Menelusuri Integritas Kandidat Gubernur DKI Jakarta

Konstalasi politik DKI Jakarta kian memanas. Adu visi, misi dan program tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur pada masa terakhir kampanye kian gencar dilakukan guna meraih simpati. Pemungutan suara yang hanya dalam hitungan hari menuntut masyarakat jeli dalam menentukan pilihan terlebih pada situasi dimana informasi yang masuk terkait dengan kandidat satu sama lain sulit untuk diyakini kebenarannya. Sebagai pemilih, masyarakat DKI Jakarta berhak untuk mendapatkan informasi yang shahih dan berimbang terhadap track record semua kandidat. Bagaimana integritas mereka terutama pada komitmen pemberantasan korupsi yang dalam beberapa temuan survei Populi Center selalu menempati 5 (lima) besar persoalan utama yang harus ditangani pemerintah DKI Jakarta. Lantas bagaimana publik enyikapinya?

Populi Center mengupasnya dalam program Prespektif Jakarta, melalui diskusi publik pada 7 Februari di media center sekretariat Indonesia Corruption Watch (ICW) Jakarta, mengusung tema “Menelusuri Integritas Kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta”. Diskusi yang banyak dihadiri media tersebut menampilkan 3 (tiga) narasumber; Donal Fariz (Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW), Masykuruddin Hafidz (Koordinator Nasional JPPR) dan Usep S. Ahyar (Direktur Populi Center).

Donal pada awal pemaparannya menyoroti persolan Pilkada DKI Jakarta yang menjadi soroton sekaligus miniatur pertarungan skala nasional. Hal ini menurutnya Pilkada DKI menjadi “pertarungan” tiga kekeuatan besar yakni kutub SBY yang dipresentasikan kandidat nomor satu, Jokowi oleh nomor 2 dan Prabowo oleh nomor 3. Bukan tidak mungkin tiga kutub itu yang nanti akan bertarung dalam Pilpres 2019 mendatang. Selain itu tanpa menafikan daerah lain, sebagai daerah dengan APBD terbesar di Indonesia yang lebih dari 70 Triliun ditambah sebagai pusat perekonomian Indonesia serta akses media yang begitu mudah, memenangkan Jakarta merupakan satu tangga menuju kemengan Pilpres.

Selanjutnya berkaitan dengan integritas kandidat Gubernur, Donal menilai bisa dilihat dari tarck record dalam komitmen transparansi dan pemberantasan korupsi serta persoalan dana kampanye. Kandidat nomor 2 dan 3 dinilainya memiliki pengalaman dalam birokrasi sehingga bisa dilihat bagaimana saat mereka menjabat. Nomor 2 misalnya sebagai incumbent telah membuktikan upaya mewujudkan birokrasi yang transparan akuntabel serta komitmen serius dalam upaya pemberantasan korupsi di DKI Jakarta. Meskipun sempat diterpa berbagai isu seperti Sumberwaras namun itu sduah clear tidak ada masalah dalam prespektif hukum.

Demikian juga dengan Kandidat nomor 3. Menurutnya selama memimpin birokrasi di salah satu Kementerian, menunjukan komitmen pada perubahan meski tidak sampai tuntas. Sedangkan kandidat Gubernur nomor 1 dirinya mangakui kesulitan untuk mengukur integritas karena belum pernah berkecimpung dalam birokrasi. Meski demikian menurutnya hal tersebut bisa diukur dari upaya pengelolaan dan pelaporan dana kampanye yang transparan dan akuntabel. Dalam pengamatannya kandidat nomor 1 dan 3 yang paling “jor-joran” dalam kegiatan kampanye dan anehnya berdasarkan informasi hanya 1,9 M yang dihabiskan oleh kandidat nomor 1.

Senada dengan Donal, salah satu peserta diskusi dari media, menyampaikan pengalaman saat mengkonfirmasi soal penggunaan dan laporan dana kampanye yang dijawab oleh salah satu kandidat bahwa hal itu kewenangan dan diatur tim sukses. Menanggapi hal tersbut Donal dengan tegas jika ada kandidat yang menjawab seperti itu, jelas mencerminkan kurangnya integritas. Karena menurutnya bagaimana akan mampu dengan baik mengolala APBD yang sedemikan besar jika mengelola dana kampanye yang relatif kecil saja tidak mampu. ”Pengelolaan dana kampanye yang transparan dan akuntabel menjadi tolak ukur integritas seorang kandidat”. Terangnya.
Selanjutnya Maskyur menambahkan persoalan integritas sejatinya merupakan kesamaan antara ucapan dan tindakan. Dalam hal ini dirinya menilai dari visi misi dan program yang disampaikan para kandidat. Dirinya menyayangkan ada propaganda program yang menarik namun tidak dijelaskan bagaimana target itu bisa dicapai. Selain itu adanya promosi program yang ditawarkan kepada publik yang jika dilihat dalam dokumen resmi program yang disampaikan justru tidak tercantum.

Secara jelas dirinya menyebut contoh program dana 1 Milyar bagi RW/RT yang justru tidak ditemukan dalam dokumen resmi yang disampaikan serta tidak dijelaskan bagaimana target tersebut bisa tercapai. Hal ini menurutnya aneh dan tidak realistis. Meski demikian dirinya berharap siapapun yang terpilih agar jangan sungkan untuk mengadopsi program kandidat lain jika itu bagus. Dalam konteks politik transaksional dirinya sangat mengkhawatirkan itu akan terjadi terlebih dalam jika dibalut dengan isu SARA yang marak terjadi terutama soal ujaran kebencian.

Berbeda dengan Masykur, Usep Ahyar merujuk pada temuan-temuan survei Populi Center yang menunjukan mayoritas pemilih di DKI Jakarta adalah pemilih rasional. Faktor visi misi program menjadi point utama dalam menentukan pilihan. Untuk itu dirinya mengajak semua kontestan dan simpatisan agar menghindari kampanye bernuansa SARA yang justru dapat merugikan bagi mereka sendiri. Berkaitan dengan integritas kandidat berdasarkan hasil survei Populi Center, Usep menjelaskan antara elektabilitas kanndidat selalu berbanding lurus dengan popularitas dan akseptabilitas. Sebagai contoh temuan survei terbaru menunjukan ketidakpuasan publik terhadap kinerja Plt. Gubernur

Dahlia Umar pada awal pemaparan menjelaskan meski debat pertama dipandang berjalan baik, namun dirinya mengakui ada beberapa evaluasi termasuk saran dari berbagai kelompok masyarakat diantaranya : Persoalan durasi yang dirasa kurang (90 menit). Pada debat kedua nanti akan ditambah menjadi 120 menit diluar tayangan iklan komersil. Selain itu dalam debat pertama masih banyak persoalan yang dipaparkan kandidat belum tergali secara maksimal. Mensiasati persoalan tersebut Dahlia menambahkan pada debat kedua nanti moderator akan diberi keleluasaan untuk menggali persoalan yang dirasa belum maksimal dijawab kandidat.  Dalam debat kedua nanti secara format hampir sama. Penambhan 2 (dua) Moderator yakni Imam Prasodjo dan Tina Talisa diharapkan dapat berkolaborasi memandu debat lebih baik.

Selanjutnya Yayat Supriatna menjelaskan beberapa catatan penting untuk evaluasi bagi debat kedua nanti. Pertama, dirinya menyayangkan para kandidat mengambil sumber data yang tidak sama sehingga yang muncul kepermukaan seolah yang penting tampil beda dan meyalahkan pihak lain. Menurutnya data tidak hanya soal angka namun juga berbicara strategi bagaimana mencapai target tersebut. Sayangnya tidak semua kandidat memahami ini dengan baik. Saat ditanya siapa kandidat yang paling mengerti persoalan dan strategi pada debat perdana lalu?. Secara diplomatis Yayat menjelaskan seharusnya setiap kandidat memahami dengan baik visi misi dan program kandidat lain. Sehingga yang akan nampak adalah bagaimana dia tidak hanya mengkritik kandidat lain namun lebih substantif meyakinkan publik bahwa programnya lebih baik dari yang lain. Pada akhir penyampaian Yayat mengingatkan bahwa program yang diusung oleh setiap kandidat adalah “hutang” yang akan dipertanggung jawabkan saat dia terpilih. Untuk itu dirinya berharap agar program yang ditawarkan adalah yang realistis. “Harusnya setiap kandidat memiliki visi misi program realistis dan berorientasi pada Struktur yang membangun kultur sehinga menyelesaikan persoalan Jakarta tidak hanya sendirian namun berbasis kesadaran dan partisipasi masyakarakat”. Pungkasnya.

Lantas bagaimana pengaruh debat bagi perilaku pemilih? Usep S. Ahyar menegaskan bahwa pemilih DKI adalah pemilih rasional sehingga dipastikan debat memiliki pengaruh terhadap perilaku pemilih. Setidaknya ini tergambar dalam temuan Populi Center pada survei pasca debat lalu. Pertama, Lebih dari 80% warga DKI Jakarta menyaksikan acara debat. Ini membuktikan antusiasme publik sekaligus sebagai salah satu referensi dalam menentukan pilihan terutama bagi pemilih pemula. terdapat 16% suara swing voters bergerak mengalami perubahan suara pasca debat pertama lalu. Dibandingkan pada temuan survei Desember 2016 lalu dari pergerakan suara pada Survei pasca Debat pertama menyebar pada ketiga kandidat. Ada kandidat yang berkurang dan bertambah suaranya. Berkaitan dengan pelaksanaan debat, Usep mengapresiasi atas kinerja KPUD. Meski demikian dirinya berharap dalam debat kedua nanti akan lebih banyak tergali persoalan yang lebih substansial. “Debat bukan hanya adu program dan argumen, lebih dari itu esensi debat adalah pendidikan politik bagi masyarakat”. Tutupnya.

Bagikan:

id_IDIndonesian