomi memiliki sistem partai yang lebih mirip dengan sistem partai nasional, namun tetap menonjolkan isu-isu. Selain itu, pemilu daerah di berbagai negara sering kali diselenggarakan pada hari yang sama, meski umumnya karena kebetulan, bukan perencanaan. Hubungan antara pemilu nasional dan daerah bersifat kompleks, dengan keserentakan vertikal yang jarang terjadi. Pemilu daerah kerap menunjukkan ciri-ciri pemilu tingkat kedua (second-order elections), di mana politik nasional, partai nasional, dan isu-isu negara ikut menasionalisasi kontestasi di tingkat daerah.

Selain melihat perbandingan antarnegara sebagaimana dikaji Fabre, penelitian oleh Andersen (2023) tentang pemilu bersamaan (concurrent elections) di Amerika Serikat memberikan dimensi tambahan, khususnya terkait perilaku pemilih terhadap jabatan dengan tingkat kepentingan berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun keserentakan dapat meningkatkan partisipasi pemilih, ia tidak meningkatkan keterlibatan publik di luar aktivitas memilih. Pemilih cenderung memusatkan perhatian pada jabatan berprofil tinggi (high-salience offices) seperti presiden atau senator, sementara perhatian terhadap jabatan berprofil rendah (low-salience offices) seperti anggota DPR melemah. Akibatnya, penilaian terhadap kandidat di jabatan rendah menjadi lebih buruk dan pengetahuan pemilih tentang mereka berkurang.

Ketika jumlah kontestasi di surat suara bertambah, kemampuan pemilih untuk mengingat kandidat DPR menurun signifikan, sementara kandidat Senat relatif tidak terdampak kecuali saat persaingan di kontestasi lain sangat intens. Dalam kondisi ini, pemilih lebih mengandalkan petunjuk sederhana seperti afiliasi partai. Penelitian ini menyimpulkan adanya dilema: partisipasi meningkat, tetapi kualitas informasi dan evaluasi terhadap kandidat di jabatan rendah menurun. Hal ini membuktikan bahwa desain sistem pemilu memengaruhi siapa yang memilih dan siapa yang berpotensi menang.

Masa Depan Sistem Pemilu Indonesia

Pelaksanaan pemilu nasional dan secara terpisah memiliki sejumlah keuntungan yang penting dalam memperkuat kualitas demokrasi. Pemisahan ini memungkinkan pemilih untuk lebih fokus pada isu-isu yang relevan dengan tingkat pemerintahan yang sedang dipilih. Dalam konteks pemilu, isu-isu daerah dapat lebih menonjol dan tidak tertutup oleh dominasi narasi politik nasional. Hal ini mendorong pemilih untuk mengevaluasi kandidat berdasarkan kepentingan, meningkatkan peluang bagi kandidat independen dan partai kecil, serta memperkaya representasi politik. Selain itu, pemilu yang dipisah juga membantu mencegah kelebihan beban informasi bagi pemilih. Ketika terlalu banyak pemilihan digabung dalam satu waktu, seperti pada pemilu serentak, pemilih cenderung kewalahan sehingga kualitas pengambilan keputusan menurun. Dari sisi teknis, pemisahan pemilu juga dianggap lebih manusiawi karena mengurangi tekanan kerja pada penyelenggara, sebagaimana terlihat dari tingginya korban kelelahan dalam pemilu serentak 2019 dan 2024 di Indonesia. Pemilu terpisah memberi ruang waktu yang lebih luas untuk persiapan logistik, distribusi sumber daya, dan pengawasan yang lebih terfokus.

Komisi Pemilihan Umum (KPU), dalam buku Indeks Partisipasi Pemilu 2024, mencatat tingkat partisipasi pemilih pada Pilpres dan Pileg mencapai lebih dari 81%, sementara Pilkada Serentak 2024 hanya sekitar 70%. Perbedaan ini menunjukkan bahwa pemilih lebih antusias pada pemilu nasional ketimbang daerah, terutama karena isu dan figur nasional lebih mendominasi ruang publik. Padahal, pemilu daerah punya dampak langsung terhadap kualitas pelayanan dan tata kelola pemerintahan lokal. Menariknya, jika melihat data sebelumnya, Pemilu Nasional 2019 berhasil mencatat partisipasi 81,9%, sedangkan Pilkada 2020 yang digelar dengan jeda sekitar 1 tahun 7 bulan mencatat rata-rata partisipasi 76,9%. Angka ini memang lebih rendah dari pemilu nasional, tetapi tetap lebih tinggi dibanding Pilkada 2024 yang hanya berjarak sembilan bulan dari Pemilu 2024. Fakta ini menguatkan argumen bahwa jeda waktu yang lebih panjang dapat membantu menjaga minat dan energi politik masyarakat. Putusan MK yang memerintahkan adanya jeda 2–2,5 tahun antara pemilu nasional dan daerah karenanya bisa menjadi momentum penting. Partai politik memiliki waktu lebih matang untuk konsolidasi, proses pencalonan dapat berjalan lebih selektif, dan kampanye bisa lebih substantif. Dengan cara ini, perhatian publik tidak lagi terpusat hanya pada isu nasional, tetapi juga lebih terdistribusi untuk menilai isu-isu lokal yang sama pentingnya.

Dari sisi kebijakan, banyak studi merekomendasikan agar pemisahan antara pemilu nasional dan  dipertimbangkan sebagai opsi yang realistis dan adaptif terhadap tantangan demokrasi elektoral, terutama dalam konteks negara dengan kompleksitas pemilu tinggi seperti Indonesia. Pemisahan ini dinilai dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu, baik dari sisi manajemen teknis, kesehatan penyelenggara, maupun efektivitas partisipasi publik. Untuk itu, beberapa artikel menyarankan agar pemilu  (kepala daerah dan DPRD) dijadwalkan di tengah siklus lima tahunan pemilu nasional, guna mencegah penumpukan agenda pemilu dan mengurangi beban administratif. Sinkronisasi data pemilih, peningkatan kapasitas teknis penyelenggara pemilu, serta digitalisasi proses rekapitulasi suara juga menjadi langkah-langkah strategis yang disarankan demi memastikan pelaksanaan pemilu terpisah tetap efisien dan akuntabel.

Reference

Andersen, David. 2024. “Crowded Out: The Effects of Concurrent Elections on Political Engagement, Candidate Evaluation, and Campaign Learning in the United States.” Representation 60 (2): 325 – 344. https://doi.org/10.1080/00344893.2023.2261450.

Fabre, Elodie. 2010. “Multi-level Election Timing–A Comparative Overview” Regional & Federal Studies 20 (2): 175–199. https://doi.org/10.1080/13597561003729897.

en_USEnglish