Penulis : Dimas Ramadhan, Hartanto Rosojati, Olivia Prastiti Winur
Judul Buku : Inklusivitas dalam Pemilu: Perempuan dan Keterwakilan Politik
Penerbit : Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), 2025
Tahun Terbit : 2025
Jumlah Halaman : 232
Keterwakilan perempuan di parlemen masih menjadi perdebatan publik. Meski jumlahnya meningkat dari pemilu ke pemilu, proporsinya masih jauh dari harapan. Buku Inklusivitas dalam Pemilu: Perempuan dan Keterwakilan Politik hadir untuk menelusuri mengapa kesenjangan itu terus bertahan di tengah sistem yang seolah sudah memberi ruang bagi perempuan.
Buku ini dibuka dengan kisah tiga politisi perempuan terpilih, yaitu Miranti Dewaningsih, Ratu Ngadu Bonu Wulla, dan Tia Rahmania, yang batal menduduki kursi legislatif karena keputusan partai. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa masalah keterwakilan perempuan bukan sekadar persoalan individu, melainkan bagian dari struktur politik yang masih patriarkal. Meskipun kuota 30 persen caleg perempuan telah terpenuhi dan Indeks Ketimpangan Gender terus membaik, posisi perempuan dalam pengambilan keputusan politik tetap terbatas. Pembelajaran dari sistem parité di Prancis memperlihatkan bahwa keterwakilan sejati hanya mungkin terwujud bila afirmasi diperkuat dengan komitmen politik dan pengawasan yang nyata.
Dalam bagian teoretisnya, penulis menggunakan kerangka representasi politik Pitkin, teori patriarki, dan interseksionalitas untuk menjelaskan bagaimana hambatan perempuan bersifat struktural dan berlapis, mulai dari budaya politik maskulin hingga diskriminasi terhadap kelompok perempuan adat dan minoritas. Inklusivitas, bagi para penulis, hanya akan lahir bila nilai-nilai feminis dilembagakan dalam aturan dan praktik kepartaian, bukan sekadar dijadikan jargon kampanye.
Untuk memperkuat konteks, buku ini menelusuri sejarah keterlibatan perempuan dalam politik Indonesia. Sejak Pemilu 1955, perempuan sudah memiliki hak pilih, namun langkah mereka selalu tersendat tafsir moral dan ideologi negara. Pada masa Orde Baru, konsep “Ibuisme Negara” menempatkan perempuan hanya di ranah domestik. Reformasi 1998 menjadi titik balik dengan lahirnya kebijakan afirmasi 30 persen. Meski jumlah perempuan di parlemen meningkat menjadi lebih dari 20 persen pada 2019, pengaruh mereka masih terbatas pada isu sosial dan kesejahteraan keluarga. Legislator perempuan memang berhasil memperjuangkan UU PKDRT dan UU TPKS, tetapi kebijakan lain seperti UU Cipta Kerja justru memperburuk kondisi pekerja perempuan.
Penulis juga mengkritik pelaksanaan kuota 30 persen yang kerap berhenti pada tataran administratif. Banyak partai menempatkan caleg perempuan di nomor urut tidak strategis, sementara sanksi bagi partai yang melanggar aturan kuota lemah. Akibatnya, representasi perempuan di parlemen masih timpang dan terkonsentrasi di Jawa. Hambatan internal partai pun tak kalah besar, bahwa perempuan lebih sering ditempatkan di bidang sosial ketimbang sektor strategis seperti kaderisasi atau perumusan kebijakan. Karena itu, buku ini menekankan pentingnya reformasi struktural di tubuh partai, pendidikan politik berperspektif gender, dan pelembagaan nilai-nilai feminis untuk mematahkan blokade patriarki elektoral.
Melalui studi kasus di Jakarta, Banten, dan Aceh, penulis menunjukkan bagaimana faktor geografis dan budaya mempengaruhi efektivitas peran legislator perempuan. Di kota besar, akses terhadap jejaring politik dan sumber daya lebih terbuka, sedangkan di wilayah konservatif, perempuan masih dibatasi oleh norma moral dan ruang publik yang sempit. Maka peningkatan kualitas representasi menuntut dukungan kelembagaan berkelanjutan, pendidikan politik yang memadai, serta sinergi dengan gerakan perempuan sipil agar keterwakilan substantif dapat terwujud.
Salah satu yang membuat buku ini berbeda dengan karya sejenis lainnya ialah bab tentang kecenderungan masyarakat dalam memilih caleg. Menggunakan data exit poll yang diambil di seluruh provinsi pada hari pemilihan, penulis menemukan adanya kecenderungan pemilih perempuan untuk memilih sesama caleg perempuan. Temuan ini menandakan bahwa mulai terdapat kesadaran politik di kalangan perempuan untuk memberikan kesempatan pada sesama caleg perempuan agar dapat terpilih. Di saat yang bersamaan, ini juga menjadi bukti bahwa kendala utama keterpilihan perempuan bukan berasal dari pemilih, tetapi dari sistem pemilihan dan struktur partai yang belum memberi ruang yang cukup bagi kandidat perempuan.
Bab penutup menegaskan pentingnya politik inklusif sebagai syarat demokrasi yang berkeadilan. Melalui refleksi atas kasus Miranti Dewaningsih, penulis memperlihatkan betapa rapuh posisi perempuan dalam partai ketika kepentingan elektoral lebih dominan. Karena itu, mereka mengusulkan sejumlah solusi sistemik: mekanisme penggantian antarperempuan, reformasi kepartaian yang lebih terbuka, serta pendanaan afirmatif seperti model EMILY’s List di Amerika Serikat. Intinya, demokrasi sejati hanya akan terwujud jika perempuan tidak sekadar hadir di parlemen, tetapi juga memiliki kekuatan untuk memperjuangkan hak-hak substantifnya.
Secara keseluruhan, buku ini berhasil menghadirkan metode dan analisis yang relevan dengan realitas politik Indonesia. Perpaduan teori representasi, patriarki, dan interseksionalitas menjadikan argumen penulis kaya secara intelektual sekaligus kontekstual karena diperkuat oleh data empiris. Sementara kelemahan buku ini terletak pada absennya sudut pandang partai politik sebagai kendaraan utama bagi perempuan untuk menembus parlemen. Tanpa memahami dinamika internal partai, mulai dari rekrutmen hingga distribusi sumber daya, upaya kesetaraan akan terus terbentur pada regulasi yang sulit dijalankan. Walau demikian, buku ini tetap menjadi bacaan penting bagi siapa pun yang ingin memahami politik representasi gender di Indonesia, sebuah karya yang bukan hanya memotret kenyataan, tetapi juga mengingatkan kita tentang cita-cita demokrasi yang lebih inklusif dan setara.
Buku dapat diunduh melalui tautan berikut:
https://e-lib.bawaslu.go.id/detail/6ae8ef30-cb33-4158-820a-43813e9b4779-1746171349/inklusivitas-dalam-pemilu-perempuan-dan-keterwakilan-politik