Pasca debat kandidat pertama, 13 Januari 2017 lalu setidaknya memunculkan 2 (dua) catatan penting. Pertama, substansi pelaksanaan debat itu sendiri yang meyisakan sejumlah catatan dan evaluasi. Meski secara umum perhelatan yang digelar KPUD DKI Jakarta tersebut banyak diapresiasi positif banyak pihak. Kedua, berkaitan dengan bagaimana pengaruh debat kandidat bagi perilaku pemilih?!.
Populi Center mengupasnya dalam program Prespektif Jakarta, melalui diskusi publik pada 26 Januari 2017 di media center KPUD Jakarta, mengusung tema “Debat Kandidat, Perilaku Pemilih dan Elektabilitas”. Diskusi yang banyak dihadiri media tersebut menampilkan 3 (tiga) narasumber; Dahlia Umar (Komisioner KPUD DKI Jakarta), Yayat Supriatna (Pengamat Perkotaan / Panelis Debat pertama) dan Usep S. Ahyar (Direktur Populi Center)
Dahlia Umar pada awal pemaparan menjelaskan meski debat pertama dipandang berjalan baik, namun dirinya mengakui ada beberapa evaluasi termasuk saran dari berbagai kelompok masyarakat diantaranya : Persoalan durasi yang dirasa kurang (90 menit). Pada debat kedua nanti akan ditambah menjadi 120 menit diluar tayangan iklan komersil. Selain itu dalam debat pertama masih banyak persoalan yang dipaparkan kandidat belum tergali secara maksimal. Mensiasati persoalan tersebut Dahlia menambahkan pada debat kedua nanti moderator akan diberi keleluasaan untuk menggali persoalan yang dirasa belum maksimal dijawab kandidat.
Dalam debat kedua nanti secara format hampir sama. Penambhan 2 (dua) Moderator yakni Imam Prasodjo dan Tina Talisa diharapkan dapat berkolaborasi memandu debat lebih baik.
Selanjutnya Yayat Supriatna menjelaskan beberapa catatan penting untuk evaluasi bagi debat kedua nanti. Pertama, dirinya menyayangkan para kandidat mengambil sumber data yang tidak sama sehingga yang muncul kepermukaan seolah yang penting tampil beda dan meyalahkan pihak lain. Menurutnya data tidak hanya soal angka namun juga berbicara strategi bagaimana mencapai target tersebut. Sayangnya tidak semua kandidat memahami ini dengan baik. Saat ditanya siapa kandidat yang paling mengerti persoalan dan strategi pada debat perdana lalu?. Secara diplomatis Yayat menjelaskan seharusnya setiap kandidat memahami dengan baik visi misi dan program kandidat lain. Sehingga yang akan nampak adalah bagaimana dia tidak hanya mengkritik kandidat lain namun lebih substantif meyakinkan publik bahwa programnya lebih baik dari yang lain. Pada akhir penyampaian Yayat mengingatkan bahwa program yang diusung oleh setiap kandidat adalah “hutang” yang akan dipertanggung jawabkan saat dia terpilih. Untuk itu dirinya berharap agar program yang ditawarkan adalah yang realistis. “Harusnya setiap kandidat memiliki visi misi program realistis dan berorientasi pada Struktur yang membangun kultur sehinga menyelesaikan persoalan Jakarta tidak hanya sendirian namun berbasis kesadaran dan partisipasi masyakarakat”. Pungkasnya.
Lantas bagaimana pengaruh debat bagi perilaku pemilih? Usep S. Ahyar menegaskan bahwa pemilih DKI adalah pemilih rasional sehingga dipastikan debat memiliki pengaruh terhadap perilaku pemilih. Setidaknya ini tergambar dalam temuan Populi Center pada survei pasca debat lalu. Pertama, Lebih dari 80% warga DKI Jakarta menyaksikan acara debat. Ini membuktikan antusiasme publik sekaligus sebagai salah satu referensi dalam menentukan pilihan terutama bagi pemilih pemula. terdapat 16% suara swing voters bergerak mengalami perubahan suara pasca debat pertama lalu. Dibandingkan pada temuan survei Desember 2016 lalu dari pergerakan suara pada Survei pasca Debat pertama menyebar pada ketiga kandidat. Ada kandidat yang berkurang dan bertambah suaranya. Berkaitan dengan pelaksanaan debat, Usep mengapresiasi atas kinerja KPUD. Meski demikian dirinya berharap dalam debat kedua nanti akan lebih banyak tergali persoalan yang lebih substansial. “Debat bukan hanya adu program dan argumen, lebih dari itu esensi debat adalah pendidikan politik bagi masyarakat”. Tutupnya.