Membaca Konflik Antarnegeri di Maluku

Konflik kekerasan antarkomunitas di Maluku seolah-olah tidak pernah menghilang, anehnya seringkali memiliki pola yang sama yaitu menjelang atau mendekati pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Pada 26 Januari 2022, media massa nasional memberitakan ‘bentrok antarwarga desa di Maluku Tengah’ antara Desa Ori dan Kariuw, Kecamatan Haruku. Peristiwa tersebut telah menyebabkan dua korban jiwa, sejumlah rumah terbakar, dan pengungsian ratusan warga di Desa Kariuw (CNN Indonesia, 26/01/22). Menurut laporan kepolisian, penyebabnya masih belum jelas, diduga karena kesalahapahaman antara warga desa, sedangkan media masa lainnya menyebutkan konflik dipicu oleh sengketa batas tanah antara warga dari dua desa tersebut. Karena kedua desa tersebut ditempati oleh dua kelompok agama yang berbeda, maka muncul kekhawatiran akan meluas menjadi konflik kekerasan berbasis agama seperti yang pernah terjadi pada periode 1999-2004. Untuk membatasi eskalasi ke luar, kepolisian mengirim ratusan aparat keamanan dan membangun dua pos di perbatasan antara kedua desa tersebut.

Sebagian analisis atau presumption muncul bahwa konflik tersebut merupakan kelanjutan dari tradisi ketegangan antara dua komunitas pemeluk agama yang berbeda. Bahkan, ada yang sangat jauh mempertanyakan relevansi nilai-nilai pemersatu yang mendasari kesepakatan dalam Perjanjian Malino antara kelompok Muslim dan Kristiani yang bertikai. Sebagian yang lain mempertanyakan apakah ikatan pela atau gandong masih relevan untuk mengikat kohesi sosial antara negeri-negeri yang berbeda agama di Maluku. Semua pertanyaan pada pengamat dari luar Maluku ini tidak sepenuhnya salah tetapi menunjukkan pengetahuan mengenai kebudayaan kelompok-kelompok etnis yang tinggal di Indonesia bagian timur ini masih belum dikenal oleh publik. Kadang-kadang pengetahuan kita mengenai Maluku dan daerah-daerah di sekitarnya masih terkungkung oleh kerangka etik, ilmu pengetahuan yang Eropa-sentris, dan tidak dapat memotret fragmen-fragmen kehidupan sehari-hari serta mengabaikan konjungtur lanskap politik yang mendorong perubahan sosial, ekonomi, dan budaya di kawasan ini.

Konsepsi perdamaian di Maluku berakar dari serangkaian nilai-nilai filosofis yang berakar dari sejarah interaksi antarkelompok etnis di Maluku sebelum masa kolonial. Kisah-kisah mitologis menceritakan bahwa semua orang asli Maluku berasal dari Nusaina, Pulau Seram. Kemudian meraka menyebar ke seluruh kepulauan Maluku karena konflik internal di antara mereka. Kemudian, mereka berusaha untuk mencari kesepakatan damai agar tercipta kerukunan dan kedamaian. Dalam setiap wilayah mereka membentuk persekutuan berdasarkan kampung. Cooley (1962) menuliskan bahwa kelompok etnis Wemale membentuk persekutuan lima kampung atau uli lima dan kelompok etnis Alune membentuk aliansi sembilan kampung atau uli syiwa. Konsepsi ‘syiwalima’ yang menunjukkan relasi damai antara asosiasi kampung anggota persekutuan antara uli lima dan uli syiwa, pata lima dan pata syiwa, atau lor lim dan lor syiuw.

Namun, nilai-nilai ini dalam praktiknya berkembang sesuai dengan konjungtur politik dan ekonomi di Kepulauan Maluku sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dunia. Misalnya, masuknya Portugis ke Tanah Hitu pada pertengahan abad ke-16, yang menyebarkan ajaran Katolik merubah relasi konflik antara pata lima dan pata syiwa menjadi relasi konfliktual yang berbasiskan agama, yang didesain oleh kekuatan imperialis. Syiwalima tidak dapat bekerja untuk menyelesaikan konflik Hitu-Portugis, bahkan Hitu (kampung-kampung patalima) meminta bantuan armada VOC, Makassar, Ternate, dan Jawa untuk mengalahkan Portugis yang didukung oleh kampung-kampung pata syiwa.

Lanskap politik berubah pada masa VOC dan kolonialisme Belanda di Maluku yang mendefinisikan identitas orang Maluku, memberikan label yang bersifat hirarkis dan menempatkan pada posisi diametral antara inlander (orang asli) yang dianggap primitif atau tradisional, dengan burger (citizens) yang modern dan beradab, antara Salam (islam) yang tradisional dan Serani (Kristiani) yang modern. Segregasi antara kampung-kampung Salam dan Serani dimulai di masa VOC, sebagaimana dituliskan oleh Richard Chauvel. Untuk mencegah relasi konfliktual antarkampung yang penduduknya memiliki afiliasi keagamaan yang berbeda-beda, Belanda mengizinkan dan mendorong aliansi-aliansi antarkampung yang berbeda afiliasi keagamaan dalam bentuk pela dan gandong. Bartels (1978/2003) menuliskan pela adalah sebagai bentuk aliansi dan kerjasama antara kampung, sedangkan pela-gandong atau sering disebut sebagai ‘gandong’ adalah sebuah bentuk ikatan persaudaraan antarkampung yang penduduknya mempercayai bahwa mereka berasal dari satu keturunan yang sama. Berbagai jenis pela dan gandong ini memiliki aturan-aturan, larangan-larangan, tradisi, yang disertai dengan hukuman bagi yang melanggarnya.

Namun, setelah Indonesia merdeka, terutama pada masa Orde Baru, terdapat dua hal yang melemahkan nilai-nilai pemersatu antarkampung, karena pemberlakukan UU 45/1979 yang menggantikan negeri dengan desa dan kepemimpinan tradisional para raja dengan kepala desa yang bersifat administratif, sehingga negeri yang merupakan unit sosio-kulutral menjadi unit administrasi pemerintah. Adat dan tradisi sudah mulai melemah dan nilai-nilai budaya sudah tergerus karena orientasi birokrasi dan pembangunan. Hal ini diperburuk oleh hadirnya juru dakwah dari luar Maluku baik Salam maupun Serani yang lebih menekankan pada praktik keagamaan yang konservatif dan melihat komunitas agama mereka bagian dari komunitas global umat. Para generasi muda pada umumnya sekarang ini, sebagai akibatnya, lebih merasa terikat oleh ikatan keagamaan yang lebih kuat dari ikatan kebudayaan. Pada akhir periode Orde Baru, kondisi ini diperburuk oleh politik identitas berbasis keagamaan, sehingga ketika konflik komunal, pela telah kehilangan makna dan menjadi tidak efektif untuk mengatasi dan mencegah konflik antarkelompok agama yang berbeda. Iwamony (2010) dalam disertasinya menjelaskan bahwa pela maupun gandong hanya efektif untuk negeri-negeri atau desa-desa tertentu yang memiliki perjanjian aliansi di masa lalu atau memiliki klaim berasal dari nenek moyang yang sama.

Pela atau gandong direvitalisasi pada umumnya menjelang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah sebagai instrumen untuk memobilisasi dukungan politik. Dalam hal ini keyakinan bahwa mereka berasal dari leluhur yang sama menguat pada momen-momen politik lokal, meskipun tidak menutup kemungkinan juga tetap dijaga dalam kehidupan sosial sehari-hari antara warga kampung yang terikat. Pela juga tidak efektif ketika melibatkan penduduk migran dari luar Maluku, terlebih sekarang ini penduduk Maluku sudah bercampur dengan migran terutama di kawasan perkotaan serta di negeri-negeri administrasi dan sekitarnya. Dengan demikian, pela, gandong, dan berbagai adat serta tradisi budaya sekarang ini telah mengalami perubahan baik disadari maupun tidak disadari. Justru simbol-simbol budaya dan aliansi kultural menjadi rujukan setidak-tidaknya untuk pemersatu antara dua komunitas agama yang berbeda dan menjadi sarana mobilisasi politik.

Kembali pada konflik Ori dan Kariuw, persoalannya adalah bukan pada syiwalima, nilai-nilai pemersatu, pela, dan gandong, namun pada lemahnya mekanisme baik yang bersifat formal maupun informal dalam penyelesaian sengketa tanah. Persoalan konflik antarkampung yang salah satunya disebabkan oleh konflik tanah, juga sering terjadi antara negeri-negeri Islam, seperti Hitu dan Mamala; dan juga antara negeri-negeri Serani seperti antara Porto dan Haria di Saparua. Dengan demikian, menggunakan analisis identitas sebagai sumber konflik utama di Maluku menjadi persoalan. Jumlah penduduk yang semakin meningkat baik penduduk ‘asli’ Maluku maupun ‘pendatang’ menjadikan kompetisi memperebutkan sumber daya semakin meningkat, termasuk tanah. Provinsi Maluku dan Kabupaten Maluku Tengah sebenarnya sudah memiliki peraturan yang mengakui keberadaan negeri-negeri, sebutan untuk ‘desa adat’ di daerah ini. Persoalannya adalah pemetaan tanah adat mungkin belum dilakukan dan juga mekanisme hukum adat yang menangani persoalan batas-batas tanah. Sebagaimana telah disebutkan di muka, kehadiran simbol-simbol budaya dan adat hanya lebih banyak menonjol dalam upacara-upacara penyambutan pejabat pemerintah ataupun momen-momen politik elektoral.

Dalam realitasnya, negeri tidak sepenuhnya otonom karena memungkinkan intervensi kekuatan eksternal seperti pemerintah, partai politik, dan kapital. Namun, setidaknya komunitas-komunitas soa (klan) dalam negeri dapat memiliki kapasitas dan otonomi untuk mengelola perselisihan dalam penentuan batas-batas maupun pengelolaan tanah, baik yang di dalam negeri maupun antarnegeri. Jika persoalan ini dibiarkan begitu saja, maka tidak menutup kemungkinan pada masa depan, para petualang politik dapat memanfaatkan dan memanipulasi perselisihan antarwarga dari dua kampung yang berbeda afiliasi etnis atau agama menjadi konflik kekerasan yang meluas. Hal ini berpotensi mengganggu proses-proses perdamaian dan penguatan jejaring sosio-kultural yang telah dibangun pada masa post-konflik.

Referensi:

Bartels, D. (1978). Guarding the invisible mountain: Intervillage alliances, religious syncretism and ethnic identity among Ambonese Christians and Moslems in the Moluccas. PhD thesis in the Cornell University. Ann Arbor Michigan: University Microfilms International.

Bartels, D. (2003). Your god is no longer mine: Moslem – Christian fratricide in the Central Moluccas (Indonesia) after a half -millennium of tolerant co-existence and ethnic unity. In: S. Pannell (Ed.), A state of emergency: Violence, society and the state in Eastern Indonesia (pp. 128-153). Darwin: Northern Territory University Press.

Chauvel, R. (1990). Nationalists, soldiers and separatists: The Ambonese Islands from colonialism to revolt, 1880-1950.  Leiden: KITLV Press.

Cooley, F. L. (1962). Ambonese adat: A general description. Cultural Report Series 10. New Heaven: Yale University Press.

Iwamony, R. (2010). The reconciliatory potential of the pela in the Moluccas: The role of the GPM in this transformation process (Doctoral dissertation, Vrije University of Amsterdam, 2010).

CNN Indonesia. Kronologi Bentrok Warga Desa di Maluku Tengah Telan Korban Jiwa. (26/02/2022).

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220126093301-12-751334/kronologi-bentrok-warga-desa-di-maluku-tengah-telan-korban-jiwa

Artikel Lainnya

id_IDIndonesian