Lenggak-lenggok anak muda di dekat Stasiun Sudirman, Jakarta, sempat menjadi fenomena yang menarik perhatian banyak pihak. Berlagak bagai model profesional mereka dengan percaya diri menampilkan corak berpakaian yang di luar kelaziman warga pada umumnya, atau mereka menyebutnya sebagai fesyen, sebagai sebuah ekspresi estetika dalam berpenampilan. Kaum muda tersebut menamakan dirinya dengan anak-anak SCBD (Sudirman, Citayam, Bojong, Depok). Memang mereka tidak tinggal di tengah hiruk pikuk Ibu Kota Jakarta, itu yang menjadikan mereka menarik dan berbeda sehingga sempat viral dan menjadi trendsetter. Cerita anak-anak SCBD tersebut sebenarnya membuat penasaran untuk menelisik lebih mendalam daerah-daerah pinggiran Ibu Kota Jakarta di mana mereka bertempat tinggal. Faktanya, di luar cerita menarik yang disuguhkan Bonge, Jeje, Kurma, dan teman-temannya di kawasan Stasiun MRT (Mass Rapid Transit) Dukuh Atas, daerah asal tempat tinggal mereka seperti di Citayam, Cilebut, Bojong Gede, dan Depok merupakan daerah yang memiliki karakteristik unik. Tulisan ini ingin mengulas bagaimana keunikan daerah tempat tinggal Bonge, Jeje, dan Kurma yang dikenal sebagai kawasan rural-urban fringe.
Pryor (1968) mengatakan bahwa rural-urban fringe adalah zona transisi dalam penggunaan lahan, karakteristik demografis dan sosial, yang terletak di antara perkotaan dan perdesaan dengan beberapa corak yakni zonasi atau perencanaan yang tidak terkoordinasi, jangkauan dan penetrasi layanan utilitas perkotaan yang tidak lengkap, dan peningkatan kepadatan penduduk aktual dan potensial, dengan kepadatan saat ini di atas distrik perdesaan sekitarnya tetapi lebih rendah dari pusat kota, meskipun sebenarnya karakteristik ini mungkin berbeda baik secara zona maupun sektoral, dan akan berubah seiring waktu. Di daerah yang kota bukan, perdesaan bukan, ternyata menyimpan karakteristik wilayah yang unik yang turut menyimpan persoalan yang dapat meledak sewaktu-waktu. Daerah tersebut memiliki potensi persoalan segregasi sosial yang selama ini tidak pernah menjadi perhatian, tidak hanya oleh para pembuat kebijakan, tetapi juga para akademisi untuk menelaah fenomena-fenomena segregasi sosial pada kawasan rural-urban fringe tersebut.
Di daerah pinggiran seperti Citayam, Bojong Gede, Cilebut yang sangat tidak asing bagi para kaum ulang-alik yang kesehariannya berkendara dengan Kereta Rel Listrik (KRL) tujuan maupun keberangkatan dari Bogor, nampak betul corak sebagai kawasan rural-urban fringe. Setidaknya fenomena segregasi sosial pada kawasan rural-urban fringe dapat dilihat dari mulai merebaknya komunitas-komunitas berpagar, di sisi lain masih dapat dijumpai perkampungan dengan gang-gang sempit, namun masih terdapat sebagian area persawahan, perkebunan, akan tetapi juga banyak dijumpai kawasan perumahan atau klaster hunian berpagar. Kondisi tersebut masih mudah dijumpai pada radius sekitar 1 (satu) kilometer dari Stasiun Citayam, Bojong Gede, dan Cilebut.
Maraknya Komunitas Berpagar di Daerah Pinggiran
Sangat jarang dijumpai kajian mengenai komunitas berpagar memiliki lokus di daerah pinggiran atau perdesaan. Padahal, fenomena komunitas berpagar sudah mulai menjalar di daerah pinggiran dan pedesaan mengingat lahan yang semakin terbatas di kawasan perkotaan untuk dibangun sebuah kawasan permukiman atau klaster hunian. Sehingga, kini tidak sulit menemukan hunian yang bahkan tergolong mewah di daerah pinggiran seperti di Citayam, Bojong Gede, dan Cilebut. Blakely dan Snyder (1997) menyebutkan bahwa komunitas berpagar sebagai sebuah kawasan hunian dengan akses terbatas yang cenderung menimbulkan privatisasi atas ruang publik. Adriansyah (2020) mengatakan bahwa seringkali isu keamanan menjadi dasar munculnya komunitas berpagar dengan sistem one gate, untuk mencegah penetrasi dari non-residen, namun persoalan ini tidak hanya muncul di pusat kota saja tetapi juga di pinggiran kota.
Jika berbicara mengenai fenomena komunitas berpagar di kawasan perkotaan, salah satu institusi yang memiliki perhatian terhadap isu tersebut salah satunya adalah ITDP (Institute for Transportation and Development Policy) yang menganggap adanya komunitas berpagar menghambat pembangunan berorientasi transit. Namun sejatinya persoalan yang ditimbulkan dengan marak munculnya komunitas berpagar di daerah pinggiran lebih pelik dibandingkan dengan yang ada di kawasan perkotaan. Corak masyarakat perdesaan atau pinggiran yang sejatinya cenderung lebih komunal tentu akan mengalami gegar budaya atau sosial dengan maraknya hunian-hunian klaster atau perumahan di wilayah mereka. Di kawasan Citayam, Bojong Gede, dan Cilebut terlihat dengan jelas bahwa kohesi sosial menjadi persoalan yang cukup serius dengan hadirnya beberapa kawasan berpagar. Hal tersebut terlihat dari kesenjangan yang nampak dari struktur ruang yang ada di kawasan-kawasan yang dikenal dengan rural-urban fringe tersebut. Jalanan yang ada terlihat sempit layaknya perkampungan-perkampungan, dengan beberapa sisi masih terdapat area perkebunan dan persawahan, namun tidak sulit untuk menjumpai kawasan klaster perumahan yang cenderung homogen baik dari sisi latar belakang ekonomi, maupun agama (Klaster Syariah) dengan bangunan yang lebih megah yang dikelilingi pagar-pagar menjulang tinggi.
Persoalan mengenai komunitas berpagar biasanya lebih kentara pada karakteristik kawasan permukiman perumahan dengan sistem one gate. Pada akhirnya kondisi tersebut menimbulkan persoalan aksesibilitas. Sejatinya persoalan yang ditimbulkan dari adanya komunitas berpagar di perkotaan maupun di daerah pinggiran tidaklah jauh berbeda, yang terlihat mencolok adalah persoalan aksesibilitas dan privatisasi ruang. Namun, dari sisi dampak sosial, di daerah pinggiran dapat memiliki dampak yang lebih serius. Pada akhirnya muncul yang disebut sebagai daerah rural-urban fringe. Kajian mengenai daerah rural-urban fringe baik secara sosiologis maupun antropologis perlu menjadi perhatian serius, mengingat daerah-daerah tersebut bisa menjadi sumber persoalan sosial di masyarakat.
Secara umum, karakteristik wilayah perdesaan yang jauh dari pusat kota cenderung warganya lebih bersifat sederhana baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi budaya. Kemudian, masyarakat dengan corak perdesaan cenderung lebih mudah curiga pada hal-hal baru di luar dirinya yang belum dipahami bahkan kepada seseorang atau sekelompok orang di luar komunitasnya akan dianggap sebagai orang asing. Ciri lainnya adalah corak masyarakatnya sangat menjunjung tinggi persaudaraan sehingga cenderung bersifat demokratis dalam proses pengambilan keputusan di lingkungan mereka.
Pada daerah yang bersinggungan dengan kota-kota besar seperti Jakarta dengan corak kota yang lebih bersifat metropolitan sehingga karakteristik perkotaannya seringkali melampaui batas administratifnya, akan lebih sering dijumpai kawasan-kawasan yang bercorak rural-urban fringe, seperti di Citayam, Bojong Gede, dan Cilebut. Pada dasarnya komunitas berpagar memiliki corak kawasan yang ditempati oleh kelompok sosial tertentu yang homogen entah dari segi penghasilan, suku, agama, maupun ras, dengan corak ruang publik yang diprivatisasi dengan akses terbatas. Persoalan muncul ketika karakteristik komunitas berpagar yang homogen namun masih individualis karena mencerminkan masyarakat perkotaan namun berada di kawasan perdesaan dengan karakteristik masyarakat komunal yang masih kuat. Kondisi tersebutlah yang semakin memperuncing terciptanya segregasi sosial di wilayah rural-urban fringe.
Segregasi Sosial
Persoalan segregasi sosial di kawasan rural-urban fringe muncul akibat tidak terciptanya kohesi sosial dengan adanya komunitas berpagar yang saat ini mulai menjalar di daerah-daerah pinggiran. Secara psikologis, para pengembang yang membangun hunian di kawasan perdesaan untuk memfasilitasi masyarakat yang bekerja di Jakarta namun sulit mendapatkan hunian di tengah kota seringkali akan mencoba menghadirkan nuansa perkotaan di kawasan yang dibangun. Pada umumnya, mereka menawarkan hunian dengan sistem keamanan yang tinggi, tersedianya fasilitas sosial yang dapat diakses hanya oleh pemilik hunian, serta bebas dari persoalan umum hunian Jakarta yakni banjir dan lain sebagainya. Akan tetapi, menghadirkan hunian dengan karakteristik tersebut tanpa disadari menciptakan eksternalitas negatif pada warga yang telah tinggal dan menetap di wilayah tersebut sebelumnya yang selama ini tidak disadari bahkan oleh para pengembang.
Dari hasil observasi yang dilakukan di sebuah kawasan berpagar yang berjarak sekitar kurang lebih 1,5 kilometer dari Stasiun Cilebut, setidaknya terdapat tiga persoalan mendasar yang mungkin juga muncul pada kawasan rural-urban fringe lainnya yang perlu diantisipasi. Pertama ialah persoalan akses mobilitas warga di luar kawasan berpagar yang terganggu. Kedua, sentimen inner dan outer grup. Ketiga, persoalan lingkungan. Kondisi tersebut berpotensi memicu adanya segregasi sosial yang semakin meruncing hingga dapat memunculkan konflik sosial di masyarakat.
Seringkali di daerah kawasan berpagar, masyarakat luar atau masyarakat umum tidak dapat berlalu lalang dengan bebas, terlebih pada daerah yang menerapkan sistem one gate. Bahkan sering terjadi persekusi kepada masyarakat luar oleh satuan pengamanan hunian karena dicurigai dapat menganggu keamanan dan kenyamanan warga komplek. Bahkan pedagang keliling pun tidak dapat dengan leluasa menjajakan dagangannya seperti layaknya di kawasan di luar hunian berpagar. Pada akhirnya, sering timbul sentimen sosial, jika terjadi tindak pencurian, warga kampung di luar komplek cenderung mendapat tuduhan sebagai biang persoalan keamanan di dalam kawasan hunian berpagar. Sedangkan masyarakat kampung, menilai warga hunian berpagar sebagai warga pendatang. Adanya hunian berpagar juga dianggap sebagai sumber persoalan semakin terbatasnya akses mobilitas warga perkampungan, hingga persoalan lingkungan seperti penyebab terjadinya banjir maupun jalanan yang rusak akibat konstruksi hunian. Bahkan meski hunian tersebut telah lama hadir, dan sebagian penghuninya mungkin dahulu tinggal di perkampungan pun oleh masyarakat sekitar penghuni di kawasan hunian berpagar akan dianggap sebagai kawasan orang pendatang.
Tulisan ini tentu tidak dapat mengulas secara mendalam terkait dengan persoalan rural-urban fringe dan segregasi sosial yang selama ini kurang disadari. Akan tetapi apa yang disampaikan dalam tulisan ini berupaya untuk mengajak para akademisi untuk memberikan perhatian pada munculnya fenomena hunian berpagar yang telah semakin menjalar di pedesaan. Persoalan sosial yang ditimbulkan dengan adanya rural-urban fringe yang selama ini tidak pernah mendapatkan perhatian pemerintah bahkan diintervensi melalui sebuah kebijakan khususnya penataan ruang yang baik, akan menimbulkan persoalan di kemudian hari. Meski alasan keamanan selalu menjadi alasan mengapa permukiman-permukiman tersebut memilih memagari kawasannya dari penetrasi non-residen, namun, setidaknya jalan tidak boleh memiliki sifat sebagai club goods dengan hanya orang tertentu saja yang boleh mengakses, kecuali ditetapkan ketentuan khusus mengenai jenis kendaraan yang boleh melintas layaknya jalan tol atau jalan khusus kendaraan tertentu (roda empat, truck, atau roda dua).
Referensi
- Adriansyah, J. (2020). Ulang-Alik Batavia dalam Sudah Senja di Jakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Blakely, E.J. & Snyder, M.G. (1997). Fortress America: Gated Communities in the United States. Washington: Brooking Institution Press.
- Pryor, Robin J. (1968). “Defining the Rural-Urban Fringe”. Social Forces, Vol. 47, No. 2, Dec. 1968, p. 202. DOI.org (Crossref), https://doi.org/10.2307/2575150.