Arah militer Indonesia yang menekankan peran Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan pengamanan wilayah maritim Indonesia semakin menguat. Hal ini terlihat dari rencana akuisisi kapal induk Giuseppe Garibaldi dari Italia yang menandakan pergeseran prioritas pertahanan Indonesia untuk mengatasi meningkatnya ancaman non tradisional di wilayah perairan.
Pengakusisian kapal induk Giuseppe Garibaldi, dengan kemampuan STOVL (Short Take-off and Vertical Landing) tersebut menjelaskan fungsi kapal induk tersebut untuk mendukung OMSP, bukan operasi militer untuk perang. Sehingga dapat dipastikan bahwa akuisisi kapal induk tersebut tidak diperuntukkan dalam operasi militer menghadapi ancaman tradisional (ancaman militer negara lain), mengingat pesawat-pesawat tempur modern Indonesia, seperti Sukhoi dan F-16 adalah jenis pesawat konvensional yang memerlukan landasan pacu.
Kehadiran kapal induk tersebut ditujukan untuk memperkuat peran TNI sesuai dengan revisi UU TNI yang mendorong keterlibatan TNI dalam OMSP, terutama di wilayah maritim. Hal ini dibutuhkan mengingat Indonesia dihadapkan pada potensi bencana alam dan kerawanan wilayah-wilayah perairan, seperti Natuna Utara, Laut Sulawesi, Selat Malaka, dan pulau-pulau terluar Indonesia dari ancaman non tradisional. Hal ini disesuaikan dengan kehadiran ancaman non tradisional dan bencana alam yang membutuhkan respon cepat operasi militer.
Secara keseluruhan, memprioritaskan OMSP tentu merupakan peralihan dari isu-isu regional ke keamanan nasional, terutama wilayah-wilayah maritim Indonesia. Sebagai pusat pengendali komunikasi maritim, kapal induk harus dilengkapi dengan kendaraan udara tak berawak (UAV), kendaraan bawah air otonom (AUV), dan Internet Kapal (IoS) untuk meningkatkan komunikasi dan efisiensi operasional.
Jenis-jenis alutsista tersebut merupakan peralatan yang sesuai dengan kebutuhan operasi militer di daerah lepas pantai maupun di wilayah laut dalam, yang saat ini belum tersedia. Jenis-jenis peralatan militer tersebut ditujukan untuk melengkapi kapal induk dalam menjalankan fungsi sebagai komando komunikasi maritim dan OMSP untuk mendukung operasional kapal induk.
Persoalannya, anggaran pertahanan Indonesia yang selalu berada di bawah 1% dari PDB mempersulit terwujudnya langkah tersebut. Rendahnya persentase anggaran pertahanan Indonesia dari PDB dan peran industri pertahanan dalam negeri yang belum optimal berdampak pada pemenuhan, pengadaan dan modernisasi alutsista militer. Sehingga, pengadaan jenis-jenis peralatan untuk melengkapi kapal induk harus dipastikan menjadi langkah berikutnya dalam memenuhi kebutuhan operasional pertahanan.
Ancaman non-tradisional yang terjadi di Indonesia seperti penangkapan ikan ilegal dan kejadian bencana alam berdampak pada kegiatan sosial ekonomi meliputi hilangnya nyawa, cedera manusia, kerusakan harta benda, hilangnya mata pencaharian, terganggunya layanan penting dan kerugian ekonomi nasional yang besar.
Sepanjang tahun 2024, 240 kapal pencuri ikan yang terlibat dalam praktik illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan berhasil diamankan. Akibatnya, kerugian negara mencapai Rp3,7 triliun. Eskalasi kejahatan transnasional menunjukkan tren peningkatan jumlah kasus dan korban, dengan narkoba sebagai jenis kejahatan transnasional paling banyak ditindak, diikuti oleh perdagangan orang dan kejahatan siber. Data Pusat Informasi Kriminal Nasional Bareskrim Polri per Juli 2025 menyebutkan 40.945 kasus kejahatan transnasional pada tahun 2025 (hingga Juli), dengan 16.893 korban. Dari sisi geografis, Indonesia masuk kategori wilayah rawan bencana alam karena posisi geografis Indonesia yang berada di “Cincin Api Pasifik” (sirkum-pasifik), “sabuk Alpide”, dan dilewati empat lempeng tektonik utama.
Dengan persoalan keamanan nasional Indonesia seperti itu, maka langkah OMSP menjadi prioritas pertahanan menghadapi persoalan-persoalan keamanan, terutama di wilayah maritim. Menjaga sumber daya laut, melakukan langkah penangkalan, dan meningkatkan kemampuan dalam mendistribusikan bantuan kemanusiaan menjadi alasan strategis kebijakan pertahanan Indonesia saat ini.
Proses akuisisi kapal induk memang belum selesai, namun arah kebijakan pertahanan yang mendorong peran OMSP sudah didesain. Hal itu disesuaikan dengan kebutuhan keamanan maritim dari ancaman isu-isu non tradisional dan potensi bencana alam yang membutuhkan respon penanganan yang cepat dan tepat.